Aku selalu mengingatmu? Aku berbohong
***
Sprei yang terlihat ada bercak air yang perlahan mengering membuat Meir merasa khawatir dengan sang kakak. Kaki kanan lelaki itu tidak sengaja terlonjak ketika menginjak sesuatu seperti papan kayu. "Ini apa?" tanyanya sambil menyingkirkan barang-barang kecil di sekitarnya. Ada sisir dan sebuah bantal kecil yang terjatuh. Kamar Mael bisa terbilang lebih bersih dibandingkan kamarnya sendiri.
"Pigura? Bukannya ... ini fotoku?" Tidak hanya foto Meir, di bawah kakinya terdapat banyak sekali foto-foto yang tersebar. Ada satu foto yang membuat Meir terdiam dan bertanya-tanya. Foto yang menunjukkan dua batu nisan bernamakan kedua orang tua mereka.
"Tidak mungkin! Ini bukan Bunda, kan? Bukan Papa kan?" bisiknya melemparkan semua foto, ia tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya cukup teliti. Kepalanya tiba-tiba berdenyut, pikirannya membawanya ke sebuah ingatan yang baru saja muncul.
"Mael! Lihat ini!" panggil Meir melambaikan tangannya, di depan anak itu terdapat bunga matahari yang sangat cantik setingginya. Mael tersenyum dan menaruh gunting rumput milik Bunda, langkah kecil itu membuat kedua orang tua mereka gemes.
"Kalian berhati-hatilah."
Mael mengelus bunga tersebut dengan nyaman, Meir yang melihat itu ikut meraba kelopak kuning yang merekah dengan indah. "Meir, kamu tahu artinya bunga matahari?" tanya Mael yang langsung mendapatkan gelengan kepala dari Meir. Bunga matahari di sekeliling mereka memiliki ukuran lebih tinggi dari kedua anak itu.
"Bunga matahari adalah bunga yang melambangkan kesetiaan, dia tidak pernah berpaling menghadap matahari. Dia selalu ingat apa yang membuatnya hidup." Mata Meir berbinar mendengar jawaban dari saudara kembarnya. Ia menyukainya.
"Benarkah?" Mael mengangguk, dan tersenyum ketika Meir antusias menggenggam tangannya.
"Kalau begitu berjanjilah ... kita berdua akan selalu bersama dan ingat satu sama lain," lanjut Meir mengangkat jari kelingkingnya. Mael tertawa kecil dan memeluk tubuh adiknya, tetapi hal itu tidak membuat senyum Meir turun. Yang lebih muda tertawa menyukai perlakuan kakaknya yang tidak biasa.
"Aku janji kita selalu bersama." Meir yang memiliki badan lebih besar mengangkat tubuh saudara kembarnya ke atas membuat Mael tertawa geli. Bunda yang melihat itu ikut tertawa.
Meir terduduk di kasur milik Mael. Ia mencoba mencerna apa yang barusan ada di pikirannya. Ingatan tentang kebun di rumah Nenek kini sudah menetap di ingatannya. "Kita punya kebun bunga matahari? Bunda masih hidup?" Sayangnya Meir masih yakin kedua orang tuanya ada di sana.
***
Yoshi masih berada di rumah saudara kembar tersebut lantaran melihat kondisi Mael yang berkeringat dingin. Cuaca di luar semakin gelap, padahal lelaki itu sempat menjemur selimut milik Mael. "Meir!" panggil Yoshi yang langsung menutup mulutnya karena tersadar Mael masih dalam keadaan tertidur.
"Diluar mau hujan lagi, yakin mau berangkat ke kampus?" tanyanya pelan. Meir menatap Yoshi dengan tatapan bingung. Namun, cahaya gledek tiba-tiba muncul membuat keduanya terkejut. Meir menghela napasnya kecewa. Ia ingin sekali pergi ke kampus pagi itu, walaupun bukan mata kuliah ataupun dosennya yang diincar, melainkan teman-temannya.
"Tapi mata kuliahku mulai pukul setengah sembilan, dan masih sempat menunggu kalau hujan." Yoshi menatap sosok di depannya datar, dipukulnya lengan yang sudah berbalut kemeja. Meir mengelus lengannya karena tinju Yoshi benar-benar sakit.
"Kirain sekarang. Kamu sudah serapi ini juga mau kemana?" Yoshi berjalan mundur kembali menatap Meir yang cengengesan. Meski Yoshi tahu Meir hilang ingatan, tetapi gerak-gerik lelaki itu masih sama seperti dulu. Cerobohnya Meir benar-benar membawanya seperti dulu.
Yoshi seperti benang merah yang membantu di antara kedua hubungan. Ia juga tidak menginginkan sepasang saudara kembar ini menjadi dua sosok yang berbeda. "Kak Yos?" panggil Meir yang membuat Yoshi tidak jadi mandi untuk kedua kalinya.
"Iya, Meir? Ada apa?" Meir terdiam sejenak, ia terlihat berpikir sebelum berbicara. Yoshi menunggu lelaki di depannya dengan sabar, dirinya menahan kencing sedari tadi.
"Apa aku dan Mael punya kebun bunga matahari?"
Pertanyaan Meir membuat Yoshi menatap intens. Memang tidak ada yang salah dengan pertanyaan
"Bagaimana kamu tahu soal bunga matahari? Kamu sudah ingat?" Yoshi mengecek dahi Meir hingga ke pipi lelaki itu. Meir yang merasa badannya tidak panas menyingkirkan semua tangan Yoshi dengan pelan.
"Tidak, a-aku ...."
"Ya?" Yoshi terkejut mendengar jawaban Meir yang terbata-bata.
"Tidak apa-apa. Aku merasa pusing, lalu entah kenapa aku mengingat kejadian itu tiba-tiba tadi." Meskipun Meir sekarang mengatakannya dengan lancar, tetap saja hal itu mengundang kecurigaan Yoshi. Lelaki blasteran Jepang itu memutuskan tidak ambil pusing dan memilih pergi ke kamar mandi.
Meir yang menunggu reaksi dari Yoshi menggelengkan kepalanya pelan. "Tadi penasaran, sekarang malah ditinggal begini." Matanya kini beralih ke arah kakaknya yang masih tidur di sofa. Meir memikirkan efek yang dibuatnya hingga sang kakak bisa sakit separah ini.
"Kak, kenapa harus kamu yang menanggungnya?" bisik Meir duduk di karpet sambil mengelus rambut Mael yang tenang. Beruntung sofa tersebut lebarnya cukup luas. Lengan kemeja yang memenuhi sepanjang tangan itu ia gulungkan sebelum mengambil lap kering.
Dibersihkannya keringat Mael dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Melihat wjaah Mael, ia tidak menyangka bisa melihat cerminan dirinya sendiri. Hanya saja Mael memiliki aura yang lembut seperti Bunda. "B-bunda, kenapa bunda pergi lebih cepat ..." lirih Mael dalam mimpinya. Mendengar itu Meir cukup terkejut, ia mengelus pipi sang kakak berniat membangunkannya.
Tetapi kedua mata itu perlahan terbuka menerima cahaya lampu, Mael meraba sekitarnya membuat Meir yang peka membantu yang lebih tua untuk duduk. "Kak, ada yang perlu dibantu? Masih sakit?" tanya Meir membuat Mael menoleh ke arahnya.
Pelukan yang tiba-tiba membuat hati Meir menghangat. Mael menyembunyikan air matanya di ceruk leher adiknya. Tangan Meir mengelus punggung itu dengan nyaman. "Kak Mael ... kakak, tidak apa-apa?" tanya Meir kemudian setelah merasakan Mael mulai tenang. Pelukan tadi perlahan dilepaskannya.
"Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Meir, kamu tidak apa-apa?" Meir tersenyum gemas melihat kakaknya. Ia dengan semangat mengangguk. Mael mengelap air matanya sendiri, hidungnya yang memerah membuat keadaan dirinya semakin berantakan.
"Aku tidak apa-apa, kak. Aku akan berusaha mengingatnya seperti janji kita bersama bunga matahari," jawab Meir membuat Mael menatap secara intens. Tatapan itu didapatkan dua kali oleh Meir semenjak Yoshi melakukan hal yang sama.
"Kamu tidak salah bicara kan?" Meir menggelengkan kepalanya kuat.
"Sudah aku bilang aku akan mengingatnya perlahan."
"Bagaimana kamu bisa tahu sejauh itu?" Meir terdiam sejenak, ia takut jika mengatakan hal yang sebenarnya. Namun, dengan keberaniannya Meir mencoba berbicara jujur.
"Aku melihat foto yang ada di kamar kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mael : Here I Stand [HIATUS]
Teen Fiction[Baca dan Follow] ⚠️Don't plagiarize Kecelakaan itu mengubah semuanya. Andaikan waktu bisa berputar mundur, aku tidak akan kehilangan kedua orang tuaku. Yang kumiliki sekarang hanyalah saudara kembarku. Meir. Ia kehilangan ingatannya, dan hanya men...