Bab 3

2.5K 184 30
                                    

Ranti keluar kamar mandi hanya berbalut handuk saja. Sebab ia lupa membawa ganti, untung di luar tak ada Hanif atau mertua laki-lakinya, jadi aman. Gegas ia masuk kamar dan mendapati Susan yang tengah memakaikan baju pada Aska, namun suaminya tak ada di mana pun. "Baru selesai mandi, Mbak Ranti?" sapanya basa-basi.

Setengah menggigil Ranti mengangguk saja. Ia lekas ke arah lemari dan membuka pintu bagiannya. Ia ambil seperlunya lalu ditutup kembali. "Lihat Mas Haris nggak, San?" tanyanya.

"Di teras nampaknya."

"Oh, tadi kamu masuk kamar ada suamiku?" Ranti melirik. Susan nampak menggeleng saja sembari mencubit hidung mancung Aska yang mirip sekali dengan Haris.

"Aska itu kembaran Mas Haris ya, Mbak," ucapnya. Kini tangannya mengusap rambut Aska lalu mengecup pipinya. Bocah itu merespon geli dan nampak malu-malu.

"Ya." Hanya itu jawaban Ranti. Ia nampak risih jika ada orang di kamar, sebab ia harus memakai bajunya. "San, bisa bawa Aska keluar. Aku mau pakai baju dulu." Susan mengangguk dan menggendong Aska. "Suruh jalan aja, San."

"Nggak apa, Mbak. Biar cepat nular ke aku, kan, aku lagi program hamil," jawabnya sambil lalu.

"Dadah, Ibu...." Aska melambaikan tangan. Ranti tersenyum saja. "Nanti buatkan susu coklat ya, Ibu."

Baru saja Ranti hendak menjawab terdengar suara Susan. "Biar Tante yang buatkan ya, mau?"

Samar terdengar suara Aska mengiyakan. Ranti menghela nafas, entah kenapa ia tak suka jika anaknya dekat dengan orang lain. Padahal Susan adalah tantenya, tinggal serumah juga. Posesif sekali Ranti.

Ranti kini sudah selesai memakai baju, menyisir rambut dan sedikit memberi bedak agar tak kusam. Ia keluar dan mendapati semua orang tengah berkumpul di ruang keluarga tak terkecuali sang suami. Posisi duduknya Warsih dan Sopian di sofa tengah, sebelah kiri ada Hanif, dan Haris. Sebelah kanan Susan dan Aska.

Ranti lekas ikut nimbrung namun tak ada spot tempat untuknya duduk, Haris bahkan acuh saja tak berusaha untuk memberinya tempat. Hanif yang melihat itu langsung berdiri. "Duduk sini, Mbak." Ranti jadi tak enak sendiri.

"Kamu di mana?"

"Di bawah aja, nggak apa-apa." Haris hanya melirik, lalu acuh kembali. Sementara Aska yang mendengar suara ibunya langsung berpindah haluan. Dari pangkuan Susan ia beralih ke Ranti.

"Ibu...." Ranti menyambut. Sopian mengacak rambut cucunya, Warsih tertawa dan menunjukkan cerita yang lagi seru. Susan sendiri hanya diam tak bersuara, Hanif duduk di lantai beralas karpet tepat di bawah kaki orang tuanya, Warsih langsung memijit pundak anak bungsunya itu.

"Duh, enak, Bu." Warsih tertawa. Mereka kembali asik nonton. Namun, Ranti yang tak paham alurnya melirik sang suami, condong sedikit dan bertanya.

"Mas, ini tentang apa ini?" Haris menoleh dengan malas.

"Lihat aja, emang aku produser!" ketusnya namun pelan. Ranti manyun, merasa kesal dengan sikap suaminya yang ketus itu.

"Bu, aku mau minum susu lagi," pinta sang putra. Ranti langsung mengangguk dan melihat gelas susu di depan Susan.

"San, tolong ambilkan gelas susu Aska ya?" pintanya. Susan mengangguk lalu mengambil dan memberikannya pada Ranti. "Makasih." Istri Hanif itu hanya tersenyum seadanya lalu kembali fokus menonton.

"Lain kali ambil sendiri, ngapain sih nyusahin orang!" bisik Haris. Ranti menghela nafas.

"Ya, maaf." Hanya itu jawabnya. Aska lekas meminum coklatnya sampai habis, kemudian bersandar di pundak Ranti. Acara menonton makin seru, film action itu sedang di puncak nya. Baku hantam, tembak menembak terjadi. Semua orang nampak tegang, hanya Aska yang asik tidur dalam pangkuan.

"Aska sudah tidur, Ran. Bawa ke kamar," ucap Sopian.

"Ya, Pak." Ranti yang keberatan saat hendak bangun membuat Hanif melirik kakaknya. Herannya tak ada pergerakan untuk menolong sama sekali. Membuat adiknya itu inisiatif membantu. Ia berdiri, mengangkat Aska. "Eh, Nif, biar Mbak saja."

"Mbak susah bangun, kan? Sudah, biar Hanif gendong." Ia bicara sambil membawa keponakannya ke dalam kamar. Hal itu membuat Ranti tak enak hati, ia menoleh pada sang suami yang cuek saja. Mendapati hal itu ia pun jadi geram. Lekas ia menyusul Hanif ke dalam kamar.

Nampak laki-laki itu tengah menidurkan Aska perlahan di kasur, mengusap keningnya, dan menyelimuti. "Terima kasih, Han." Hanif menoleh canggung.

"Rasanya aneh ya, Ran, panggilan kita jadi begini. Hahaha." Ia terkekeh kecil. Ranti tersenyum kecut.

"Ya, kan aku sekarang jadi Mbak mu, terima lah." Hanif mengangguk. Lalu pamit keluar kamar sebab tak enak berduaan di sana.

Ranti lekas menutup pintu tapi tak lama kemudian muncul Haris dengan wajah datar. "Sudah habis filmnya, Mas?" tanyanya basa-basi.

"Hm." Hanya itu jawabnya kemudian menuju ranjang. Membuka kaosnya dan celana, menyisakan bokser saja. Diletakkan begitu saja di meja, membuat Ranti menghela nafas.

"Apa susahnya sih Mas, taruh di ranjang kotor. Kan di sebelahmu juga."

Haris melengos. "Malas!" jawabnya. Ranti menghela nafas, akhirnya ia mengalah dan mengambil pakaian itu kemudian ditaruhnya dalam ranjang. Baju kotor itu sudah menumpuk, waktunya mencuci esok hari.

Saat Ranti menaiki ranjang, Haris berucap. "Jaga jarak dengan Hanif. Lupa dia siapa?" ucapnya ketus.

"Nggak lupa, dan memang apa salahnya sih aku dekat dengan adik ipar sendiri?" Kali ini Ranti tak mau mengalah terus.

"Oh, begini aslinya sifat mu, sulit dinasehati suami?"

Ranti memejamkan mata sejenak kemudian dibuka lagi sembari berucap. "Oh, begini aslinya sifat suamiku yang aku nikahi tujuh tahun, suka tiba-tiba sinis dan ketus pada istrinya?"

Haris melotot kesal. "Kamu tuh, jawab aja sih suami ngomong!"

"Terus harus diam saja?" Ranti sendiri heran kenapa ia berani menjawab suaminya. Nampaknya ia akan datang bulan. Hufh.

"Mau datang bulan kamu ya?" tebak Haris dengan tepat. Ranti melengos, merebahkan tubuh di ranjang. "Kebiasaan buruk kalau mau datang jadi emosian."

"Aku nggak emosian ya!" sentaknya keceplosan. "Maaf," ucapnya cepat.

Haris tak menanggapi lagi. "Besok bangunkan aku pagi-pagi, toko mau dibersihkan."

"Ya." Mereka pun tak lagi banyak bicara, Ranti yang sulit tidur hanya berpura-pura memejamkan mata. Sesaat ia seperti mendengar suara notif pesan masuk ke dalam ponsel suaminya. Tumben ada yang kirim pesan di jam malam?

Setengah jam kemudian saat Ranti hampir lelap, ia merasakan kasur bergerak pelan. Akhirnya ia terbangun dan mendapati suaminya keluar kamar dengan gerakan mencurigakan. Kenapa dengan suaminya?

"Mas?" Tubuh Haris terlonjak kaget. Ia menoleh pelan. "Mau ke mana?"

"Kamar mandi." Ia menjawab sambil lalu kemudian keluar dengan gerakan yang biasa lagi. Ranti benar-benar heran, kalau memang hanya ke belakang, kenapa harus pucat begitu wajahnya?

Ranti memejamkan mata lagi. Namun setelah sekian lama suaminya tak kunjung datang. Ia bangun, duduk dan menatap pintu. "Boker apa ya? Lama banget?" gumamnya heran. Tapi, rasa kantuk mulai menyerang, akhirnya ia memilih untuk tetap tidur sembari memeluk Aska.


Merebut Suamiku, Dari KekasihnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang