Selama ini rupanya liang nyaman yang kudiami ialah kotor, gelap, tak terurus. Dipan yang menjadi alas tidurku sejak berbelas tahun lalu nyatanya bahkan tidak mengandung sehelai kapuk pun. Ia benar-benar tanah telanjang berbatu dan selimutku adalah ilalang-ilalang panjang yang ujungnya menusuk daging hingga rusukku. Setelah berbelas tahun, kenapa tak sekalipun mataku jujur dengan apa yang terlihat? Aku sudah reyot, tapi berbelas tahun di depan kaca aku selalu memandang diriku berkilau, seolah aku ini pusat dunia.
Lalu pagi tadi aku jatuh. Setelah berkali-kali jatuh di atas tanah telanjang yang sama, yang menyadarkan bahwa langkahku tidak pernah bergerak jauh dari titik itu-itu saja. Aku terjatuh paling rupa kali ini. Sekali lagi, jatuh. Jatuh sampai aku terkejut bahwa aku ada di liang kotor, gelap, tak terurus.
Yang tidak kusadari adalah selama ini aku hidup dalam pikiranku sebab aku buta dirundung takut. Takut yang sering datang waktu bisik penghasut buat diri jadi nelangsa, getar-getir, saat kecil dulu. Takut yang sering datang waktu orang-orang menyalahkanku, padahal aku memang salah. Takut yang sering datang waktu tidak bisa buat hati semua orang senang, padahal salahku yang tidak benar-benar memerhatikan orang lain. Takut yang sering datang akibat selalu salah naluri. Takut yang sering datang sebab dulu orang memandangku berbeda, sebab aku memang berbeda, tapi aku selalu benci jadi berbeda. Takut untuk jadi berbeda karena aku tidak pernah bisa melihat apa yang bagus dari menjadi berbeda.
Waktu aku tersungkur tadi pagi, Tuhan mampir ke benakku. Badanku lebur untuk ibadah yang belum pernah kusempurnakan karena terlalu takut akan segala tuntutan dunia yang belum aku sempurnakan. Untuk malam-malam yang sebetulnya berkah tapi kurutuk habis-habisan karena sekali lagi aku takut, takut dikejar kantuk esok hari.
Hai, namaku artinya pemberani. Ditunjuk untuk jadi seorang yang hidup dengan keberanian. Tapi aku selalu lari. Aku tahu apa, tapi aku tetap kabur. Aku tahu ke mana, tapi aku tetap menjauh. Aku tahu bagaimana, tapi aku tetap pura-pura bodoh. Atau memang bodoh.
Kenapa tidak kemarin saja aku ditunjuk untuk tersungkur segera? Aku selalu heboh memperbaiki diri tapi tidak ada perbaikan yang kentara. Selalu saja tidak lihat ada lubang kecil yang selama ini bisa kuhindari, dan sekarang lubangnya sudah sebesar liang lahat. Yang pantas mengubur aku dalam-dalam.
Aku takut karena banyak hal yang tidak kulihat baik pada setiap jengkal kulitku sendiri. Padahal tidak ada secuil gompal sekalipun. Selalu merasa tidak sempurna, padahal memang masih dalam proses. Sungguh angkuh pada waktu. Kapan bisa jadi sabar?
Jika malam ini benar akan menjadi titik balikku, besok aku akan beberes liang ini. Akan aku hias, walau belum tahu akan mampu atau tidak. Aku terbiasa untuk takut. Aku tidak mau buta saat mata sudah terbuka. Apa Tuhan dengar?
//
— Aip Orlandio
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG KITA
PoetryHi, kuciptakan ruang ini untuk kita. Aku akan membagikan apapun disini, dan kau pun boleh. Entah itu suka, duka, sedih, kecewa atau apapun yang ingin aku dan kita bisa bagi. Selamat menyelami bait demi bait yang tertulis. ••• Instagram: @heyip__