3

7 0 0
                                    

Tidak ia sangka hari ini hujan begitu deras tepat setelah acara kemarin, mengingat-ingat hari kemarin bukankah lucu? Wajah Diana tiba-tiba memerah seperti sup kimchi. Bukan karena tamparannya sendiri. Senyum kecil jelas menghiasi bibirnya setiap ia melihat tangannya, wajah panik Adam muncul begitu saja dari ingatannya.

"Diana.. kalau kamu nanti enggak sibuk, tolong ke gudang ayah ya!" Diana berjalan menuju dapur dan melihat ayahnya yang sedang makan semangkuk penuh dengan tempura sisa kemarin.

"Kenapa emangnya yah?"

Ayahnya masih sibuk mengunyah. Sembari menunggu sang ayah bicara ia membuat lemon hangat."Ayah mau bantuin karyawan, nanti kamu catatin ulang pengeluaran ayah ya!"

"Oh.. iya, tapi agak siangan. Diana mau latihan sampai jam 12" Ayahnya mengangguk paham dan berjalan menuju cucian piring.

Diana melakukan lompat tali selama tigapuluh menit. Lebih tepatnya ia sedang menghukum dirinya sendiri karena bronis-bronis yang ia lahap tanpa sadar. Keringatnya mengucur bagai hujan di pagi ini. Begitu deras. Tapi apa boleh buat? Masih ada latihan-latihan lainnya, ia harus melakukan lompat tali minimal 1 jam. Sebenarnya ada baiknya juga, setelah sekian lama ia tidak melakukan lompat tali yang bisa membuat otot makin kuat dan baik bagi mental juga jantungnya.

"Hosh.." Nafasnya menyerah, jika ada bendera putih ia ingin sekali mengibarkannya.

Diana mengambil radio dan diambilah satu kaset bertuliskan 'Giselle' . Tarian paling menarik bagi dirinya setelah 'Swan lake'.Giselle diceritakan sebagai seorang petani cantik nan lugu menaruh hati pada seorang pria bernama Alberct, dimana ia sebetulnya seorang bangsawan yang menyamar menjadi rakyat biasa. Setelah keduanya jatuh cinta lantas menjalin hubungan, Giselle mengetahui jika Albrect berdarah biru begitu juga memiliki tunangan. Ia merasa di khianati akhirnya menari hingga meninggal dunia. Beberapa tarian balet berasal dari kisah cinta yang tragis dikemas menjadi tarian-tarian yang luar biasa indah.

Alarmnya berbunyi, membuat Diana menghentikan tariannya. Ia melakukan pendinginan kurang lebih selama dua puluh menit dan menuntaskan mandinya. Suara hairdryer membising di tengah keheningan seisi ruangan, ia mengkepang rambutnya yang menjuntai panjang bak rapunzel dibenaknya.

"Ayah!" Setibanya di ruang kerja.

"Ambilin makan siangnya orang-orang di warung ya"

"Ada sepeda nggak? Diana malas pulang ke rumah lagi!"

"Ada.. punyanya pak Sam"

Diana berlari secepat kilat pada sepeda antik dan sangat kinclong seperti porselen.

"Mbak Yati disuruh ambil pesanannya pak Alan"

Mbak Yati yang terkejut dengan kedatangan Diana, heboh sendiri seperti mbak Oni, bedanya beliau meminta tanda tangan dan foto bersamanya. "Makasih loh ya! Nanti tak pajang foto kita sama tanda tangan kamu" Tawanya sangat menggelegar, pelanggannya mungkin bergidik ngeri dan sakit telinga mendengarnya.

"Makasih mbak!"

"Kenapa badan kamu kurus begini? Kaya sapu lidi, kena angin pasti langsung keseret. Enggak pantes dilihatnya!. Makan yang banyak atuh neng! Biar badanya subur kaya aku!" Logat bandungnya mbak Yati masih terdengar sangat kental.
Jika saja ia bisa makan sebanyak-banyaknya sampai perut Diana sebesar mbak Yati, ia mau! Tapi apa boleh buat? Tuntutan!

Diana hanya bisa tersenyum kecut lalu segera berpamitan daripada berlama-lama dengan orang yang tidak pengertian.

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, untuk sampai ke gudang. Setelahnya Diana ikut nimbrung diantara para pekerja, begitupun Adam tak lama kemudian datang lengkap dengan kaos berlengan panjang, ia pun ikut makan siang. Ingatannya membuat dirinya jadi salah tingkah sendiri, buru-buru melipir pergi.

Dancing with Sadness Where stories live. Discover now