"How do you remember?"
***
Yoshi terbangun di pagi yang masih gelap, ia cukup terkejut melihat pigura yang sebelumnya diletakkan di meja sudah hilang. "Siapa yang mengambilnya?" bisik Yoshi sambil berjalan ke arah dapur. Mael terkejut dengan kehadiran Yoshi yang mengambil minum tanpa bicara. Langkahnya yang pelan membuat Mael tidak sama sekali menyadari kedatangannya.
"Kenapa kamu melemparkan garpu?" tanya Yoshi menyadari itu. Mael menggeleng pelan sambil tertawa kecil mengingat kejadian barusan. Melihat Mael yang memotong beberapa tahu itu membuat Yoshi terpikirkan sesuatu. Susu yang ia minum membuatnya mengernyit kebingungan. Saat ia membalikkan kotak itu, tertera susu coklat almond. Yoshi sedikit tertawa karena ia meminum kesukaan Mael.
Dituangkan susu itu untuk Mael juga.
"Apa kamu mau masak oseng tahu?" Mendengar ucapan Yoshi, Mael mengangguk semangat. Oseng tahu adalah makanan kesukaan Meir, Yoshi mengerti sekarang setelah Mael sedikit menjelaskan kalau dirinya belum sempat memasak makanan ini semenjak kejadian kecelakaan. Lelaki itu ikut meminum susu yang sama di pagi yang hari. Doakan mereka berdua tidak sakit perut.
Yoshi pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, terlalu dingin untuk mandi di pagi buta seperti ini. "Aku bantu potong sayurnya, ya?" tawar Yoshi yang langsung mengambil kacang panjang dan beberapa ikat sawi putih. Mael yang ingin menahan pergerakan Yoshi tidak jadi, lantaran Yoshi sudah siap memotong.
"Terima kasih."
Yoshi menengok sesekali ke arah Mael. Ia tersenyum bisa saling membantu. Kegiatan keduanya mengingatkan pada kebersamaan mereka bertiga di dapur. Meir lah yang lebih suka memasak ketimbang Mael. Namun, entah kenapa Meir lebih sering memasak telur yang sama persis dengan masakan Bunda. Sampai bumbu dan penampilan masakannya sama persis.
"Dia lebih sering memasak olahan telur, dan itu terus mengingatkanku kepada Bunda," cerita Mael lalu menggoreng potongan tahu. Yoshi mengangguk, ia mencoba diam karena merasa lelaki kembar itu ingin melanjutkan pembicaraannya.
"Ya, dia selalu bilang kalau merindukan Bunda. Ingin sekali kuajak dia ke kuburan Bunda, tetapi aku merasa tidak yakin ... apalagi ia selalu bercerita ke aku kalau dia iri sekali dengan teman-temannya yang masih bersama orang tuanya, sedangkan selalu bertanya ke diriku soal Bunda."
"Bunda masih di rumah sakit, ya, kak? ... itu memang kalimat yang sederhana, tetapi membuatku nyesek mendengarnya," lanjut Mael yang sempat menghentikan kegiatannya mencoba merilekskan diri.
Yoshi mendekatkan mangkuk yang berisikan potongan sayur yang sudah dipotong. "Aku memahaminya, El. Tidak semudah itu untuk bisa meyakini adikmu." Mael mengangguk setuju. Ia bersyukur memiliki teman yang sangat perhatian ke dirinya.
Mael mencoba fokus ke masakannya, namun pikirannya yang buyar membuat jarinya terluka terkena wajan panas. Langkah tergesa-gesa dari arah tangga membuat Yoshi panik karena takut Meir terpeleset.
"Kak Mael! Kakak tidak apa-apa?" Yoshi terdiam melihat Meir yang menarik tangan Mael untuk dibersihkan menggunakan air mengalir. Mael mengambil tisu dan mengeringkan jarinya yang masih nyeri karena panas.
Meir berjalan ke belakang lemari besar di sebelah dapur. Dibuka kotak p3k. "Aduh, kak! Hati-hati lain kali. Aku tidak mau kejadian yang sama seperti leher kakak." Mendengar itu sontak Mael menjauhkan jarinya.
"Dari mana kamu tahu soal leherku?" Meir menghela napasnya. Ia memaksa sang kakak untuk menerima obat merahnya. Yoshi mengangguk di belakang Meir mengisyaratkan agar patuhi perintah adiknya.
Meir menutup kembali kotak itu, dan membiarkan Yoshi mengembalikan ke lemari. "Leher kakak bukannya sempat tergores beling kaca saat kecelakaan. Lihat! Bekas lukanya pun masih ada." Meir menunjuk leher Mael. Bekas luka itu masih terlihat jelas di sana. ada 5 cm terbentang, garis merah. Butuh waktu yang lama untuk sedikit memudar.
"Meir ...." Meir mendongakkan kepalanya melihat kedua manik sang kakak yang sudah berbeda.
"Sejak kapan kamu mengingat kejadian saat kita kecelakaan!" Mael menahan tangisannya karena ingatannya sudah terlampau jauh. Kini dipikirannya kembali terlintas dirinya berada di mobil. Yoshi menahan tubuh Mael yang tidak kuat berdiri. Meir menjauhkan tangannya, obat merahnya terjatuh tidak sengaja.
Tangan Mael memegang dadanya. Ia merasakan gugup yang luar biasa. Meir menjadi panik dan terus memikirkan kesalahannya. "Maaf, kak. Semua kejadian itu melintas di pikiranku." Keadaan di dapur menjadi riuh. Yoshi mematikan kompor karena nyaris gosong. Dirinya menggendong Mael karena lelaki itu benar-benar kelelahan karena menahan rasa sakit di dadanya.
"Syukurlah," katanya lalu kembali membawa badan Mael untuk direbahkan di sofa ruang tengah. Meir berjalan mengikuti keduanya dengan pelan. Yoshi membiarkan Mael bergerak dengan nyaman, mencari posisinya.
Hampir satu jam mereka di dapur. Meir mengangguk ketika Yoshi ingin bicara berdua dengannya. "Kamu bilang sudah ingat mengenai kecelakaan itu?" tanyanya yang langsung kembali mendapat anggukan dari Meir.
Yoshi tersenyum lebar dan memeluk tubuh yang lebih muda itu. Tidak menyangka ingatan Meir perlahan muncul kembali, walaupun itu kenangan yang buruk. Meir mengungkapkan kalau mereka mengalami kecelakaan dan orang tua mereka masih dirawat di rumah sakit.
Senyum lebar Yoshi kembali menjadi datar. Dilepasnya pelukan itu. Tatapan Meir sangatlah polos seolah apa yang dikatakannya memang benar. Ia tidak tahu harus mengungkapkan apalagi. Kini ia tahu apa yang dirasakan oleh Mael ketika Meir terus membicarakan soal kedua orang tuanya. "Orang tuamu sudah tidak ada, Meir."
"Tidak, Yos!" bentak Meir menolak pernyataan dari Yoshi. Lelaki itu terus mengatakan hal yang sama. Yoshi menggeleng kepalanya.
"Itu tidak benar, Yos. Aku bisa ingat mereka masih hidup. Berhentilah mengatakan mereka sudah tiada!"
"Tapi itu kenyataannya, Meir. Kakakmu sekarang ... lihat! Dia terluka karena bisa mengingat dengan detail kejadian kecelakaan kalian, bahkan dialah yang paling sakit di antara kalian berdua!"
Meir terdiam, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Selama ini dia selalu berharap lebih dari sang kakak meski dirinya tidak menganggap Mael kembarannya. Kecelakaan itu berdampak besar ke Mael. Bayangkan saja kejadian itu memiliki detail yang sangat berharga, namun diantara semua detail ada yang perlu disingkirkan.
"Dan satu lagi ...." Ucapan Yoshi membuat Meir menjadi sedikit serius.
"Bagaimana kamu mengingat semua ini?"
"Foto itu ... aku membawanya ke kamar. Entah kenapa ada yang janggal. Seperti ada yang kulewatkan." Yoshi tersenyum tipis. Ia menemukan orang yang mengambil pigura itu. Meir tertunduk ragu dengan semua yang terjadi barusan.
Waktu menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Sinar matahari perlahan muncul. Yoshi memutuskan untuk melihat keadaan Mael yang sekarang tenang. Lelaki itu tertidur dengan nyaman dengan tangan yang masih memegang dadanya. Yoshi merasa bersalah karena tidak bisa membantu banyak.
***
Meir kembali ke lantai atas untuk bersiap pergi ke kampus karena ia mendapatkan kelas pagi. Namun, ada satu hal yang membuatnya bingung. Kamar Mael terbuka separuh dan memperlihatkan keadaan kamar di sana yang penuh dengan tisu.
"Apa dia sering menangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mael : Here I Stand [HIATUS]
Teen Fiction[Baca dan Follow] ⚠️Don't plagiarize Kecelakaan itu mengubah semuanya. Andaikan waktu bisa berputar mundur, aku tidak akan kehilangan kedua orang tuaku. Yang kumiliki sekarang hanyalah saudara kembarku. Meir. Ia kehilangan ingatannya, dan hanya men...