Part III

258 22 0
                                    

BEBERAPA hari kemudian, Mikasa ditemani oleh Levi untuk mengunjungi desainer langganan keluarga Ackerman. Sang desainer pun menunjukkan beragam koleksi tuksedo dan gaun yang baru ia buat untuk musim ini. Sebenarnya, bagi siapa pun yang tak memiliki kejelian tingkat tinggi, pasti akan berpikir bahwa semuanya akan tampak sama saja, tak ada yang istimewa, selain hanya dapat dibedakan dari warna yang terlihat, motif, dan juga bahan yang bisa diraba tentunya.

Eren mengabari Mikasa melalui pesan singkat, bahwa ia akan menyusul segera. Mungkin habis bekerja, pikir Mikasa. Bila Mikasa boleh jujur, Eren itu terlihat seperti pria tangguh dengan harga diri yang tinggi, sepertinya akan sulit baginya menghadapi sosok yang sebenarnya tampan ini. Namun, Mikasa pun sadar diri bahwa semua ini hanyalah berdasarkan kontrak. Jadi, seperti yang sudah disampaikan kepada Sasha tempo lalu bahwa ia akan sekadar menghargai Eren sebagai manusia yang tak lama lagi akan satu atap dengannya.

Setibanya Eren di sana, langsung saja ia mencoba beberapa tuksedo yang menjadi rekomendasi sang desainer. Mikasa pun rencananya akan menggunakan gaun yang warnanya senada dengan milik Eren. Tentu saja itu adalah ide dari sang desainer karena merasa gemas melihat betapa serasinya mereka, bahkan tinggi badan mereka pun sama. Sungguh keduanya akan menjadi pasangan terhebat di musim ini, pikir sang desainer.

"Baiklah, setelah kami melakukan beberapa penyesuaian, akhir pekan ini sudah bisa diambil ya tuksedo dan gaunnya. Omong-omong, selamat atas pernikahannya, semoga segalanya berjalan lancar," ucap sang desainer tulus.

Eren hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban, sedangkan Mikasa berucap terima kasih dan menyalami sang desainer. Levi yang ada di sana pun hanya memperhatikan keadaan.

Setelahnya, mereka memutuskan untuk pulang. Namun, Eren menghadang langkah Mikasa terlebih dahulu dan membawanya menjauhi Levi. "Sudah, 'kan? Habis ini udah gak ada persiapan apa-apa lagi, 'kan?" tanyanya.

"Sudah, kok. Paling tinggal ambil tuksedo sama gaunnya aja. Persiapan yang lain juga kan yang mengurus asisten dari keluargaku. Cuma kalau kamu gak sempat ambil tuksedonya, biar nanti minta dikirim ke alamatmu aja," jawab Mikasa.

Eren menghela napas lega. "Okelah, kalau gitu kirim aja ke alamat gue. Malas gue pergi-pergi lagi. Kita ketemu lagi di hari H aja."

Mikasa mengangguk mengiyakan, lantas Eren langsung pergi begitu saja karena merasa urusannya telah selesai dan tak ingin mendengar Mikasa berucap apa pun lagi.

Saat Mikasa sudah masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh kakaknya, lantas sang kakak pun berkata, "Eren anaknya dingin banget, ya. Gak ada basa-basi, semuanya langsung ke inti."

Mikasa tersenyum seraya menjawab, "Privilege-nya orang tampan tuh gitu gak sih, Kak? Kakak juga kan sering kayak gitu."

"Privilege apaan?! Kakak gak gitu, ya!" protes Levi yang membuat Mikasa tertawa di kursinya.

Lantas Levi lanjut berujar, "Kakak perhatikan dari awal kepribadian dia memang gak bersahabat. Kamu harus kuat menghadapi orang kayak gitu. Kalau dia bertindak berlebihan, kamu pun harus bisa ngelawan. Dan juga semua ini kan cuma kontrak, jangan sampai terbawa perasaan, oke?"

"Ye ... siapa juga yang mau terbawa perasaan? Ngawur, ih!"

"Kali aja. Gak ada yang tahu, 'kan?"

"Iya, iya. Bawel, deh. Ssuka heran sama Kak Hange, kok kuat berurusan Kakak yang begini?"

Lantas Levi pun menjitak Mikasa dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih memegang kemudi.

♡♡

TEPAT satu minggu setelah Hari Valentine, hari pernikahan pun tiba. Pesta digelar secara private di sebuah gereja dan hanya keluarga inti saja yang hadir di sana. Pengucapan janji suci pernikahan terasa seperti formalitas belaka, tak ada cinta, kesungguhan, serta ketulusan sama sekali. Dilanjut dengan bertukar cincin dan kecupan yang teramat singkat, layaknya bahu yang bertabrakan saat berpapasan dengan seseorang. Sungguh sangat konyol sekali. Dalam hati pun Eren merutuki segala yang terjadi. Dongkol, kesal, ingin sekali ia mengumpat tanpa tahu adab bila tak menyadari dirinya tengah berada di rumah Tuhan.

Eren terlihat sangat tampan mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan warna putih sebagai aksen tambahan di bagian kerah dan pergelangan tangan, sedangkan Mikasa terlihat cantik sekali dibalut dengan gaun putih yang menjuntai di lantai serta rambutnya yang dihiasi dengan wedding veil. Sungguh mereka serasi sekali; persis seperti apa yang dikatakan oleh sang desainer. Bahkan Levi diminta secara khusus oleh sang desainer untuk mengirimkan foto pasangan yang akan menikah ini agar bisa dimasukkan ke dalam portfolio design jika diizinkan. Namun, karena Levi sangat mempercayai sang desainer yang telah bertahun-tahun bekerja sama dengan keluarga Ackerman, maka Levi pun berkata akan mempertimbangkan hal tersebut nantinya.

Setelah upacara pernikahan selesai tanpa adanya resepsi dan rangkaian acara lainnya, mereka semua pun pulang ke kediaman masing-masing; termasuk dengan Mikasa dan Eren yang kini akan menempati sebuah kondominium—hadiah pernikahan mereka. Barang-barang milik keduanya juga telah dipindahkan ke sana sejak dua hari yang lalu, bahkan keluarga Ackerman turut mengirimkan seorang butler, juru masak, dan asisten rumah tangga lainnya untuk membantu mengurus segala keperluan mereka.

Suka tidak suka, mau tidak mau keduanya memang harus hidup bersama untuk beberapa waktu ke depan, bahkan berbagi ranjang yang sama pun harus dilakukan meskipun tak akan pernah ada niatan dari mereka untuk saling menyentuh satu sama lainnya. Itu merupakan suatu hal yang keduanya sepakati agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan atau asumsi dari para pekerja di kondominium.

Setibanya di kamar, Eren langsung melepaskan setelan tuksedonya dan berganti dengan pakaian yang lebih santai. Dilanjutkan dengan merebahkan tubuhnya di atas kasur, menutup matanya, dan menempatkan lengan kirinya di wajahnya sendiri. Ia bahkan tak peduli dengan kehadiran sosok lain di ruangan yang sama dengannya.

Mikasa justru kini tengah berjalan ke walk in closet untuk mencari bathrobe, dan setelahnya pergi menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat mengaliri seluruh permukaan kulit Mikasa, rasanya seperti sedang dipijat dan sangat nyaman. Ingin sekali Mikasa berlama-lama di sana, namun ia pun menyadari bahwa kini dirinya tak tinggal seorang diri lagi. Maka ia harus bisa menghargai orang lain dan tak mengeksploitasi segalanya sendiri.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Mikasa hendak mengeringkan rambut, namun seketika itu pula aktivitasnya terhenti akibat ucapan Eren yang tak ada basa-basinya sama sekali.

"Gue gak habis pikir deh sama lo. Kenapa sih lo kelihatan tenang banget dari awal pertemuan? Lo jangan-jangan memang mengharapkan pernikahan ini terjadi, 'kan?" ucapnya sembari berdiri dan bersedekap di dekat pintu.

Mikasa hendak menjawab, namun Eren menginterupsi dan berucap kembali dengan emosi yang masih membumbung tinggi. "Gue ingetin lo dari sekarang ya, gak usah berharap lebih deh lo. Gue ini punya pacar, gue cintanya sama pacar gue. Berengseklah! Kalau bukan karena urusan perusahaan, ogah banget gue nikah sama lo!"

Mikasa mendengus, lantas menjawab, "Aku tahu kalau kamu ini emosi, marah dengan keadaan. Tapi, aku di sini juga korban. Sekarang tergantung diri kita masing-masing aja yang menjalaninya gimana. Mungkin benar kata kamu kalau aku lebih tenang, karena buatku memberontak pun percuma kalau ayah langsung yang sudah mengeluarkan titah."

"Tapi lo harusnya punya pendirian dong?! Punya impian?!"

"Kalau yang kamu maksud salah satu impian itu adalah pernikahan, aku bahkan belum pernah membayangkan itu sebelumnya."

"Persetan! Ngelak aja terus lo! Dan satu lagi, gak usah berlagak sok sopan deh lo di depan gue. Aku, kamu, aku, kamu! Risih gue dengarnya!" ucap Eren diiringi dengan entakan keras pada pintu kamar.

Eren meninggalkan Mikasa di kamar sendirian. Mikasa bahkan masih mematung di tempatnya berdiri sedari tadi. Lantas kini ia mulai mengeringkan rambutnya, turun ke dapur untuk mengambil botol minum dan juga gelas, berakhir dengan menempatkannya di atas nakas di samping tempat tidurnya.

Butler pun sempat menawari makan malam, namun Mikasa menolaknya dengan sopan. Ia kehilangan selera sejak Eren melontarkan segala emosi terhadapnya. Diraihnya ponsel yang sedari pagi ia tinggalkan di atas nakas, dan saat layarnya menyala terpampanglah segala notifikasi pesan dari Sasha yang menanyakan perihal pernikahannya.

Ditekannya tombol panggilan pada kontak Sasha dan dalam hitungan detik Sasha pun berkata, "Halo! Ya! Gimana?"

Mikasa pun menceritakan segalanya pada Sasha, namun hanya perihal Eren yang marah-marah padanya barusan saja yang tak ia ceritakan. Rasanya sedikit tidak etis bila mengingat status Eren yang telah menjadi suami resminya—walau tetap saja semuanya hanyalah kontrak belaka. []

How can I love the heartbreak, you're the one I love | Eremika (Attack on Titan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang