Terakhir.

0 0 0
                                    

Pagi-pagi buta ia mendengar Ayahnya seolah mengomel cemas. Diana mengucek-ucek matanya karena baru saja dia bangun dari tidur.

"Kenapa sih Yah?" Ayahnya memegang ponsel, seolah menunggu kabar dari seseorang.

"Adam.. pergi" Diana masih santai saja mendengarnya. Sudah biasa bukan jika Adam pergi? Lelaki itu sering kesana kemari dan tidak bisa diam di tempat.

Ayah Diana menghela nafas, "Adam tadi pamit..." Ucapan Ayahnya membuat Diana bergerak cepat mendekati kursi lalu duduk di atas sana, menunggu lanjutan kalimat yang tak kunjung di lanjutkan.

"Pamit gimana maksudnya?"

Seberangkas kesal di dalam dada Diana ditahan-tahan.

"Adam.. udah pindah.."

Nina menganga tak percaya. "Pindah? Kemana?"

"Ayah gak tahu, tadi subuh cuma bilang "Pak terimakasih sudah menampung saya.."
Ayah Diana menyodorkan sepucuk surat, katanya "Ini buat kamu!"

Buru dia buka lem yang menempel di ujung kertas itu. Matanya tak dapat menyembunyikan kecemasan.

Diana,
Mengutarakan perasaan untuk pertama kalinya, lewat selembar kertas ku tulis di tengah malam.Aku memang perlu di katakan sebagai pengecut Di, Selamat tinggal!sebelum aku meninggalkan desa ini, aku ingin memberi tahu satu hal. Jika kamu mengatakan, kamu menyukaiku lebih dahulu.. kamu salah besar! Aku paling dahulu menyukaimu, kamu tahu? Rahasia di balik do'a ku adalah; kamu.

Terimakasih kepada Diana, yang mencintaiku, tapi Di... mengasihi diriku itu tidak seperlu itu dibanding membesarkan mimpi-mimpi mu. Kamu tidak perlu mencari-cari ku, karena cinta yang kamu damba sudah ku terima,
Bila-bila kita bertemu di suatu tempat. Tagihlah janjiku ya Di! Kita dan gereja.
Terimakasih.. aku menyukai dansa di tepi danau.

Dariku,
Adam.

Tangan Diana bergetar, selembar surat dan kemarahan dan kesedihan.

"Menurut kamu.. Kamu bisa ngatasin perasaan 'mencintai' itu?" Adam mengangguk.
"Gimana caranya?"

"Pergi jauh!"

Apakah ia selalu kabur ketika menemui perasaannya?
Apakah ia selalu begitu terhadap wanita-wanita?
Diana tidak begitu mau tahu saat ia mengatakan 'pergi jauh' ia pikir itu hanyalah sebuah bualan semata! Ia pikir itu hanyalah candaan agar mengkesudahi percakapan-percakapannya antara anak kecil seperti dirinya. Anak kecil—tetaplah—seorang anak kecil. Ia tak tahu menahu, bagaimana jika luka-luka yang pernah ia alami begitu nyata.. begitu dalam, ia tidak bisa tidak dikatakan sebagai pengecut! Diana juga merasakan kepahitan-kepahitan hidup.. sama halnya dengan dirinya.

Diana menuju depan, wajah kusut dan rambut belum tersisir rapi itu pergi menaiki motor bebek! Kalian percaya jika cinta itu membuat gila? Seperti apa yang Diana lakukan saat ini! Mengejar apa yang tak jelas, memang dasar dari budak cinta. Tak mau tahu kepastian abu-abu. Tak mau menunggu-nunggu, jika iya! Jelaskan secara jelas.

"Diana!" Ayahnya berteriak-teriak memanggil anaknya masih berpiyama melaju dengan motor bebeknya.

Terminal sepi di pagi hari, entah kemana seluruh orang.
Hanya ada sembilan atau sepuluh orang disana, yang dicari tak kunjung ia temui sedangkan sepucuk surat masih berada di tangan kanannya yang kaku itu.

"Diana!" Suara seseorang yang ingin ia dengar nampaknya berada tidak jauh darinya. Ketika berbalik, lelaki berambut gondrong itu menunjukkan batang hidungnya.

Beruntung.Beruntung. Dunia memihaknya.

Diana melempar surat tersebut ke wajah lelaki itu. Ia hanya bisa menunduk lalu memegang bahu perempuan yang hendak menangis.

"Di.. aku harus pergi.." Bukan kepalang, kata-kata tak menjelaskan keluar dari mulutnya.

"Kemana hmm?" Dengan tercekat akhirnya ia dapat angkat bicara.

Adam memegang pipi kanannya. "Jauh Di.."

"Aku tanya, Kemana?" Bibir Diana bergetar kesal.

"Aku nggak bisa menyukaimu seperti orang lain.."

"Kenapa?" Sebelum terjawab, Sialnya supir kernet bus telah memanggil-manggil penumpang.

"Di.. aku janji, kalau kita ketemu.. akan aku jelaskan semuanya.. jaga diri baik-baik.."

"Lalu?" Mata Diana makin berkaca-kaca.

"Maaf.." Setelah itu.. hanya sebuah lambaian tangan dari lelaki tak berperasaan serta pengecut keterlaluan itu berlalu seperti pertanyaannya.

Lelaki tak pernah ia mengerti, kehadiran dan kepergiannya. Tak sekalipun mau di mengerti. Mungkin benar kata orang; Jika dia mencintaimu, ia tidak akan membuatmu kebingungan. Jika dia membuatmu kebingungan atas jawabannya, maka tidak mencintai adalah jawaban yang betul.

Sisa hal sia-sia saja, pulang adalah jalan paling jelas.

"Kamu dari mana sih Di?" Tanya ayahnya khawatir tak karuan.

Diana menggeleng. "Yah.. aku lagi pengen sendirian.."

Tak pernah sekalipun Diana mengatakan hal seperti itu seumur hidupnya! Tidak pernah! Kali ini benar berat. Ia malas berbagi cerita,berkeluh kesah. Ia malas memanjatkan do'a.

Diana duduk termangu di sudut kasur hingga sore hari, menatap dari balik jendela kamarnya bodohnya ia berharap lampu-lampu rumah di depannya menyala. Tapi tak kunjung jua. Sehari ini. Sehari ini ia tidak memikirkan balet. Padahal balet adalah hal paling penting nomor satu di kehidupannya.

Nina menangis keras, tak peduli ayahnya tengah mencemaskannya.

Bodohnya ia menangisi lelaki pecundang!

Dirasa lelah menangis ia beranjak dari sudut kasur,menuju kamar mandi dan menangis lagi.
Diana menutup gorden kamarnya kemudian tidur. Sejenak melupakan Adam.

*****

"Di.."
"Hati-hati ya.." Ucap Ayahnya pada Diana yang menunggu mobil jemputan dari akademinya datang.

"Iya ya.. nanti, Diana kirim tiketnya ya.. ayah harus dateng.." Ayah Diana menunjukkan hormat kepada sang Anak.

Minggu ke dua setelah ia memutuskan untuk tidak akan pernah memikirkan lelaki itu. Kecuali,mimpinya.

Diana pergi tanpa memandang rumah di depannya. Meninggalkan kesedihan, meninggalkan kenangan-kenangan indah dengan orang yang salah.

Dancing with Sadness Where stories live. Discover now