Ranti bersiap mengantar sang putra sekolah. Ia masih Tk dan akan bersiap masuk SD beberapa bulan lagi. "Bu, Aska capek jalan terus. Ibu belajar naik motor dong."
Ranti mengusap keringat di keningnya. "Ya, nanti."
"Ah, nanti terus. Bosan." Aska ngambek, ia berjalan lebih dulu membuat Ranti menghela nafas. Perasaannya sekarang campur aduk, ia tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Mendengar ucapan permintaan cerai dari suami —yang di mana tak pernah ada masalah besar dalam keluarganya— membuatnya hampir saja putus asa.
Apa salahnya, apa yang kurang darinya, kenapa tiba-tiba suaminya berubah dan berani mengatakan cerai?
"Bu, Ibu kenapa nangis?"
Deg. Lekas ia usap air mata yang entah sejak kapan mengalir begitu saja. "Oh, ehm, sudahlah, Ibu hanya kelilipan, ayo, lekas jalannya, takut terlambat." Aska akhirnya menurut tanpa banyak tanya lagi.
Setelah putranya masuk ke dalam kelas ia pun pulang. Ia sengaja lewat pasar dengan berjalan kaki. Niatnya sekalian setok jajanan untuk Aska di rumah. Anaknya itu memang jarang jajan sebab selalu disetok di rumah, hasil dari toko.
Begitu tiba di pasar, Ranti langsung masuk ke dalamnya. Ia belok kiri setelah tangga guna menuju toko sang suami. Entah bagaimana ia bisa bicara pada laki-laki yang hendak menceraikan dirinya itu. Uang juga sudah menipis, harusnya pagi ini jatahnya diberikan, tapi, karena ucapan pagi tadi, membuatnya lupa meminta.
Saat tiba di toko, nampak sepi. "Loh, Mas Haris ke mana ya?" gumamnya sendiri. Ia lirik toko roti milik Susan yang sama-sama kosong. "Loh, kok Susan juga nggak ada?"
Ia yang heran memilih untuk duduk saja, menunggu. Sampai ada pembeli yang membuat Ranti akhirnya berdiri dan melayani. "Beli apa, Bu?"
Ibu-ibu itu nampak heran. "Loh, ini siapa? Baru lihat, karyawan baru ya?" tebaknya.
"Bukan, Bu, saya is...." Ia berhenti menjawab, bagaimana jika mereka sungguh bercerai pasti akan aneh nanti. "Ya, Bu." Akhirnya ia memilih yang aman saja.
"Oh, pantas baru lihat. Memang Pak Haris ke mana?" Ia nampak melongok ke dalam toko.
"Pergi sebentar, Bu. Ada perlu," jawabnya agar meyakinkan. Ibu-ibu itu mengangguk saja. "Jadi, mau beli apa, Bu?"
"Oh ya, sampai lupa. Tolong satu dus ciki taro."
"Ya, apa lagi?" Ibu-ibu itu pun menyebutkan semua yang hendak ia beli. Ranti merasa tenang karena daftar harga tertera di sebuah kertas yang ditempel pada kaca etalase, hingga tak perlu repot soal harga jualnya.
Semua siap di depan si pembeli. "Totalnya 300 ribu, Bu."
"Nih, kamu hebat ya, cekatan. Padahal pekerja baru." Ranti tersenyum saja. "Ramah juga lagi, jadi seneng belanja di sini."
"Terima kasih banyak, Ibu."
"Ya, sama-sama." Sang pembeli pun pergi. Ranti kembali duduk, memperhatikan toko roti yang masih tak berpenghuni.
Setelah sekitar sepuluh menit nampak Haris dan Susan muncul dari arah tangga. Ranti berdiri, menatap mereka yang nampak akrab sembari tertawa, entah menertawakan apa. Sejak kapan mereka akrab begitu?
"Mbak Ranti?!" pekik Susan kaget. Haris yang mendengar itu langsung menoleh dan sama terkejutnya. Ia lekas mendekat, menjauh dari Susan.
"Ka-kamu ngapain di sini, Dek?" tanyanya gugup.
Ranti yang tadinya awas menatap mereka kini berubah menjadi biasa lagi. Bahkan memberikan senyum ramahnya seperti dulu. "Mau ambil jatah jajan Aska, Mas," jawabnya. Lalu netranya melirik Susan. "Kalian dari mana? Tadi toko rotimu ada yang beli cuma aku nggak bisa layani karena nggak tahu harganya."
Susan nampak kikuk. "Ehm, dari makan, kalau gitu aku ke toko dulu ya." Ia lekas pergi dan masuk ke dalam tokonya. Ranti mengabaikan itu. Kini ia beralih dan fokus pada sang suami.
"Kenapa nggak ngomong mau ke sini?"
"Kan, biasanya juga begitu. Nggak pakai ngomong dulu."
"Mulai sekarang ngomong."
"Memang akan ada waktu di lain hari lagi, Mas?" tanyanya santai yang membuat Haris menatap heran.
"Maksudmu?"
"Loh, Mas lupa kalau tadi pagi minta cerai?" Haris melotot kemudian menunduk dan masuk ke dalam toko. Ranti masih berdiri di depannya tanpa menoleh.
"Kenapa bahas itu di sini, kamu sengaja biar semua orang dengar?" ucapnya sembari menyiapkan satu dus berisi aneka macam ciki.
Ranti menoleh. "Memang harus dirahasiakan ya, Mas?" Mendengar itu Haris berdecak kesal. Ia menatap istrinya dengan jengkel.
"Sini kamu, masuk ke dalam!" serunya memerintah. Ranti menatap sejenak sebelum akhirnya benar-benar menurut. Ia masuk dan duduk di kursi plastik. "Dengar ya, aku memang ingin cerai, tapi bukan sekarang. Aku harus siapkan dulu dokumen dan lainnya lalu mengajukan, itu semua butuh proses. Kamu kan enak tinggal duduk manis begitu saja, terima beres."
Ranti tersenyum getir. Seolah dirinya ini memang tak pernah ada artinya di hidup Haris. Lalu untuk apa 8 tahun pernikahan ini?
"Aku ini kamu anggap apa sebenarnya, Mas?"
Haris melirik, lalu menghela nafas. "Beban."
"Apa aku yang minta untuk kau nikahi, Mas?" Haris menatap sang istri, wajahnya tak pernah berubah, selalu tampil sederhana dengan polesan bedak tipis dan lipstik warna peach.
"Sudahlah, buat apa sih bahas itu?"
"Sebab kita akan cerai," jawabnya yang membuat Haris meneguk ludah. "Aku hanya ingin tahu di mana letak salahku, apa kurangku, hingga nanti jika kita resmi menyandang status baru, aku bisa merubah diriku menjadi lebih baik dan jika beruntung aku akan dapat jodoh lain, menjadi istri yang lebih baik dari sekarang agar tak diceraikan lagi." Haris melotot.
"Wah, apa ini? Kamu bahkan sudah berencana untuk menikah lagi?" ucapnya nampak kesal.
"Hanya rencana, tapi tetap Allah yang memutuskan bagaimana ke depannya. Aku toh masih muda, Mas. Apa salah jika berpikir untuk menikah lagi?"
"Ckckck, keterlaluan sekali kamu ya. Belum juga dicerai otaknya sudah mikir nikah. Takut ya nggak ada yang nafkahi?"
"Iya." Dengan santainya Ranti mengatakan itu walau sejujurnya sakit sekali harus berucap hal yang bertolak belakang dengan hatinya.
"Ranti!!" sentak Haris. Entah kenapa laki-laki itu marah dan kesal dengan setiap jawaban sang istri yang seolah santai saja akan bercerai darinya. Bukankah seharusnya istri yang tak bekerja itu merengek minta tidak mau dicerai, kenapa Ranti berbeda? Atau jangan-jangan selama ini ia tak pernah mencintai dirinya hingga saat Haris minta cerai Ranti biasa saja? Wah, apa ini?
"Kamu tidak mencintai ku ya?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibir Haris. Ranti menahan senyumnya.
"Apa penting membahas soal cinta sekarang, Mas? Nampaknya terlambat dan tak perlu juga. Sebab kamu memilih untuk melepaskan ku demi mantan kekasihmu, begitukan?"
"Ya, benar. Tapi, jika kamu selama ini tidak mencintaiku, artinya aku hanya dimanfaatkan saja dong olehmu?!"
Ranti menatap heran lalu tersenyum smirk. "Aku, memanfaatkan kamu untuk apa ya?"
"Ya banyak, kamu kan selama ini hanya duduk manis di rumah, terima uang, ya kan?"
"Oh, begitu. Ya wajarkan, aku minta uang, masa aku kalah sama jablay?"
Haris melotot. "Ran, bicaramu ngawur sekali?!"
"Kenapa? Salah, nggak kan? Masa jablay habis dipakai di bayar. Aku nggak? Rugi dong. Apalagi sampai melahirkan cucu laki-laki pertama di keluarga mu. Aku juga bantu masak, mencuci, beres rumah, dan lainnya. Merawat kamu saat sakit, menyiapkan pakaianmu, memuaskan hasrat mu, masa gratis sih?"
Haris sampai kehabisan kata mendengar penuturan sang istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merebut Suamiku, Dari Kekasihnya
RomanceHanif sang adik ipar, menikahi seorang gadis bernama Susan di perantauan. Lalu ia kembali ke kampung guna tinggal bersama dengan orang tua dan membangun bisnis. Namun tanpa ia sadari... Saat itulah pernikahan 7 tahun Ranti dan Haris -sang kakak- di...