Bab 28: Amarah Kale

377 27 47
                                    

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Kale duduk dalam diam sembari berpikir dalam-dalam. Badannya bersandar pada sandaran kursi. Matanya menatap jendela yang menampilkan langit biru yang ditemani awan putih.

Kale memikirkan kembali kejadian tadi malam di mana dirinya membentuk sang istri. Awalnya ia tidak bermaksud demikian, tapi beban pikiran akibat masalah di toko membuat emosnya lepas kendali. Entah kenapa dia merasa akhir-akhir ini selalu tidak beruntung.

Pikiran seketika memutar kembali adegan yang terjadi seharian kemaren.

Kale sedang istirahat di ruanggannya, dirinya mendapat kabar bahwa pengiriman minyak akan tertunda, sebab supir yang bertugas mengantar barang tersebut mengalami kecelakaan. Alhasil, minyak satu truk tumpah dan sopir luka-luka. Kira-kira begitulah penjelasan yang diberikan oleh pihak distributor minyak yang biasa menyediakan stok untuk toko sembakonya.

Baru selesai menutup panggilan telepon dengan distributor itu, Aldi datang mengetuk pintu ruangan Kale. Kake bisa melihat wajah karyawannya itu mengekspresikan sesuatu yang kurang baik.

"Ada apa, Aldi?" tanya Kale melihat muka ragu Aldi yang tidak segera menyampaikan alasannya mendatangi ruangannya.

"Maaf, Mas, itu di depan ada ibu-ibu yang marah-marah. Katanya beras yang beli di sini udah kutuan," jelas Aldi perlahan.

"Mana mungkin? Bukannya semua barang kita baru, ya? Masa bisa udah kutuan. Gak ... " Belum selesai Kale mengungkapkan ketidaksetujuan mengenai keluhan tersebut, samar-samar ia dapat mendengar suara ibu-ibu yang sedang berseru keras. Membuat dirinya segera ke luar menghampiri sumber suara. Aldi mengikuti di belakangnya tanpa mengatakan apa pun.

"Ini gimana, sih, katanya toko bagus, barangnya berkualitas semua! Masa aku beli beras belum ada seminggu udah kutuan! Pembohong emang tokonya. Udah harganya mahal masa gak bisa disimpan lama." Seiring langkah Kale mendekati area pembayaran, suara salah seorang yang mengaku pelanggannya itu semakin keras terdengar. Ia bisa melihat Anto yang menunduk di hadapan seorang wanita paruh baya dengan tangan penuh emas.

"Ada apa, ya, Bu?" Begitu tiba di hadapan dua orang itu, Kale segera menanyakan alasan keributan ini terjadi. Wanita tersebut menjelaskan seperti yang sebelumnya Kale dengar.

"Baiklah, Bu, maaf karena sudah mengecewakan ibu. Sebagai gantinya, ibu mau apa?" Kale berusaha bersikap baik terhadap orang yang mengaku pelanggannya itu. Tidak masalah sekarang dirinya mengalah asal keberlangsungan tokonya aman.

"Gantilah barangnya yang bagus! Sesuai sama yang aku beli kemaren. Kasih yang bagus, jangan sampe kutuan lagi. Aku belinya yang premium, kok, dikasihnya yang jelek." Ibu batuh baya itu masih dengan nada tingginya.

Kale segera memerintahkan Aldi untuk menyiapkan barang sesuai pesanan wanita tersebut. Ia ikhlaskan kerugian hari ini. Anggap saja sedekah, batinnya coba menguatkan.

Selesai dengan masalh pelanggannya, Kale kemudian mendapat pesan masuk dari Risma. Wanita itu meminta dikirimkan beras 10 kg untuk persediaan di rumah. Suami Lesha ini hanya menghela napas tanpa membalas pesan tersebut.

Ketika hendak kembali ke ruangannya, Kale melihat tingkah aneh dua karyawannya. Mereka terlihat saling tunjuk sambil berbisik. "Ada apa lagi?"

Aldi dan Anto kembali saling tunjuk sampai Kale mengur keduanya agara segera berbicara apa bila ada masalah lagi.

Anto mengalah, karena memang dirinya yang mekihat secara langsung berita yang akan disampaikannnya ini. "Hmm, jadi gini, Mas. Tadi kan aku ada antar barang ke arah taman kota, ya. Terus di sana aku kaya ngeliat Mba Lesha. Mba Lesha lagi duduk bangku yang di bawah lampu-lampu itu. Aku liatnya, sih, Mba Lesha kaya lagi nunggu orang." Anto menjelaskan dengan hati-hati.

Wajah Kale langsung mengeras begitu mendengar berita tersebut. Tangannya mengepal kuat mencengkram ponsel di tangan kanan. Tarikan napasnya menguat seketika. Tanpa mengatakan apa pun, ia masuk kembali ke ruangannya. Dirinya juga membanting pintu melampiaskan panas dalam dadanya. Tidak menyadari kalau aksinya membuat kedua karyawannya mengelus dada sambil merapatkan tubuh satu sama lain.

Kale mengatur napas berusaha meredam kekesalan dalam hatinya. Ia juga meraih satu gelas berisi air mineral. Baru beberapa teguk minuman itu masuk ke mulutnya, ponselnya berdering. Terlihat nama Risma sebagai pemanggil.

"Ada apa?" Kale tidak menganggapi basa basi yang disampaikan Risma. Ia hanya ingin mendengar langsung pada inti tujuan wanita itu menghubunginya.

"Gini, Kal, kamu tahu kan kalau Randi suka banget sama nasi dari beras yang kamu kasih kemaren. Bisa kirim lagi, gak? Randi mau lagi katanya."

Dahi Kale berkerut mendengar ucapan Risma. "Bukannya baru kemaren aku kasih 10 kg? Masa udah habis! Gak mungkinlah!"

Dengan perlahan Risma menjelaskan bahwa beras tersebut sudah dipakai untuk keperluan katering. Emosi Kale kembali meningkat ketika mendengar hal tersebut. Ia juga mengingatkan bahwa urusan katering jangan dicampur dengan urusan rumah. Untuk keperluan katering sudah ada kerja sana dengan toko sembakonya dan itu harus dijalankan secara profesional. Ia mau memberi beras gratis karena menghormati Randi yang seorang anak yatim. Setelahnya, ia tutup panggilan tersebut tanpa mau mendengar ucapan Risma lebih lanjut.

Setelah menyelesaikan segala urusan sekaligus kekacauan yang ada di toko sembakonya, Kale langsung pulang. Hari sudah gelap ketika ia meninggalkan toko.

Begitu sampai rumah, Kale tidak mendapati sang istri menyambut kedatangannya, pun sekadar menjawab salamnya. Karena merasa haus, ia segera ke dapur mencari minuman dingin. Biasanya Lesha menyediakan jus siap minum di kulkas. Namun, hari ini hanya ada air putih saja. Ketika hendak mengambil gelas, rak piringnya tertutup panci, membuatnya kesusahan.

Entah kenapa, seharian ini emosi Kale seolah di pacu hingga puncak. Dan saat ini sudah mencapai titik tertingginya. Tanpa sadar, semua perasaan yang dipendam hari ini meletus ketika melihat Lesha tengah berbaring sambil memainkan ponsel sementara keadaan dapur berantakan.

Kale melontarkan amarahnya kepada sang istri. Ia juga membentuk Lesha. Bahkan dirinya juga mengatakan bahwa istrinya itu tidak becus mengurus rumah.

Lesha yang kala itu hendak menjelaskan keadaan tangannya yang terluka tidak diberi kesempatan bicara. Kale tidak mau mendengar sanggahan Lesha.

Akhirnya, Lesha membersihkan dapur dengan keadaan tangan belum diobati. Kale sempat memperhatikan istrinya bekerja ketika hendak ke kamar mandi. Istrinya itu menawarkan makan malan, tapi ia tolak. Dirinya lebih memilih langsung tidur.

Pagi harinya, Kale bangun seperti biasa. Ketika di meja makan, ia dapat melihat tangan istrinya berwarna merah dan sedikit menggelembung. Ia bertanya kenapa Lesha bisa terluka seperti itu. Sang istri hanya menjelaskan kalau itu hal biasa dalam memasak.

Kale merasa sedikit bersalah mendengarnya, apa lagi semalam ia bertindak kasar pada Lesha. Ia tidak tahu jika istrinya terluka sedari kemarin. Meski begitu, rasa rasa bersalahnya tidak bertahan lama mengingat istrinya itu membiarkan rumah dalam keadaan berantakan.

Lamunannya tersadar begitu mendapati abang iparnya masuk ke dalam ruangannya. Jiddan terlihat rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Mungkin dari kampus, pikir Kale.

Jiddan bisa melihat adik ipar sekaligus sahabatnya ini tengah banyak beban. Waja0hnya sangat mendung untuk cuaca langit biru cerah. Ia menanyakan keadaan Kale.

Kale hanya mengatakan ada masalah dengan stok toko sembako miliknya. Jiddan tidak percaya dengan alasan tersebut. Ia menebak jika masalah Kale pasti ada hubungannya juga dengan Lesha hingga membuat ekspresi Kale sekeruh itu. Jiddan memaksa Kale untuk bercerita untuk membuktikan dugaannya itu.

Sepertinya rasa bersalah Kale menguap begitu saja lada istrinya hingga mengatakan bahwa Lesha sering keluar rumah tanpa dirinya, membiarkan rumah berantakan, terakhir pergi sendirian ke taman kota tanpa pamit.

Bersambung...

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)?

Silakan tinggalkan jejaknya.

Satu Raga Dua Rasa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang