5. Penyesalan

27 2 0
                                    

Nirada membuka lemari, laci, apapun yang ia gunakan sebagai tempat penyimpanan dokumen lama. Mengenyahkan satu dua sarang laba-laba yang mengganggu. Membuka beberapa map. Mencarinya satu per satu. Teliti. Tidak ada. Membuka map yang lain. Nihil. Pindah ke laci satunya. Ada sebuah buku klipping berwarna hijau. Membukanya. Ah ini dia.

Foto-foto keluarga, catatan-catatan lama, artikel Bapak yang dimuat di koran, foto Ibuk tersenyum—manis sekali. Nirada membalik halaman. Foto-foto masa kecilnya. Bapak yang duduk di sebelahnya di atas sofa. Tersenyum. Nirada tak peduli. Membalik halaman lagi. Tulisan-tulisan Bapak di koran. Artikel yang menampilkan perlakuan keji terhadap buruh pabrik. Bapak dulu memang seorang wartawan handal. Nirada membaliknya. Ia tidak pernah peduli.

Ketemu! Foto ini. Ya, benar sekali. Foto dirinya dengan Arsa di sebuah pohon beringin belakang sekolah dasar. Nampak Arsa tengah tersenyum sambil memegangi kepala Nirada. Di foto itu Nirada hanya memasang wajah kesal. Menatap Arsa. Ia tidak suka dianggap pendek. Foto ini diambil dengan kamera yang disandarkan pada batu depan pohon. Lantas memberinya timer. Mengambil banyak foto. Ah, tapi sejauh ini hanya foto inilah yang selamat. Tidak tahu kemana lainnya.

Foto ini, foto masa kecilnya. Di tempat basecamp mereka ketika lelah dengan rutinitas sekolah. Tempat bersembunyi ketika kedua orang tua mereka sibuk berteriak mencari anaknya. Nirada dan Arsa akan tertawa cekikikan sambil kabur ke pohon beringin ini. Bersantai, bercengkrama, menikmati udara sore dan senja yang tinggal seujung jari. Lantas nanti malam kembali ke rumah dengan hujan amarah yang besar. Kalimat-kalimat tidak akan mengulangi lagi. Tapi toh Nirada dan Arsa bandel, besok-besok pergi ke sana lagi.

Nirada tersenyum. Masa kecil yang indah.

Hp Nirada berdering. Gustin sedang menelepon.

"Halo?"

"Halo, Nirada." Terdengar suara kerumunan di seberang.

"Kau sedang di mana?" Nirada mengambil foto pohon beringin itu. Memasukkannya ke saku. Duduk di sofa.

"Eh, aku sedang di mall. Ada diskon besar-besaran di toko yang biasa kita kunjungi. Bukan main diskonnya." Gustin tertawa renyah. Sibuk mengeduk beberapa potong pakaian. Berebutan dengan ibu-ibu di sampingnya. Ramai sekali toko ini. "Kau mau ke sini? eh, itu punyaku, bu! Aku dulu yang mengambilnya."

"Tidak, Gustin. Bisakah kau ke apartemenku sekarang. Aku punya urusan penting. Yah, mungkin kali ini membutuhkan bantuanmu."

Di seberang sana hanya ada suara kerumunan. Seruan-seruan tertahan. Omelan ibu-ibu. Juga sayup terdengar suara pegawai toko yang memohon tenang para pembeli.

"Gustin, kau mendengarku?"

Dibalas dengan suara langkah kaki, seperti berlari. Suara kerumunan tertinggal di belakang.

"Nirada—" Suara Gustin terengah-engah. Mengambil nafas. Satu dua tarikan.

"Eh, kau tidak apa?" Nirada memperbaiki posisi duduknya. Melipat dahi. Kenapa anak ini?

"Beruntung sekali. Aku tadi rebutan daster bersama ibu-ibu itu. Di sepersekian detik yang menegangkan, ibu itu dipanggil suaminya. Lantas sat set. Aku mengambil dan membawanya lari. Sekarang aku ada di ruang ganti." Menghela nafas. "Akhirnya aku mendapatkan daster ini." Gustin di seberang sana tersenyum. Masih dengan nafas tersengal.

Nirada tertawa. "Kau tidak sopan, Gustin. Harusnya kau ikhlaskan saja daster itu. Lagipula sejak kapan kau menyukai daster. Jiwa ibu-ibumu tidak terbantahkan sekarang."

"Hei, daster ini nyaman, Nirada! Oh ayolah, sekalinya kau memakainya di rumah. Berguling-guling di atas kasur, memasak, dan membersihkan rumah misalkan, daster ini akan menambah kenyamananmu berkali-kali lipat. Ibu tadi serakah, Nirada. Dia membawa keranjang penuh dengan daster. Aku hanya mengambil satu di rak yang kebetulan aku incar dari kejauhan, sialnya, kami berebutan."

Yang Tersisa dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang