Unpredictable Meeting

107 7 1
                                    

Aku berjalan sendirian menyusuri lorong fakultas ilmu budaya jurusan Sastra Jerman. Tampak segelintir mahasiswa memanfaatkan kursi yang berjejer di sepanjang jalan untuk bercengkrama. Beberapa diantaranya mengenakan jaket almamater biru. Mungkin bersantai sejenak sebelum pulang, mumpung jadwal perkuliahan di hari Sabtu hanya berlangsung setengah hari.

Kebanyakan dari mereka menyapa sopan. Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan singkat.

"Frau, sebentar...!"

Aku berhenti melangkah dan memutar badan. Seorang mahasiswa tergopoh-gopoh mendatangiku, setengah berlarian.

"Maaf, apa Frau ada waktu untuk bimbingan siang ini? Saya mau setor bab dua." Pemuda jangkung itu terengah kehabisan napas. Mencangklong ransel di punggung, dan menggamit kamus tebal bahasa Jerman di tangan kirinya.

Aku mengenali sosok populer itu. Namanya Ardito, ketua BEM di kampus periode kemarin, sekaligus mahasiswa tingkat akhir bimbinganku. Belum sempat kujawab, si pemuda sudah mendahului. Senyumnya terkembang lebar.

"Bu Ay kelihatan beda hari ini. Lebih fresh."

Satu lagi pujian yang kuterima hari ini. Panglinglah. Lebih kelihatan baby face-lah.

Menilik jeans dan kaus serba biru yang dikenakan lelaki di hadapan, refleks kulirik penampilan sendiri. Kebetulan, aku sedang mengenakan tunik yang dipadu jaket denim, serta rok jeans.

O-ow, outfit kami seperti couple.

Aku berdehem, mencoba mengusir perasaan rikuh.

"Maaf, Dito. Sekarang saya ada acara lain. Kalau memang mendesak, kamu boleh email. Insya Allah masukan revisinya akan saya kirim besok pagi. "

"Yaah...," Bagian sudut bibir Ardito sedikit turun. "Kalau gitu... nanti malam saya email ya Frau!" Raut wajahnya dalam sekejap berubah. Bersinar-sinar.

Kuberi dia senyuman diplomatis. Sewajar mungkin supaya tak menimbulkan salah paham.

"Dangke, Frau. Saya pamit!" seru Ardito, mengucapkan terimakasih. Badannya membungkuk penuh semangat. Baru beberapa langkah berlalu, cowok itu menoleh lalu kembali mengangguk sopan padaku. Cengirannya menyiratkan kebahagiaan.

Hhhh, aku meringis.

Sudah cukup banyak gossip berseliweran di seantero kampus karena statusku ini. Pernah kupergoki beberapa rekan dosen menjulukiku high quality jomblo. Mereka bilang, aku penyebab banyak mahasiswa mendadak kelebihan nyali ingin PDKT dengan dosen sendiri. Disusul pertanyaan berulang tentang kapan aku akan mengakhiri masa lajang di usia tiga puluh tahun.

Melelahkan.

Bukannya tidak mau menikah. Hanya saja, aku belum menemukan pendamping yang cocok. Tak terhitung berapa kali aku mencoba peruntungan. Mendatangi biro jodoh taaruf sampai melakoni 'kencan buta'. Tapi apa boleh buat. Belahan jiwaku sepertinya masih betah bersembunyi.

Ponselku bergetar di dalam saku jaket. Aku memang sengaja mematikan deringnya supaya tak mengganggu jalannya perkuliahan.

"Annyeong, lady Di. Assalamualaikum!"

Aku tersenyum setelah membaca nama yang terukir di layar ponsel. Ini dia biang kerok hebohnya para mahasiswa gara-gara aku mengenakan outfit kelewat santai.

Sahabat sejatiku, Diandra.

Dia yang sudah memintaku mengenakan kostum ala-ala abege 90 an.

"Waalaikumsalam warahmatullah. Ay, kamu fix dateng, kan?" tanyanya.

Until The End (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang