Thinking

1.3K 193 21
                                    

.
Malam itu langit dihiasi kerlipan bintang bersama arakan awan tipis yang berjalan tertiup angin.

Adu Du menyenderkan tubuhnya sambil diam tercenung. Kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan, membuatnya terjaga. Setengah jam yang lalu Taufan meninggalkannya sendirian di sini. Masih di lantai lima belas yang kosong.

Adu Du bersyukur karena Taufan tak jadi membunuhnya. Hanya meninggalkan sebuah ancaman untuk tidak mengganggu Gempa lagi. Sebuah ancaman yang sukses meninggalkan trauma dan rasa ngeri.

Sisi baiknya, Adu Du sepertinya mulai kapok membully orang lagi setelah mengalami hal ini.
.

..
Ketika Taufan keluar dari gedung berlantai lima belas itu, ia melihat ada Halilintar yang duduk di atas motornya.

"Kok tidak dibunuh?" tanya Hali menoleh.

"Dia cengeng. Jadi males mau kubunuh," Taufan menjawab asal.

"Kalau dia lapor polisi gimana?"

Taufan malah tertawa. "Ga akan berani. Udah kuancem."

Taufan melangkah menghampiri Hali dan berjongkok di samping motornya. Dengan gabutnya, Taufan mencoret-coret tanah pasir menggunakan jari telunjuk. Ia menulis nama Bora Ra, Probe dan Adu Du serta Fang. Kemudian mencoret tiga nama di antaranya, menyisakan nama Fang. "Orang-orang ini adalah orang yang berani mengganggu Gempa. Makanya aku gak tahan ingin membalas perbuatan mereka."

Hali melihatnya dalam diam. Semakin diamati tiap hari, tingkah Taufan semakin terlihat tak terkendali. Halilintar melihat bagaimana kondisi mental Taufan mulai terganggu. Awal melakukan pembunuhan, Taufan bermain rapi. Tak meninggalkan jejak.

Lalu beberapa hari yang lalu, Taufan malah ceroboh. Meninggalkan korban kejahatan tetap hidup. Padahal berpotensi bakal di tangkap polisi. Si korban kemungkinan besar akan melaporkan kejahatannya pada polisi. Dan respon Taufan malah cuek.

Trus korban yang sekarang, juga dibiarkan begitu saja. Kali ini Halilintar benar-benar yakin, cepat atau lambat Taufan akan diburu polisi.

Sekarang Taufan kembali berceloteh.
"Orang ini–" Taufan menunjuk nama Bora Ra yang sudah ia coret namanya, "–yang udah kubunuh dan kubakar mayatnya saat di pabrik waktu itu."

Lalu Taufan menunjuk nama Probe yang udah di coret juga. Sambil tersenyum-senyum, Taufan melanjutkan, "Yang ini wajahnya kutonjok sampai mampus. Lidahnya kupotong. Potongannya udah kukasih untuk makanan anjing liar."

"Trus yang ini–" telunjuk Taufan beralih pada nama Adu Du. Taufan menoleh sekilas ke atas gedung dibelakangnya. Tepatnya di lantai lima belas. " –si bodoh itu hampir saja membuat Gempa jatuh dari atap sekolah. Makanya kubalas menggunakan paku. Tadinya aku ingin mengajarinya terbang ke bawah, tapi dia cengeng sekali. Menyebut-nyebut mamanya sambil menangis, ahaha. Lucu sekali. Seharusnya kubunuh saja ya."

Hali ikutan menoleh ke atas. Hanya sekilas. Kembali melihat Taufan yang perhatiannya ke bawah sambil menunjuk nama terakhir, lalu tersenyum sinis.

"Dan ini –" Taufan mengetuk-ketukkan ujung jarinya di atas nama Fang. "Aku sudah menyelidikinya. Rupanya dia yang memulai semua. Dia yang bikin gara-gara dari awal."

Taufan menoleh pada Hali. "Enaknya orang ini diapain ya, Li?"

Halilintar menatap Taufan lama. Kalau dibiarkan Taufan pasti akan semakin menggila. Terkadang Hali kasian melihat kewarasannya. Bagaimanapun pada dasarnya Taufan itu hanyalah manusia biasa. Dan tidak ada manusia normal yang memiliki hobi membunuh seperti yang Taufan lakukan. Harusnya Hali sadar bahwa sejak awal bertemu, kewarasan Taufan itu memang sudah terganggu.

"Hallo, apa di sini ada orang?" tanya Taufan sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Hali.

Halilintar menepis tangan Taufan. "Apaan sih!"

Save MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang