Suara ketikan komputer menggantung di langit-langit ruangan. Bersahut-sahutan. Pendingin ruangan menderu. Mengeluarkan hembusan udara yang membelai tiap orang. Menyapu seisi ruangan. Dingin sekali. Ruangan kerja bersekat berjejer. Asap kopi mengepul di salah satunya. Seperti terlihat baru saja diseduh. Wanita yang duduk di depan komputer berdesing itu mengambil cangkir kopi. Menyeruputnya sedikit, ah nikmat seperti biasanya.
Manusia-manusia kantoran berlalu lalang. Satu dua mengapit beberapa dokumen. Tiga empat berkutat pada layar komputer. Sesekali mengeluh, pusing, berseru kesal. Di pojok sana ada dua pria bercanda. Sejenak melepaskan pekerjaannya yang menumpuk. Membahas pertandingan final Liga Champions tadi malam. Seru sekali.
Berdeham. Seorang pria lain mengintervensi pembicaraan dua pria itu. Mereka salah tingkah. Menggaruk kepala yang tidak gatal. Tersenyum canggung.
"Kalian sedang apa?" Menatap kedua pria tersebut. Yang ditatap hanya menyeringai.
"Maaf, pak. Kami istirahat," Serempak menjawab.
"Sami, sudah selesai dengan laporan mingguanmu? Dan Fangky, sudah selesai dengan proyek yang aku berikan padamu?" pria berambut klimis itu menekan. Menghentak-hentakkan kaki pelan. Menangkupkan tangan. Menatap tajam.
"Eh, tinggal sedikit pak." Sami menjawab asal. Padahal separuh saja belum selesai dia.
"Su-sudah, eh, hampir selesai juga pak." Fangky mengikuti Sami. Sama-sama dengan suara menciut.
"Oh, hampir selesai? Boleh saya lihat?"
"Saya sempurnakan dulu pak." Sami tersenyum hormat untuk terakhir kali. Menjawil Fangky. Pergi ke mejanya
"Saya juga, pak." Fangky mengikuti Sami.
Pria itu menggeleng-geleng kepala. Melangkah pergi.
Hari yang biasa. Tugas-tugas menumpuk. Seruan-seruan mengeluh. Punggung-punggung yang penat. Serta terkadang curi-curi waktu untuk bermain di komputer yang disediakan perusahaan, yang ini tidak lain dan tidak bukan hanya Fangky dan Sami. Sudah berapa kali mereka menggampangkan pekerjaan, sesering itu pula mereka kepergok melalaikannya. Entah apa yang bisa mempertahankan mereka di sini.
Tapi kisah ini tidak tentang mereka dan tidak pula dari mereka.
Di sudut meja dengan kepulan kopi. Ruangan bersekat kecil dengan tumpukan dokumen di atas meja, catatan-catatan yang menempel di dinding sekat, dan sebuah pigura kecil berisi foto keluarga di sebelah komputer, manis sekali. Suara guratan pulpen terdengar. Coretan demi coretan.
Pria tadi mendekat. Kepalanya menyembul dari balik pintu sekat, "Nirada, boleh saya bicara sebentar?" tersenyum.
Nirada menoleh, "Iya Pak Gilang? Ada apa ya?"
"Boleh saya masuk?"
"Silahkan, Pak." Nirada berdiri. Mempersilahkan masuk.
"Ah, kau tak perlu repot-repot berdiri." Gilang tertawa kecil. "Begini, ada beberapa catatan dalam pekerjaanmu, Nirada. Aku akui selama ini kau memang karyawan yang paling rajin. Paling hebat malah. Berangkat paling awal dan pulang paling akhir. Prestasimu sebagai karyawan terbaik memang tidak omong kosong, kau benar-benar membuktikannya. Namun itu beberapa bulan lalu." Raut wajah Gilang berubah serius.
"Apa ada yang salah pak?" Nirada merasa ada yang aneh. Bukankah selama ini dia baik-baik saja. Mengerjakan tugas sebaik mungkin. Melaporkan sedetail mungkin. Apa ada yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini.
"Kau menginput data yang salah Nirada. Dalam dokumen yang sudah aku kirimkan ke pihak kerjasama kita, mereka marah besar. Bilang tak sepatutnya kau mencantumkan data sebenarnya. Bilang bahwa manipulasi yang mereka inginkan seharusnya diterakan. Sedikit saja, agar klien kita mau dan tertarik dengan proyek ini. Setidaknya itu yang mereka bilang padaku. Tentunya dengan marah-marah." Gilang tertawa kecut. Menggeleng-geleng kepala. Menghela nafas.
"Tapi, pak, bukankah memang itu data sebenarnya? Bukankah kita tidak boleh menutup-nutupi apapun kepada klien. Bicara seadanya, supaya mereka bisa cermat dan menaruh kepercayaan kepada kita." Nirada berkelit. Suaranya mantap. Nirada memang seringkali menggunakan ideologinya dan keras kepala. Karena ia belajar dari ahlinya.
Gilang menghela nafas. "Namun tidak untuk situasi saat ini, Nirada. Mereka adalah kerjasama terbesar kita. Gelontoran dana yang cukup untuk mendanai proyek besar ini. Dan dengar, kita baru saja kehilangan semuanya."
"Kehilangan? Mereka memutus kontraknya?" Suara Nirada meninggi. Terdengar di seluruh sudut ruangan. Membuat satu dua kepala menengok.
"Pelankan suaramu Nirada!" Gilang berseru. "Kita telah kehilangan dana kita, proyek kita, dan klien kita. Aku tegaskan kau harus mengerti situasi ini." Gilang menatap tajam.
Lengang sejenak. Nirada menunduk, ia tahu.
"Dengan begini, nama perusahaan ini dipertaruhkan. Reputasi yang selama ini terbangun hebat tentu akan mengalami penurunan hebat." Gilang menangkupkan kedua tangan. Pose seriusnya.
Nirada mengangguk, ia juga tahu.
"Baiklah-baiklah," Gilang menghela nafas. Menurunkan tangannya. Menatap sekeliling. Ruangan kerja Nirada yang penuh dengan catatan-catatan, dokumen bertumpuk, serta secangkir kopi yang sejak tadi telah dingin. Sedikit berantakan.
"Kau perlu mengambil cuti, Nirada." Suara Gilang lebih tenang.
"Tapi, pak, saya masih cukup kuat untuk bekerja. Saya akan memperbaiki semuanya. Saya akan menyusun ulang dokumen, mencatat berbagai hal, melaporka-"
"Semua sudah selesai, kita kehilangan proyek ini." Gilang memutus pembicaraan. Keputusannya mantap. Dan memang tujuannya ke sini untuk memberitahu semua ini. Soal kerugian, kehilangan, dan keputusan itu.
"Ambillah tiga atau empat hari. Terserah. Yang jelas performamu yang sangat menurun ini harus diperbaiki. Ayolah, mana wajah riangmu dahulu. Sapa hangatmu di pagi hari. Serta disiplinmu yang menginspirasi atau terkadang cenderung menakutkan bagi kebanyakan karyawan." Gilang mencoba memecah suasana. Menghibur dirinya dan Nirada. Berharap banyak kepada karyawan potensialnya.
Namun tentu itu semua berat bagi Nirada. Pekerjaan ini membuatnya melupakan banyak hal. Tentang masa lalunya, kehidupan yang berusaha ia lupakan, kenangannya, dan seseorang itu. Ketika ia mengambil cuti, bukankah justru serpihan memori itu akan kembali. Nirada bergumam kesal.
"Kau bisa memulainya besok hari. Pergilah ke tempat-tempat hebat. Menyenangkan. Mungkin itu bisa meredakan stresmu selama ini. Aku kira rehat sejenak lebih baik daripada membiarkanmu tenggelam dalam pekerjaan yang berlarut-larut. Semoga cuti ini akan mengajarkanmu banyak hal. Memberi sedikit ruang untuk lebih terbuka pada sekitar. Semoga kau mengerti, Nirada." Gilang menatap Nirada.
"Baik, pak." Nirada mengangguk. Menunduk. Bergumam kesal, Sial sekali.
Maka benar sekali, cuti ini memang akan mengajarkan Nirada banyak hal. Tentang masa lalunya, kisah hidupnya, rahasia terbesar, dan tentu seseorang yang mengajarinya banyak hal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tersisa dari Hati
RomanceDia mengajarkanku cara mengucapkan selamat tinggal Dia mengajarkanku untuk tumbuh dalam kebaikan Dia mengajarkanku cinta yang mengakar kuat pada jiwa yang lemah Namun satu yang tak ia ajarkan padaku, Cara untuk tetap tersenyum kepada hati yang memi...