Diana dan Adam memarkir rapi mobilnya. Atensinya mematung di depan papan masalalu, dahulu bertuliskan 'Les Balet E.M' berganti dengan logo sendok dan garpu 'Rumah Makan Yohan'. Pengunjung di pagi hari sudah setengah sibuk mengantre memenuhi isi perut, isi pikirannya masih tentang masa lampau ruangan disulap menjadi sol-sol sepatu dan loker-loker paling ujung berubah menjadi kursi-kursi yang dijejer rapi seperti balet barre adjustable besi pegangan untuk berlatih.
Sampai ia melihat sosok kebanggaannya, menghampirinya.
"Apa kabar Bu?" Diana menyapa riang, hatinya penuh kerinduan pada sang pelatih paling berjasa selama hidupnya.
"Diana" Wanita paruh baya itu mudah mengenali dirinya beliau melempar gula aren yang sedang ia bungkus rapi, wajahnya sudah menua tapi tetap berkharisma seperti dulu, kulitnya masih cerah walaupun sudah diserang keriput. Bu em berperan dalam keberhasilan dirinya dan balet. Tanpa Bu em ia tidak akan pernah merasakan bagaimana memegang medali emas.
"Bu em! Sehat?"
"Puji tuhan, sehat sekali.. berkat vitamin yang rutin kamu kirim tiap bulan"
Diana terkekeh oleh jawaban pelatih tercintanya itu. "Bu em bisa aja!"
Bu em melihat Adam dari bawah hingga atas, Diana dapat membaca rasa penasarannya "Ini Adam Bu Em, orang yang bantu-bantu ayah"
Bu em mengangguk percaya.
"Kalau ini Yohan cucu aku yang gantiin ayahnya sementara. Tampan kan?"
Diana tanpa rasa canggung menjulurkan tangannya, begitupun Yohan yang tak sungkan-sungkan menyalaminya "Aku Diana murid kesayangan bu Em" Ucap Diana sangat percaya diri.
"Yohan"Lelaki dengan celemek putih itu pergi setelah menghidangkan beberapa makanan.
"Kalau aku masih muda seperti kamu, kita bisa menari sama-sama"
"Ah, Bu Em kan masih muda!"
"Kamu bisa aja" Bu em meniru gaya bicaranya.
"Setahun yang lalu ayah kamu datang sama wanita"
"Siapa?"
"Sepertinya seumuran sama ayah kamu, rambutnya panjang terus tingginya enggak jauh beda sama ayahmu"
'Tidak mungkin ibu kan?' Ia bermonolog dalam hatinya.
"Mungkin calon ibu baru.." Ucap Diana tanpa beban.
Bu em tertawa, beliau terkadang bisa dibilang agak pikun. Karenanya Diana tidak ingin terlalu mempercayai penuh kata-kata dan penglihatan darinya.
Dua jam lebih Diana dan Bu Em melakukan percakapan-percakapan ringan tentang balet untuk melepas rindu pada masa itu, ia bercerita tingkah konyol Diana yang sering menangis bila gagal melakukan putaran demi putaran saat menari, di hari pertama Diana mengikuti kelas balet ia sangat antusias bahkan demi tidak terlambat ia tidak masuk sekolah. Yang paling bisa di percaya bu Em melalui perkataannya hanyalah cara menari. Setiap detail gerakan-gerakan balet terpatri tidak pernah sedikitpun terlewat. Kesetiaannya pada balet melebihi cintanya pada sang almarhum suaminya.
"Kalau begitu Diana pamit dulu ya Bu em, jaga diri, semoga sehat selalu biar bisa lihat konser tunggal Diana"
"Amen..Amen! Tuhan memberkati mu"
Diana memberikan dua kardus besar berisi segala kebutuhan bu Em dan membayar semua makanan untuk orang-orang disana, ia tidak akan pernah melupakan ilmu dan kebaikan dari Bu Em.
"Makasih.. udah mau direpotin mulu"
"Kamu kebanyakan bilang makasih terus kenapa sih?"
Diana mengangkat kedua bahunya "Semacam kebiasaan"
YOU ARE READING
Dancing with Sadness
Short Story"Selamat tinggal" Ucap Diana setelah beberapa hari tidak melihat Adam. Dan setelah-setelah itu ia tidak pernah menjumpai lelaki itu. Cinta itu tidak akan hadir jika keduanya sama-sama merasa kosong. Cinta mengartikan bila dirinya rela menukar sedi...