Prolog

144 19 7
                                    


"I love cigarette more than you love your crush."

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Telat. Hari ini dia telat lagi. Sebenarnya mata kuliah dimulai pukul delapan pagi tadi, tapi dia baru bangun pukul satu siang ini. Tidak mau ambil pusing, pria itu justru mengambil satu batang rokok dari bungkusnya dan mulai menghisapnya dengan aktif. Definisi tidak peduli dengan urusan kuliah.

Tentunya, siapa lagi selain Heksa Galmahera Katmajaya yang bisa bersikap setenang ini? Prinsipnya selalu sama dari dulu, apa pun yang terlanjur, ya sudahlah. Intinya dia harus tetap merasa damai, walau sekitarnya tidak begitu.

Terbukti dari ponsel yang terus berdering sedari tadi—berusaha mengganggu rungu sosok yang sibuk merokok di balkon kamarnya. Dengan malas, Heksa mendial ponsel yang menampilkan nama salah satu temannya di layar.

"Galmahera! Kapan tobatnya lo, Bro?!" Terdengar suara ribut di seberang sana.

Heksa tak terkejut sama sekali. Dia hanya mendecak. "Sadar diri."

Okay, teman Heksa itu tertawa kecil. Dia paham betul dengan siapa dia sedang berbicara.

"Gue butuh bantuan lo dong, Sa." Kali ini, teman Heksa yang bernama lengkap Atlas Anandatra Selatan itu melanjutkan pembahasannya. Dia langsung to the point mengenai tujuannya menelepon Heksa.

"Sudah ketebak," balas singkat pria yang masih memegang rokoknya itu, tapi mampu menggiring tawa dari seberang.

"Please, sekali ini aja. Minta tolong ambilin kamera gue di apartemen. Hari ini pelantikan ketua BEM yang baru, gue penanggungjawab dokumentasi, tapi gue lupa bawa kamera."

Ceroboh sekali! Pantas mendeskripsikan sosok Atlas. Kalau bukan teman, mana sudi Heksa bergerak melakukan perintah orang lain.

"Rokok, makan siang, sama kopinya sekalian," ujar Heksa menodong imbalan.

"Gampang, yang penting kamera gue bawa sini dulu. Gue tunggu di gedung ormawa, ruang humas."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Heksa langsung pergi dari apartemennya menuju apartemen sahabatnya. Soal password atau kunci, tidak usah ditanyakan. Apartemen milik Putra Selatan itu sudah seperti rumah Heksa sendiri. Dia bebas keluar masuk karena password-nya sudah dihafal di luar kepala. Ya, setidaknya ini adalah privilege pertemanan yang condong seperti keluarga, seperti Heksa Galmahera Katmajaya dan Atlas Anandatra Selatan.

***

Sampai di gedung organisasi kemahasiswaan, manik matanya langsung disuguhkan oleh cengiran khas manusia ceroboh. Cukup menyebalkan, tapi syukurlah masih ada nasi kotak, sebungkus rokok, dan kopi yang sanggup mendamaikan.

"Makasih ya, Bro. Untung aja lo bolos hari ini. Gue jadi nggak perlu jauh-jauh buat balik ke apartemen."

Ya, sebenarnya ucapannya penuh ironi, tapi seorang Heksa Galmahera mana peduli? Bolos sudah menjadi rutinitas wajib dalam kalendernya. Sebaliknya, pria itu justru menyeret sebuah kursi, duduk, dan memakan nasi kotaknya. Hidupnya memang se-enjoy itu.

Atlas lantas ikut duduk di sebelah sahabatnya, ikut menyicip kopi sebagai perasa lidahnya. Matanya berkeliaran memperhatikan sekitar, hingga berhenti pada visualisasi seseorang yang berdiri cukup jauh dari tempatnya dan Heksa saat ini.

"Musuh lo jadi ketua BEM tuh," katanya merujuk pada orang yang berdiri di depan majalah dinding di sana.

"Terus?"

Benar-benar respons yang tidak diharapkan Atlas. Bagaimana bisa Heksa masih tetap tenang padahal saingannya bergerak selangkah lebih maju darinya? Bukankah ini kabar buruk? Bisa saja pria yang baru saja bergelar ketua BEM itu akan bersikap sewenang-wenang dan memanfaatkan kekuasaannya.

"Selama bukan dia yang punya pabrik rokok, gue nggak bakal takut. Jovian Arkasa Wailendra nggak se-level sama gue," ujar Heksa mutlak.

Memang bukan kabar burung lagi jika Heksa dan Jovian adalah musuh dari dulu. Kehidupan mereka yang bertolak belakang membuat keduanya juga tidak bisa memiliki visi yang sama, dasarnya mereka bukan magnet.

Jovian sendiri adalah sosok yang terkenal di kampus ini karena prestasinya yang mentereng. Dia cerdas, kesayangan para dosen, mahasiswa teladan, dan memiliki reputasi amat baik di kalangan sivitas akademika. Sedangkan, Heksa ada di sisi lainnya. Dia terkenal karena kenakalannya, menyandang gelar mahasiswa abadi, sasaran kemarahan dosen, dan memiliki reputasi berandal sebagai nama belakangnya. Tak ayal, perbedaan ini membuat keduanya sering dibandingkan hingga menimbulkan permusuhan tiada henti karena pengaruh sekitar. Kesimpulannya, Heksa tidak senang dengan keberadaan Jovian, begitu pula sebaliknya.

"Lihat deh! Betapa bangganya dia ngelihat bulletin dan brosur bertebaran soal dirinya sebagai ketua BEM yang baru," celetuk Atlas dengan tatapan tak terima mengarah ke orang yang sibuk memandangi majalah dinding.

Heksa menghentikan acara makannya sebentar guna melihat ke arah pandang sahabatnya. "Slow down, Tlas. Biarin dia bangga sampai lupa darat. Nanti kita yang kasih tahu gimana caranya buat mendarat dengan baik dan benar."

Sebenarnya, Heksa masih menunjukkan senyumannya. Namun, tidak ada yang tahu, apakah itu adalah senyum yang tulus atau justru senyum paling mengerikan? Pada akhirnya, Heksa tipikal manusia yang susah ditebak. Dia selalu punya prinsip dan cara pikirnya sendiri. Begitu pula soal menghadapi seorang Jovian.

"Permainan belum dimulai, Bro."






To be continued.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Cukup sekian dan terima kasih.
Tunggu kelanjutannya di next chapter ya.
See u.

Cigarette Before Home | EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang