05.Lebih berhati-hati lagi, Dikta!

3 1 0
                                    

"Aku pulaaaang!" teriak Tami begitu memasuki rumah. Ia melempar kedua sepatu dan kaos kakinya ke sembarang arah, lalu mencium tangan neneknya dan pergi ke kamarnya. Sang nenek berdengus pelan lalu membereskan sepatu dan kaos kaki Tami.

"Jangan dijadiin kebiasaan dong, Nak. Jelek ini, sepatu sama kaos kakinya di rapiin dong," tegur sang nenek baik-baik.

"Maaf, Nek!" Tami menjawab dari dalam kamar.

Neneknya membuka pintu kamar Tami, terlihat gadis itu tengah menulis sesuatu di handphonenya.

"Ganti baju dulu, abis itu makan!" suruh sang Nenek, ia kesal tapi berusaha menahannya. Ia tidak tega jika harus memarahi cucu kesayangannya itu, apalagi ia tahu dunia gadis itu seburuk apa.

"Nek sini deh!" ujar Tami yang saat itu duduk di tempat tidurnya. Neneknya pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Tulisanku ada yang baca ternyata," seru Tami dengan senangnya. Beberapa hari lalu ia sempat menulis sebuah cerita di salah satu platform menulis. Dan begitu dilihat, ternyata cerita yang baru berisi lima bab itu telah di baca dua belas kali.

"Bagus itu, cerita buatan kamu itu?" tanya Sang Nenek yang sudah sangat tahu bahwa gadisnya itu gemar sekali membaca dan menulis cerita fiksi.

"Iya, Nek. Nanti kalau udah dibaca ribuan sampe jutaan biasanya suka terbit, Nek," kata Tami penuh antusias.

"Ya sudah, lanjutin buat ceritanya. Tapi inget, jangan lupa ganti baju, mandi sama makan ya. Nenek udah masakin udang balado kesukaan kamu," ucap Sang Nenek. Saat melihat gadis tersebut bahagia hanya karena hal sederhana hati sang nenek langsung tersayat perih. Mengapa tidak ada yang ingin membawa anak baik ini?

Tiga tahun lalu kedua orang tua Tami bercerai. Ayah Tami memutuskan untuk membawa adik Tami sedangkan Ibu Tami memutuskan untuk membawa kakak Tami. Sementara Tami dititipkan pada dirinya.

"Iya, Nek. Lima menit lagi ya," bujuk gadis itu sembari melanjutkan sedikit kisah pada cerita tersebut.

Sang nenek mengusap kepala gadis itu, semoga rejeki kamu dimudahin Tami. Kamu pasti bisa jadi orang sukses, Nak. Tunjukin ke orang tua kamu, buat mereka nyesel nggak mau milih kamu. Kamu anak baik sayang, kamu pasti bisa jadi seseorang suatu saat nanti meskipun tanpa bantuan orang tua kamu.

"Nek," panggil Tami dengan binar yang tiba-tiba luntur dari wajahnya.

"Kenapa, Sayang?"

"Ayah sama Ibu kok nggak ada nelepon Tami ya, ini udah mau tiga bulan. Mereka ada nelepon ke Nenek nggak?" tanya Tami yang mendadak merindukan mereka, ingin rasanya menceritakan tentang pencapaian kecilnya itu pada mereka.

Neneknya tertegun, sepertinya anak itu pelan-pelan terlupakan.

"Ada. Waktu itu kamu lagi sekolah, mereka bilang belakangan ini mereka bakalan sibuk banget. Jadi bakalan jarang ngehubungin kamu," jawab Neneknya berbohong. Ia tidak ingin membuat perasaan gadis itu semakin terluka.

"Ini aneh banget sih, Nek. Aku benci banget sama mereka, tapi kadang aku ngerasa aku sayang sama mereka. Kadang aku nggak mau peduli lagi tentang mereka tapi kadang aku rindu mereka. Kok bisa gitu, ya?" tanya Tami sambil tersenyum hambar.

Neneknya pun langsung memeluk Tami, "Itu karena kamu darah daging mereka, batin kalian selalu terikat. Tapi inget pesan nenek, jangan pernah biarin rasa benci itu menguasai kamu dan jangan pernah biarin rasa sayang itu ngebuat kamu lemah."

Tami membalas pelukan neneknya itu, "Iya, Nek."

"Makan sekarang yuk," ajak sang nenek jika dinanti-nanti biasanya Tami akan lupa. Bahkan perihal makan saja, bisa Tami lupakan.

SoulmateWhere stories live. Discover now