Adam pasti tidak menyadari betapa kacau racauan mulutnya semalam. Pagi ini semakin terang benderang mungkin agar menghibur kegalauannya.
Diana menggosok gigi sambil senyum-senyum sendiri seperti sekawanan monyet dapat pisang matang. Tapi kenapa Diana senang dengan penderitaan orang lain? Diana segera menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Ia berkumur lalu mencuci muka kusutnya.
Diana berjalan menuju kantor ayahnya, ia melihat Adam juga menuju arah yang sama. Mereka berjalan berdampingan. Aroma bir masih terlalu menyengat dari nafasnya.
"Halo.." Sikap Diana yang jahil makin nampak. Adam menoleh, ia pasti merasa sok keren, mana mungkin dirinya tidak ingat apa yang dikatakan pada perempuan yang konsisten mencepol rambut panjangnya. Diana senyum-senyum meledek ia berjalan mundur ke depan menampakkan dirinya dengan jelas sedang mengejek Adam. Tidak ada tanggapan darinya, "Mau di temani mabuk lagi?"
Adam hanya menggeleng dengan tingkah kekanak-kanakannya. Diana rela menghapus waktunya untuk hari ini demi meledek Adam.
"Adam! Aku bisa jadi pendengar baik lo—"
"Terus?" Adam menjawab sok jutek. Dia pasti ingat!Sangat ingat apa yang semalam ia katakan.
Diana tertawa terbahak-bahak sampai ia tersandung sebuah batu akibat ulahnya sendiri, karma dibayar dengan kontan! Adam menopang badan kurusnya dengan satu tangan saja. Menyisakan kedua tatapan yang tidak sengaja saling bertemu, pada titik itu Diana semakin yakin jika dadanya bergemuruh bukan karena hendak ambruk ke tanah. Pasti karena perasaannya pada Adam. Hatinya mungkin girang tidak karuan.
"Makanya jangan ngeledek derita orang!"
Diana membetulkan posisinya dengan benar, berdiri sejajar dengan Adam. Ia mengira akan menjatuhkan dirinya sebagai lelucon agar punya nilai sama. Ternyata tidak. Di film dan buku-buku romantis kebanyakan adegan seperti tadi dibuat menjadi konyol. Padahal bahaya jika perempuan terjatuh.
"Kalau kamu bukan atlet sudah aku biarin jatuh"
Damn. Baru saja ia bepikir sebaliknya. Semua lelaki sama saja!Drama disudahi. Diana membantu ayahnya di kantor, ia menonton video youtube tentang salad sangat menggiurkan apalagi tomatnya nampak segar dicampur dengan dressing minyak wijen.
"Yah.. Salad yang enak di mana ya?"
Ayah Diana menurunkan kacamatanya sampai ke hidung sambil menaikkan bola matanya. "Kayanya yang salad di kedai Jepang itu lumayan"
"Jauh banget... bisa pesan antar nggak?"
"Kayanya kalau jauh terus pesannya sedikit enggak bisa, harus pesan banyak sekalian!"
"Yaudah kalau gitu Diana bayarin makan siangnya
biar bisa pesan antar""Waduh.. nggak bisa, ayah udah terlanjur pesan makan ke warung"
Diana berdecak. Ayahnya memberi solusi "Pergi aja sama anaknya pak Sam. Ayah telfonin"
"Julian?"
"Eh, tapi bukannya dia kerja di luar pulau?""Enggak, kemarin baru datang. Orangnya lagi cuti kerja!" Ayahnya menelfon Julian.
Beberapa jam kemudian seorang lelaki mengendarai sepeda motor bebek warna hitam datang beserta helm ditangannya. Ia sama tinggi dengan Diana. Begitu terlihat familiar wajah lelaki itu, tidak jauh beda terakhir kali ia bertemu dua tahun lalu, mereka sebenarnya kurang akrab karena suatu hal. Mungkin kecanggungan itu sudah hilang digerogoti waktu. Julian pernah menyatakan jika ia menyukai Diana.
"Hai?" Sapa Julian. Suaranya sudah lebih dalam.
Diana tersenyum menyapa Julian lalu berjalan mengekori lelaki berkaos hitam itu.
YOU ARE READING
Dancing with Sadness
Short Story"Selamat tinggal" Ucap Diana setelah beberapa hari tidak melihat Adam. Dan setelah-setelah itu ia tidak pernah menjumpai lelaki itu. Cinta itu tidak akan hadir jika keduanya sama-sama merasa kosong. Cinta mengartikan bila dirinya rela menukar sedi...