[chapter three]

397 18 3
                                    

Warning: [mature content, please be a wise reader. 🔞]

Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, Irene akhirnya menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Ia harus pulang sekarang agar sampai di rumah tidak terlalu malam.

Setelah merapikan barang-barangnya, ia berjalan keluar dari perpustakaan menuju stasiun.

Tring

Irene yang mendengar suara itu segera berhenti dan meraih handphonenya dari saku celana.

"Ren, mama udah putusin buat pindah ke luar negeri sama Adek. Maafin mama, mama belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu, tapi mama gak mau terus-terusan nyusahin kamu, bikin kamu ribet ngurus mama dan Adek. Kamu tenang aja, biaya hidup kamu tetep ditanggung sama si brengsek itu. Kamu gak perlu khawatir sama adek. Mama bakalan berusaha ngurusin adek sampe dia lulus sekolah. Kamu gak usah cari mama sama adek ya, Ren. Udah cukup sampe di sini aja, mama sama adek bakalan baik-baik aja."

Irene terhenti. Bahkan rasanya dunia juga berhenti.

Adiknya yang baru berusia 10 tahun. Papanya yang memiliki istri di luar negeri membuatnya sangat membenci pria itu. Walaupun papanya tetap mengirimkan uang dan memenuhi kebutuhannya, tetap saja bagi Irene papanya adalah bajingan.

Hubungan Irene dengan ibunya yang tidak baik membuat mereka sering beradu mulut karena berbagai alasan, ditambah sang ibu yang sering berganti pasangan dan semua pasangannya hanya menumpang hidup padanya membuat Irene muak.

Irene hanya punya sang adik, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lulus tepat waktu dan segera mendapat pekerjaan agar bisa pindah dan hanya tinggal berdua dengan adiknya.

Namun sekarang ia sendirian.

Tanpa disadari, air matanya menetes. Gadis itu kebingungan, bagaimana bisa ia melanjutkan hidup sendirian, tujuan akhir Irene untuk membahagiakan sang adik harus pupus hanya dengan satu pesan bodoh dari ibunya.

Irene akhirnya berjalan menuju stasiun kereta. Ia harus naik 2 kali kereta dan 1 bus untuk sampai ke rumah. Angin terasa begitu kencang dan rintik hujan mulai turun. Ia berlari menuruni tangga untuk masuk ke stasiun.

45 menit kemudian, Irene menaiki tangga keluar stasiun. Hujan semakin deras dan ia tidak membawa payung. Irene melihat banyak orang yang berteduh di depan stasiun dan juga halte. Bagaimana bisa langit hujan disaat hatinya sedang kacau.

Ia  melepaskan headphonenya dan memasukkannya ke dalam tas dan berjalan ke luar stasiun, melewati orang-orang yang sedang menunggu hujan reda. Ia tidak peduli jika hujan tidak mau berhenti, toh juga hidupnya sedang hancur. Ia berjalan melewati halte bus di mana ia seharusnya menunggu, malam ini ia putuskan untuk berjalan.

Sudah sekitar 15 menit ia berjalan namun rumahnya masih belum terlihat. Ia kedinginan dan hujan masih lebat, dengan pakaian yang sudah basah kuyup gadis itu berhenti di tepi jalan. Entah apa yang ia pikirkan, namun kakinya enggan untuk berjalan lebih jauh.

"Irene?"

Gadis itu menaikkan kepalanya, melihat ke arah Heesa. Tidak tahu apa yang terjadi, namun Heesa tidak dapat membedakan mana air mata dan mana air hujan di wajah Irene.

"Kak Heesa?"

Irene mengusap wajahnya untuk melihat Heesa lebih jelas, hanya mata yang terlihat dari balik helm full facenya.

"Lo ngapain ujan-ujan an di pinggir jalan?" tanya Heesa sedikit berteriak karena suara hujan yang lebih kencang.

"Gue lagi jalan pulang," jawabnya dengan suara bergetar, pada saat ini Heesa sudah tahu gadis ini sedang menangis.

are we, in love? // Heeseung (ENHYPEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang