Taufan & Hali (2)

1.8K 243 13
                                    

Taufan menusuk-nusukkan mata pisau tumpul kesayangannya pada perut berotot milik Bora Ra. Memang agak sulit karena pisau itu tumpul tapi ketika ditancapkan dengan paksa akhirnya berhasil menembus daging. Bora Ra terus mengerang tiap Taufan menghias tubuhnya dengan benda tajam tersebut.

Dan kali ini dia tampak pasrah. Taufan sengaja menancapkan benda itu tidak cukup dalam hingga bisa melihat organ dalam perut tersebut. Pada setiap sayatan yang ia goreskan, kulit itu terlihat membuka dan perlahan mengalirkan cairan amis merah pekat.

"Sebelum kuambil matamu, tubuhmu perlu dimandikan dulu pake cairan ini." Taufan tertawa puas mendengar Bora Ra merintih akibat perbuatannya. Ia menghentikan sayatan pisau itu dan memandang wajah Bora Ra yang sudah memucat lemas.

Taufan tak peduli dan kembali menikam perutnya. Darah menyembur semakin banyak, mengenai sedikit wajah Taufan.

Kaki Bora Ra sesekali mengejang, matanya membelak kesakitan. Taufan sengaja tidak mengincar titik vitalnya, bahaya jika laki-laki ini mati lebih cepat dari apa yang ingin Taufan perbuat.

"Dasar bajin**n! Cepat bunuh saja aku!!" Bora Ra berseru jengkel. Sepertinya ia sudah tidak tahan lagi dan memilih untuk cepat mati saja daripada mendapatkan penyiksaan yang menyakitkan.

Taufan menggeleng sambil terkikik senang. Sekarang ia dapat melihat isi perut itu, seperti seorang dokter yang melakukan operasi saja. Taufan menekan sedikit usus yang terlihat seperti benang kusut, lalu merabanya, membuat Bora Ra semakin tercekat. Taufan benar-benar tidak ingin membuat laki-laki ini mati dengan mudah rupanya.

Kemudian Taufan meninggalkan bagian perutnya, beralih ke kaki yang tergantung di atas. Pisaunya diarahkan ke sana tuk menyayat dan menguliti kulit kasar itu. Hm, otot yang sering Taufan dengar dipelajaran biologi ternyata bentuk aslinya seperti ini. Taufan senang melihat isi sayatan pisaunya pada kaki itu, ia jadi bisa belajar biologi jika membedah seluruh tubuh Bora Ra.

Taufan melirik wajah Bora Ra, karena sempat kebingungan melihat dia tak lagi berteriak maupun memberontak seperti sebelum-sebelumnya. Dan yang dilihatnya adalah ekspresi seperti sudah begitu pasrah akan kematian.

"Huh, mulai gak seru," ucap Taufan seraya menyayat lapisan otot itu lagi. Ia penasaran dengan warna tulang yang sebenarnya.

Ya, memang warna tulang itu pasti berwarna putih, seperti yang ada di lab biologi hanya saja itu pasti sudah mengalami pencucian. Taufan ingin melihatnya secara langsung di dalam tubuh manusia. Dan akhirnya ia mencapai tulang kaki Bora Ra. Tulang tersebut memang berwarna putih, sedikit berwana merah karena ada otot yang menempel di sana. Taufan terlihat puas melihatnya. Sesekali ia lihat wajah Bora Ra yang terus melemas, sepertinya hampir meninggal.

"Ayolah, apaan ini? Masa gini aja mau cepat mati. Katanya preman sekolah, tapi kok lemah. Payah, ah!" Taufan berdecak sambil berjongkok.

Tubuh Bora Ra memucat gemetar antara sakit dan mungkin mulai kehabisan darah. Taufan tertawa kecil, perlahan ia mendekatkan mata pisaunya ke arah bola mata Bora Ra yang kini terbelalak.

"Tenang saja. Pasti sakit banget kok," katanya terkekeh dan perlahan menusukkan mata pisaunya ke salah satu mata Bora Ra, lalu mencungkilnya dengan kasar. Tentu saja perbuatannya membuat Bora Ra mengerang, mulai berteriak menyumpah serapahi dirinya lagi.

Taufan tertawa puas setelah berusaha mencungkil mata itu dalam bentuk bulatan utuh. Dan ia memandang si korban yang semakin lemas akibat kehabisan darah. Nafasnya pun putus-putus, mungkin benar-benar hampir mati.

"Lihat, ini matamu. Jelek banget ya," kata Taufan malah menunjukkan bola mata Bora Ra yang penuh darah di telapak tangannya.

Sedangkan Bora Ra tampak tak fokus karena tengah mengalami kesakitan yang teramat sangat pada salah satu matanya yang kosong dan terus mengalirkan banyak darah.

Taufan pun berdiri karena bosan melihat reaksi Bora Ra. Setelah itu ia berbalik hendak mencuci bola mata itu menggunakan air sekaligus membersihkan tangannya yang penuh darah. Taufan jadi jijik melihat cairan merah kental itu mengotori tangannya.

Ketika ia sedang sibuk mencuci bola mata itu, suara motor dari kejauhan mulai terdengar. Eskpresi Taufan mengkaku. Ia sudah memastikan kalau tempat ini benar-benar jauh dari warga, juga tidak terjamah. Jadi siapa si pemilik motor tersebut?!

Criet! Clang!
Lalu disusul dengan suara seperti pipa yang tidak sengaja ditendang dari arah lain.

Taufan langsung menoleh otomatis ke arah datangnya suara pipa barusan. Sekilas ia lihat ada bayangan seseorang yang tengah bersembunyi tak jauh darinya.

Kedua sudut bibir Taufan melengkung keatas membentuk sebuah seringai. "Wah, ada saksi. Ini gak bisa dibiarkan bukan?"

Pisau tumpul yang masih berada digenggamannya dieratkan. Taufan berdiri dan melangkahkan mengikuti arah bayangan tadi. Sudah dapat dipastikan ada seseorang yang daritadi mengawasinya.
..
..

Di saat bersamaan, Halilintar turun dari motornya. Matanya mengedar melihat sekeliling tempat yang kelihatan sepi itu. Tidak ada orang di manapun. Halilintar menarik ponselnya. Lalu ia membuka sebuah galeri, tepatnya melihat sebuah foto seorang lelaki berkepala botak yang kata Ocho adalah seseorang yang ingin membeli senjata ilegal. Seorang pelanggan.

Lalu kemana dia berada?

'Mungkin orangnya ada di dalam,' kata Hali dalam hati.
Yakin dengan hal itu, Hali pun mengambil kotak senjata milik Ocho dan membawanya masuk ke dalam pabrik kosong yang sebagian sudah hancur isinya.

Namun ketika memasuki tempat itu lebih dalam, Halilintar tercengang melihat ada seseorang yang tergantung di tengah-tengah tempat yang dipenuhi oleh banyak mesin berkarat. Lebih mengejutkan lagi saat melihat kondisi orang itu yang tampak mengerikan. Tubuh penuh luka sayatan, dilumuri banyak darah, terutama pada bagian kaki, perut dan wajahnya. Salah satu lubang mata yang kosong itu juga terlihat ngeri.

"To-tolong.. sakit," rintih Bora Ra ketika menyadari ada orang lain datang. Berharap mendapatkan sebuah pertolongan.

Halilintar menyergit. Ia dapat menyimpulkan kalau orang itu telah mengalami penyiksaan yang mengerikan. Dan jelas sekali kalau orang ini bukanlah pelanggan Ocho karena tidak persis seperti yang ada di foto.

Kemudian ia mendengar sebuah keributan dari arah pintu gerbang dari arah sebaliknya. Disusul oleh sebuah teriakan.

"Waa, ampun. Aku tidak melihatnya. Biarkan aku pergi!!" teriak orang lain dari arah sana. Halilintar jadi penasaran sekaligus waspada. Siapapun itu pasti calon korban bersama si pelaku penyiksaan. Ia harus berhati-hati karena mungkin saja siapapun itu adalah orang yang berbahaya.

"Sabenarnya aku tidak mau membunuhmu, tapi aku tidak suka kalau ada saksi. Jadi selamat tinggal," kata Taufan menusuk jantung seorang pria berkepala botak.

Setelah melihat si botak tampak kejang-kejang dan pada akhirnya menghembuskan napas terakhirnya, Taufan mencabut pisaunya dan berdiri.

Taufan pun menyadari kalau ada orang lain lagi yang datang. Dan orang itu sekarang tengah berada di belakangnya.

"Kau membunuh pelangganku," kata Hali datar melihat si pria botak terbaring dengan luka tusukan di dadanya.

Taufan menoleh ke belakang. Wajah Hali tak begitu jelas karena tertutup sebuah topi.

"Ya dan kau juga akan mengalami hal yang sama." Taufan berbalik dan hendak menyerangnya dengan pisau tapi langkahnya terhenti mendadak ketika wajah Hali terlihat dengan jelas, karena kini mereka saling bertatapan dalam keterkejutan.

..
.

Save MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang