2

14 0 0
                                    

Diana dirumah melakukan barre rutinitas wajib baginya di pagi hari untuk meningkatkan stamina dan fleksibelitas dalam menari balet, kemudian ia melakukan beberapa spilt disusul sesudahnya peregangan dengan berbaring telentang dan mengangkat satu kaki sembari menarik pergelangan kaki perlahan ke arah kepala lalu meregangkan lutut dalam keadaan lurus. Terakhir, mengganti dengan kaki satunya hingga berulang terus beberapa kali. Metode ringan dan teratur bisa membuatnya makin beradaptasi dengan otot-ototnya.

Diana berjemur sebentar selama kurang lebih tigapuluh menit setelahnya ia berlari kecil kearah timbangan badan, empat puluh lima koma lima kilogram. Diambilnya piring berukuran mini dan segelas air putih. Hanya kentang, setengah ikan kembung ditambah setengah alpukat yang sudah diiris-iris.

"Ini enak! Ini kenyang!" Diana mengucap mantra andalan sebelum memakan-makanan tak lazim porsinya.
Jika ia tidak menjadikan berat badannya ideal, sangat berbahaya bila dirinya kena sidak dadakan dari para pelatih. Apalagi jika ia mendapati tarian balet bertema Swan Lake dia dituntut keras untuk diet ketat selama seminggu sebelum pertunjukkan.

"Ayah berangkat kerja dulu"

"Hati-hati yah"

Ayah Diana terkekeh mendengarnya. Mengingat jarak antara rumah ke tempat kerja bukan di belahan benua Eropa.

Setelah sarapan dan menimbang kembali berat badannya, Diana pergi menuju ke tukang jahit langganannya. Ia memutuskan mengendarai sepeda nganggurnya dan menumpangkan gaunnya pada sadel belakang. Beberapa orang-orang di desa menyapanya, Diana membalas sopan bergaya sok kenal sok dekat walaupun ia tidak hafal dengan para tetangga-tetangga.

Di pagi hari ia disuguhi lalu lalang anak-anak SMA Drupadi yang lengkap berseragam putih-abu-abu ada yang menenteng beberapa alat musik,kanvas,kayu dan gaun-gaun ala opera. Ia sedikit iri, beberapa dari mereka bisa berbincang-bincang dengan mudahnya bersama teman sepermainan, tidak ada rasa kompetitif yang tinggi, setinggi harapan orang tua. Diana mulai berandai-andai bila saja suasana di akademi interaksinya sebaik itu dan senormal manusia pada umumnya, kehidupannya pasti makin mudah.

"Halo kak Diana" Sapa beberapa murid yang lewat. Diana sangat populer karena di perbatasan desa ada banner besar dipajang terpampang nyata wajahnya.

"Hai.." Sapaan adalah hal paling sepele yang mudah di lakukan dan didapatkan. Tapi baginya menjadi tidak jika di akademi.

Ketika pulang kampung, Diana merasa berada di dimensi lain. Setelah menghadapi kesepian di asrama, ketidakramaahan lingkungan orang-orang akademi, tekanan dari para pelatih, membuat beban beratnya terlepas dengan sikap hangat dari para orang di desa. Bagaimana ia mendapat tulusnya ucapan syukur serta terimakasih hangat lewat hal-hal kecil bisa mudah Diana rasakan.

Mbak Oni berusia lima puluh tahunan, sejak kecil Diana terbiasa memanggilnya 'mbak' karena dimasa itu ia masih muda bahkan sekarang jiwa muda itu masih tetap hidup sampai saat ini "Mbak, Oni"

Mbak Oni berhenti di tengah-tengah kesibukannya pada tumpukan-tumpukan benang-benang di samping mesin jahit seperjuanganya itu.

"Diana"
"Apakabar?"
"Sehat?"
"Aku lihat kamu di youtube loh. Hebat ya.. bisa masuk berita internasional sampai trending berhari-hari"

Diana tertawa melihat tingkah heboh mbak Oni yang tidak berubah, ia kemudian memeluknya.

Setelah kesibukannya pada pagi hari. Waktu sore adalah waktu terbaik untuk mengobrol ringan dengan sang ayah.

"Kapan balik ke akademi?"

"Sebulan lagi, itu pun bakal kepotong kalau latihannya ternyata di majuin"

Dancing with Sadness Where stories live. Discover now