Suara ketukan pintu itu terdengar berirama.
"Are you ready?" Seorang lelaki berkebangsaan Belanda berjas hitam dilengkapi inner kaos dengan setelan celana senada muncul dari balik pintu yang tertulis dalam bahasa Inggris-Indonesia 'Dilarang Masuk' . Senyuman gugup menjawab segala pertanyaan lelaki itu. "It's okay!" Kalimat singkatnya mengubah suasana hati menjadi tenang.
Wanita itu mengenakan gaun balet putih mekar beserta sepatu balet nan cantik melangkah menyusuri koridor lalu tiba balik panggung besar bertirai merah, dirinya dinaungi beberapa penjaga dan staf-staf pemandu acara.
Dadanya sibuk dengan suara-suara dari jantungnya, terdengar jelas sayup-sayup musik ringan penyapa penonton. Lagi-lagi kamera blitch yang tidak pernah tidur itu—menangkap langkah demi langkah. Seperti dejavu, seperti kebiasaan masalalu,seperti wajahnya sudah lama dinanti-nanti.
'Apakah benar mimpi ini terwujud?' Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Batinnya makin membuncah didalam sana. Begitu hening mulai terasa, mendengar dengan benar jika debar kuat itu kembali lewat jantungnya. Kebiasaannya menggigit bibir ketika cemas menggelilingi dirinya belum dapat hilang sampai di usia tiga puluh tiga.
Dipanggung besar dan megah ia pijak sedang berpihak baik, lampu-lampu panggung menyinari dirinya yang paling mampu. Diana, nama yang melegenda itu kembali mengendalikan ratusan mata. Hanya dia. Mereka—tertuju pada ratu 'odette' julukan yang tak pernah mati, selalu hidup bersama prestasi-prestasinya.
Dihembuskan nafasnya agar ia bisa menghirup luas kelegaan yang terikat kecemasan kemudian memejamkan mata menjadi hal kedua paling penting untuk memantrai pikirannya.
Semua luka sudah sembuh, prasangka baik menghampiri dirinya,ketrampilan layak dihadiahi ratusan medali emas. Usaha yang ia lakukan selama itu terbayar tuntas dengan keberhasilan.
Kecuali...
Secuil keserakahan dari masalalu merubah satu hal. Satu hal, yang tidak terpikir jika selain balet masih ada sesuatu paling penting yang hampir ia lupakan. Senyuman yang sudah tidak pernah ia lihat kembali. Sampai pada suatu masa ia bertanya-tanya. Apakah dia akan kembali?
Dirinya yang terombang-ambing kegundahan hampir habis akal, jika pertanyaan sederhana dapat ia uraikan hingga berbait-bait bahkan berparagraf-paragraf namun, tetap saja. Tetap saja, rentetan sol-sol sepatu balet paling pertama ia pikirkan, tapi.. tidak untuk kala itu. Yang menjadi keharusan dalam kelangsungan hidupnya bukan manusia dimana di-hatinya tidak memiliki ruang penuh seperti ia. Menjalankan sisa ketidakpuasan dalam hidup sudah seperti seekor tonggeret yang masih beranjak dewasa. Diantara misi masa depan dan jatuh cinta. Ia memilih pilihan pertama, mendahulukan hal pertama, mengedepankan masa depan, menjauhi cinta yang sulit ia dapatkan, menyia-nyiakan keutuhan.
Yang menjadi pertanyaan : Apakah ia merasa bahagianya kekal tanpa cinta? Hingga saat ini, setelah segalanya tercapai, setelah masa depannya sejajar dengan dirinya sendiri, ia tidak benar-benar merasa benar sepenuhnya. Ia masih haus dan kelaparan. Ia masih belum menikmati apapun.
Ia menginginkan seseorang itu benar-benar ada di hidupnya.
YOU ARE READING
Dancing with Sadness
Short Story"Selamat tinggal" Ucap Diana setelah beberapa hari tidak melihat Adam. Dan setelah-setelah itu ia tidak pernah menjumpai lelaki itu. Cinta itu tidak akan hadir jika keduanya sama-sama merasa kosong. Cinta mengartikan bila dirinya rela menukar sedi...