Penyelidikan Hinata masih menemui jalan buntu. Tentu saja, pemakaman sang nyonya Hokage turut menyumbang kebuntuan itu. Jasad tersebut tidak bisa diautopsi atau 'dilihat' mindscape nya.
Rasanya ingin ia menggunakan otoritasnya untuk menggali kembali sang pujaan hati. Menempatkannya di tabung raksasa, sehingga ia tetap bisa bersua ketika merindukannya. Ia juga berangan untuk menyuruh Ino menggunakan shintenshin no jutsu agar ia bisa menyelami pikiran Hinata sebelum ia meninggal dan menemukan satu-dua petunjuk.
Namun Naruto bisa apa, jika ternyata sebelum meninggal Hinata telah menandatangani surat cerai. Hatinya remuk dan bibirnya kelu bahkan sebelum mendebat Hiashi-sama.
Tidak ada yang tau bagaimana perasaan Nanadaime Hokage saat ini. Istri yang saat ia tinggalkan dalam keadaaan sehat bugar, terbujur kaku begitu ia kembali dengan membawa kemenangan. Rumah tangga yang ia kira baik-baik saja, rupanya melukai sang Hime Hyuga hingga perempuan cantik itu menggugat cerai dirinya.
Apa salahnya?
Mengapa Hinata meninggal?
Siapa yang membunuh Hinata? Ya tentu saja Naruto berpikir bahwa Hinata dibunuh. Bukan tidak mungkin musuh mengincar orang-orang berharganya bukan?
Seharusnya sedari awal ia tidak menjerat sang Hime Hyuga bersamanya. Seharusnya seperti Tsunade dan Kakashi, ia hidup sendiri dengan memikul tanggung jawab Hokage.
Sorot mata semua orang seakan memasungnya. Ingin ia abaikan, namun katakanlah bahwa Naruto memang sedikit terobsesi dengan pendapat orang lain- pendapat publik. Kepalanya semakin pecah memikirkan banyak hal.
Shikamaru prihatin melihat kondisi sahabatnya, namun ia tidak bisa memberi tahu apapun karena sudah berjanji dengan istrinya.
"Oi Naruto, bersiap-siaplah. Sesaat lagi para wartawan akan meliputmu untuk mengumumkan kematian Hinata. Ini jalan paling praktis daripada kau harus menghadapi diplomat-diplomat para negara aliansi."
"Hn."
Sialan, bahkan kini si pirang bodoh bertindak layaknya Sasuke Uchiha si irit bicara.
Pintu terbuka, kru wartawan dengan cekatan langsung mempersiapkan kamera, lighting, microfon dan draf wawancara yang diacuhkan oleh Naruto. Mereka memaklumi keacuhan tersebut. Siapa yang tidak gila bila ditinggal mati istri, ehmm dan kabar burungnya istri tersebut sempat melayangkan gugatan cerai. Tentu patah hatinya bertubi-tubi.
"Ehm, Nanadaime-sama dapatkah kita mulai liputannya? Ini merupakan liputan live, kami mohon kerjasamanya.", salah satu kru yang bertindak sebagai reporter berkata dengan ragu. Sedari tadi ia dan krunya diabaikan, sangat berbeda dari pembawaan si pemimpin desa yang ramah.
"Oi, Naruto!", Shikamaru tidak tahan untuk tidak menggeplak kepala pirang.
"Hn, baiklah kita mulai.", sahut Naruto datar.
"Baik, satu- dua - tiga - cue!"
"Selamat siang semuanya, kami dari Hino Kuni TV telah berada di Kantor Hokage Konoha. Dalam rona duka ini, mari kita mendengar pengumuman dari Konoha No Eiyu. Kepada Nanadaime Hokage, waktu dipersilahkan"
Kamera menyorot Naruto, ia masih setia tertunduk. Terdiam. Walau samar bahunya bergetar. Sialan, harusnya ia tidak mengumumkan kerapuhannya di TV Nasional secara live.
5 menit dan masih sama. Ia tidak bisa menegakkan kepalanya dan tidak bisa mengeluarkan satu kata pun tanpa bergetar. Ia menggigit bibirnya, namun bukannya reda ia merasakan isakannya membuat bahunya mulai bergetar.
Shikamaru mengerti keadaan sang sahabat dan hendak mengambil alih sesi ini, namun Naruto mengisyaratkannya untuk diam. Sebagai suami, ia harus melakukan ini sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
HER DEPARTURED
FanfictionKemenangannya kali ini tidak disambut dengan suka cita. Warga desa memakai baju serba hitam tanda berduka. Tidak seperti biasanya dimana mereka membawa bunga lili, kali ini mereka membawa bunga lavender. Sesampainya di rumah, beberapa medis-nin tam...