Bujang mengayuh sepedanya dengan cepat. Dua roda itu melintasi jalan setapak. Kiri dan kanannya sudah ditumbuhi rumput-rumput yang mulai meninggi. Sepeda Bujang melesat melewati pohon-pohon besar, tepian sungai, jembatan kayu, masjid, es de, polindes. Di sana hanya ada satu masjid, satu es de, dan satu polindes. Sesekali warga mendatangi masjid saat masuk waktu magrib dan isya. Sedangkan zuhur, ashar, mereka sibuk bekerja. Subuh? Sudah sibuk juga pergi ke ladang, kebun, sungai, atau paling sering tidur. Anak-anak di sana masih bisa merasakan sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari rumah. Tidak perlu bersusah payah menyeberang sungai. Sementara jika sakit warga bisa datang ke polindes, meski bidan yang bekerja di sana hanya ada satu. Praktek dokter umum hanya terjadwal Senin dan Rabu. Seringkali, mereka memilih menahan sakit atau bahkan biarkan sajalah toh dua tiga hari pasti sembuh. Daripada harus mengantri atau menunggu dokter datang. Seperti Jamilah, tetangga samping rumah Dare yang beberapa pekan lalu mendadak menggigil. Suhu tubuhnya panas, wajahnya pucat. Muntah-muntah. Tepat matahari naik sepenggalah, Jamilah dibawa ke polindes. Apa mau dikata, pagi itu petugas belum ada yang datang. Mungkin terkendala motor tambang yang masih menunggu penumpang penuh baru bisa jalan atau barangkali ada upacara di kecamatan. Dua jam menunggu tanpa kepastian akhirnya anak Jamilah memutuskan pulang. Dare yang mengetahui hal itu, tergopoh-gopoh mengambil daun nangka belanda di belakang rumahnya. Dengan cekatan dia merebus daun itu, menyuruh Jamilah meminumnya. Sebagian daun dia balurkan di bagian perut dan dada. Petuah orang-orang tua di kampung, daun nangka belanda memang ampuh untuk menurunkan panas dan mengatasi muntah-muntah. Dare mendapat petuah itu dari ibunya. Lanjut ke Dermaga Siduk yang sudah sibuk sejak matahari terbit. Burung-burung gereja seolah tak mau kalah, terbang ke sana kemari. Terlihat motor-motor penambang ramai memenuhi tepian dermaga. Orang-orang ramai mengantri. Sepuluh orang penambang bergantian mengangkut penumpang. Bujang sudah dua kali mendapat giliran mengantar penumpang dari Galing ke Siduk. Motor tambangnya melaju kencang membelah sungai. Ronde pertama tadi dipenuhi oleh tiga penumpang berseragam putih yang ingin mengunjungi polindes, empat ibu-ibu yang hendak pergi undangan, dan tiga anak es em pe yang pulang awal karena guru mereka ada rapat. Penyeberangan hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, yang lama itu menunggu antrian. Ronde kedua, Bujang membawa dua orang bapak-bapak, satu orang ibu beserta dua anak kembarnya, dan lima anak es em ma yang asik bercengkerama. Bujang sesekali menatap ibu yang membawa anak kembar itu. Punya anak satu saja sudah senang apalagi dua. Begitu gumamnya yang tak terdengar. Sesekali dua anak kembar itu ternyata melambaikan tangan ke Bujang. Tersenyum. Seolah-olah tahu apa yang dirasakannya. Bujang balas tersenyum melambaikan tangan. Motor tambang semakin melaju. Suara mesinnya mengeras. Cipratan air sungai sesekali mengenai penumpang.
***
YOU ARE READING
Menanti Juang
FantasyBerkisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di pedalaman desa, menanti hadirnya buah hati. Penantian selama bertahun-tahun jelas tidak mudah. Banyak gunjingan dari tetangga bahkan mertua. Kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, semakin menambah...