"Assalamu'alaikum..."
Terdengar adzan magrib saat Bujang tiba di rumah. Dia memarkir sepeda onthelnya di belakang rumah.
"Eh ada Umak datang. Apa kabar, Mak?"
Bujang menyalami ibunya yang duduk di kursi dapur melihat Dare memasak.
"Malam itok Umak nginap. Isok pagi-pagi Umak balik." Malam ini ibunya akan menginap. Baru akan pulang besok pagi.
"Iya, Mak."
"Umak udah makan?"
"Gimanalah mau makan istrimu buat sambal terasi terus. Tadi Umak beli telur. Tuh baru dimasak."
Bujang menghela napas sambil melihat Dare. Memberikan bungkusan yang dia beli sehabis menambang. Yang dilihat pastilah sedang menggerutu di dalam hati. Dare sejak tadi berlirih pelan. Beristigfar. Apalagi yang bisa dia lakukan. Mau marah, mau kesal, itu tetap saja ibu mertuanya. Tabiatnya sudah mendarah daging. Sudah delapan tahun dia kebal dengan kata-kata itu.
"Aku mandi dulu, Yang. Tadi Abang belikan ikan dan sayur."
Dare mengangguk, "Handuknya baru aku cuci, Bang. Ambil saja di balik pintu kamar."
Bujang tak berkata apapun. Langkahnya beranjak menuju kamar lalu mandi. Hari ini gerah sekali. Ditambah kedatangan ibunya yang membuat suasana hati istrinya juga ikut tak nyaman. Bujang tahu betul, kalau ibunya datang ke rumah pasti selalu akan bertanya, "Istrimu sudah isi belum?", dan Bujang akan selalu menjawab, "Doakan saja, Mak."
"Sudah Umak bilang ikut pengobatan alternatif sajalah biar cepat isi."
"Pengobatan alternatif apa yang belum kami coba, Mak. Semuanya sudah kami coba. Jamu kesuburan. Jamu topcer. Akupuntur. Apalah itu. " Sekuat tenaga Bujang menahan emosinya.
"Bohong. Buktinya istrimu itu belum juga hamil. Setiap kali Umak main ke rumahmu pasti belum isi. Umak mau gendong cucu, Jang."
"Mak, anak itu Allah yang ngasi. Umak doakan saja." Bujang menghela napas panjang.
"Pokoknya Umak sudah ndak sabar mau nimang cucu. Ingat Jang, Umak sudah tua." Suara ibunya meninggi.
Dare yang mendengar dari balik pintu kamar menelan ludah. Hatinya sakit. Bukan maunya untuk tidak punya anak. Air matanya jatuh. Telur dan ikan goreng yang sudah disiapkannya untuk makan malam, mendadak hambar. Tak tentu rasa. Sementara Bujang kalau suasana sudah seperti ini, hanya bisa mengalah. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Apalagi yang bisa dia lakukan. Diberi pengertian berkali-kali, ibunya tidak akan mengerti. Bujang tahu Dare mendengar dari dalam kamar, menangis.
"Maafkan Umak. Nanti kita jelaskan ke Umak apa yang terjadi." Bujang masuk menenangkan, memeluk Dare. Mereka memang belum bercerita perihal masalah sebenarnya kepada Umak. "Semoga Umak bisa mengerti ya, Bang." Lirih Dare dalam isak tangis pilu malam itu.
***
YOU ARE READING
Menanti Juang
FantasyBerkisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di pedalaman desa, menanti hadirnya buah hati. Penantian selama bertahun-tahun jelas tidak mudah. Banyak gunjingan dari tetangga bahkan mertua. Kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, semakin menambah...