Unexpected News

42 1 3
                                    

Begitu banyak hal yang terjadi dan semuanya hanya berselang sehari setelah akad nikah dilaksanakan. Ibarat baru saja disapu badai yang sangat dahsyat. Kedatangan mantan istri Rio meninggalkan jejak.

Ayla terbangun dini hari dan mematikan ponsel di sebelah tempat tidurnya. Bertanya-tanya kenapa kepalanya begitu pusing. Setelah beberapa detik mengingat-ingat, ia baru menyadari penyebabnya. Kemarin, ia menangis terlalu lama.

Sangat perlahan, ia memaksakan bangkit dari pembaringan, menahan bobot menggunakan dua sikunya. Detik berikutnya, Ayla baru ingat kalau ia tidak tidur sendirian. Begitu ia menoleh ke kiri, matanya bersibobok dengan manik milik Rio yang sedang berbaring menyamping, menatapnya.

Hati Ayla mencelos. Lelaki itu... apa baru bangun atau memang sama sekali tidak tidur?

"Ay, " sapa Rio, satu tangannya mengelus pipi Ayla.

"Ya... Kamu mau bareng tahajud?" tanya Ayla, ragu-ragu.

"Boleh. Kamu ambil wudhu duluan aja," sahut Rio.

Ayla pun beringsut turun dari tempat tidur sebagai jawaban. Semenjak peristiwa kemarin, ia jadi sangat canggung bertemu Rio. Perasaannya bertambah berat. Apalagi ketika memikirkan sebentar lagi, mungkin ia akan bertemu dengan anak-anak. Sepertinya, ia memang harus menyiapkan mental dari sekarang.

Ketika ia kembali dari toilet, kamar sudah terang benderang. Terdapat dua sajadah yang sudah dihamparkan di atas lantai. Ayla bergegas membungkuk, hendak meraih mukena, tetapi Rio keburu menahan sebelah lengannya lalu mendongakkan dagunya menggunakan tangan yang lain.

Mata mereka kembali bertatapan. Dan Rio bisa melihat mata Ayla sembab.

Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa, kecuali memasang wajah sedih.

Ayla dan Rio menunaikan tahajud berjamaah sebanyak empat rakat. Kalau situasinya normal, Ayla pasti akan sangat bahagia. Sudah lama, ia selalu mengangankan bisa menjadi makmum suaminya. Tapi, perasaan berbunga-bunga itu tidak terasa full seratus persen. Resah dan gelisah mendominasi.

Usai shalat, Ayla beringsut mendekat dan menciumi tangan Rio yang membalikkan tubuh menghadapnya. Tapi di luar dugaan, Rio langsung membalas menciumi tangannya cukup lama.

"Ay," Rio memulai. Menyenderkan wajahnya di punggung tangan Ayla, "Aku mau minta ma..."

Namun, tangan Ayla yang bebas membungkamnya. "Tolong jangan bilang maaf lagi. Sekarang, aku cuma mau denger kamu bilang, 'Kita pasti bisa lewatin ini bareng-bareng."

Rio menatap lekat Ayla, kemudian mengangguk mengerti.

Bagaimanapun, hidup harus terus bergulir. Terus menerus tenggelam dalam kesedihan hanya akan menambah rasa sakit yang tak perlu. Ayla tahu ini adalah konsekuensi yang harus dihadapinya dan ia tak boleh menyerah. Kalau ia mundur ke belakang, ia tidak hanya akan mengecewakan Diandra dan orang tuanya, tapi juga penantiannya selama bertahun-tahun.

"Sebetulnya, jauh-jauh hari sbeelumnya, aku sudah ngobrol banyak sama si kembar. Aku kasih mereka pengertian dan alasan kenapa aku dan mamanya nggak bisa lagi bersatu, " kata Rio.

Ayla diam, menyimak. Memandangi garis kehitaman di bawah mata Rio.

Fix, Rio tidak sempat tidur. Ayla jadi tak sampai hati. Daripadanya, beban pikiran Rio pasti berkali-kali lipat lebih banyak.

"Mereka memang nggak berkomentar apa-apa waktu aku menyampaikan niat ingin melamarmu. Nggak menentang, tapi juga nggak bilang setuju," Rio berkata. Pelan-pelan mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Ayla.

" Aku pikir, lama-lama mereka juga akan ngerti. Tapi aku nggak nyangka mamanya akan datang mendadak. Selama ini, mereka sudah banyak merasa kecewa. Maya terlalu banyak ngobral janji akan pulang, tapi selalu batal."

Ayla mengangguk-angguk. "Aku ngerti, kok."

Ragu-ragu, tangan Ayla terangkat. Ia ingin sekali menyapukan tangannya ke rambut Rio, tapi perasaannya sendiri sedang campur aduk antara sedih dan bingung. Akhirnya ia tetap menahan tangannya di tempat semula.

Jarum jam terus berputar. Selama beberapa lama, tidak ada yang bersuara. Kepala Rio masih berada di pangkuan Ayla sampai-sampai Ayla berpikir apa jangan-jangan Rio ketiduran.

"Ada yang harus aku sampaikan, Ay..." Dengan agak berat, Rio kembali duduk. Kepalanya agak menunduk, kelihatan sekali kalau ia kebingungan. 

"Kemarin, aku dapat kabar. Aku ditugaskan kantor training ke pusat selama seminggu. Aku udah nyoba nego dan menolak. Tapi, belakangan situasi di kantor lagi hectic. Maafin aku..."

Lagi-lagi, permintaan maaf.

Ayla mendengarkan semuanya dengan termangu-mangu. 

Ya Rabbi, kenapa ujianmu datang bertubi-tubi? Membayangkan akan menghabiskan waktu selama itu tanpa Rio, sebetulnya tidak masalah. Hanya saja, apakah si kembar akan bisa menerimanya? Duh...belum apa-apa, kepalanya sudah terasa pening.

"Kamu boleh pulang dulu ke rumah, kalau misal belum nyaman sama anak-anak, " kata Rio, seperti bisa menerka kekuatiran Ayla. "Aku sama sekali nggak keberatan, Ay."

Baru menikah sudah pulang lagi ke rumah orangtua? Terbayang akan seperti apa penilaian tetangga. Belum lagi, rasanya tidak etis kalau ia harus meninggalkan anak-anak hanya bersama pengurus rumah tangga.

"Kemarin, Maya bilang, dia akan datang nengokin anak-anak. Mungkin selama dua minggu, dia akan sering kemari sampai masa cutinya selesai..." Lanjut Rio, bak mengirimkan sengatan arus listrik ke telinga Ayla.

Apa lagi ini, Ya Rabbi...!

***

Until The End (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang