Kebahagiaan kecil
***
Entah kenapa Mael tidak ingin bicara lagi dengan adiknya. Foto-foto itu bukan membuat dirinya menangis, hanya saja sindrom membawanya kembali melihat situasi foto tersebut.
"Kak, aku mau ke kebun itu." Mael yang semula menunduk kini menatap adiknya bingung. Dari mana Mael tahu?
"Apa kamu sudah mengingatnya?" Dengan ragu, Meir mengangguk. Mael semakin tidak harus berkata apapun lagi. Ia mencoba mencerna semua yang barusan terjadi.
"Benarkah? Yakin?" Meir kembali mengangguk tetapi ini lebih semangat menyakinkan kakaknya. Namun, perkataan Meir selanjutnya membuat Mael menghela napasnya.
"Orang tua kita sudah tidak ada, Meir. Kenapa masih mencari mereka?" Meir menggeleng kuat, ia tahu sudah kehilangan orang tua, tapi dalam dirinya ingin mengetahui keberadaan orang tuanya.
"Lalu di mana mereka?" Pertanyaan itu membuat Mael tidak bisa berkutik lagi. Ia sudah capek. Bingung dengan semuanya. Tidak terhitung berapa kali Meir menanyakan perihal orang tuanya.
Ia senang melihat adiknya bisa mengingat kejadian yang terlupakan, di sisi lain kenapa harus sang orang tua lah yang membuat senyum itu pudar.
"Aku tidak mengizinkannya, Meir."
Mendengar itu sontak Meir memegang tangan Mael memohon untuk pergi ke kebun nenek. Yang lebih tua berusaha menolak dengan keras.
"Tidak, Meir!" Meir menggeleng kuat dan memeluk sang kakak agar mengizinkannya. Mael yang mendapat pelukan itu mencoba tenang, sejujurnya ia merindukan kebun itu. Dirinya juga tidak tahu sudah setinggi apa semua tanaman yang ditanamnya sedari kecil.
"Teleponlah nenek kalau begitu," sahut Mael melepaskan pelukan itu, kemudian beranjak pergi ke kamarnya.
Meir menjadi bingung dirinya sudah dapat izin atau belum. "Apa yang harus aku lakukan dengan nenek? Nenek siapa?" tanyanya ke diri sendiri.
"Ya, nenekmu lah," kata Yoshi membuat Meir terlonjak kaget mendapatkan Yoshi yang sedang memakai masker dari arah dapur.
"Kukira kamu sudah pulang tadi." Yoshi berjalan dengan tatapan datar, wajahnya kaku karena masker jadi ia tidak bisa berkata-kata terlalu banyak.
***
Suara dering telepon membuat Meir mengetukkan jarinya di meja kecil. Ia sudah menunggu setengah jam untuk mendapatkan jawaban dari sang Nenek.
"Halo, nak?" Suara di sana membuat Meir antusias.
"Nenek!"
Teriakan itu membuat Nenek di seberang sana tersenyum. "Ini Meir?" Meir yang mendengar itu mengangguk walaupun ia tahu Nenek tidak melihat anggukkannya.
"Nenek, apa boleh kami ke kebun bunga matahari Nenek?" Mendengar permintaan sang cucu yang perlahan mengingat kejadian lamanya.
"Siapa yang tidak memperbolehkan cucuku ke rumah neneknya? Ya, boleh nak." Tepuk tangan kecil Meir terdengar di telepon itu membuat wanita tua semakin tersenyum. Ia bersyukur Mael bisa sekuat ini menghadapi sang adik.
Yoshi mengintip dari balik dinding. Wajahnya kini sudah bersih dari sisa masker. Ia turut tersenyum mendengarnya. Pagi itu ia berniat untuk pulang ke kosan.
"Yos?" Suara samar memanggilnya membuat Yoshi bingung. Ada yang memanggilnya tetapi tidak ada sosoknya. Namun, saat dirinya mendekati kamar tamu ternyata ada Mael yang sedang mencari seseorang.
"Hah! Astaga kamu mengejutkanku." Mael berbalik badannya dengan wajahnya yang tertutup masker. Entah sejak kapan dia sudah memakai masker.
Mael tertawa kecil melihat raut wajah Yoshi. "Kamu kemana?" Yoshi teringat dirinya baru saja mengintip Meir yang menelpon neneknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mael : Here I Stand [HIATUS]
Teen Fiction[Baca dan Follow] ⚠️Don't plagiarize Kecelakaan itu mengubah semuanya. Andaikan waktu bisa berputar mundur, aku tidak akan kehilangan kedua orang tuaku. Yang kumiliki sekarang hanyalah saudara kembarku. Meir. Ia kehilangan ingatannya, dan hanya men...