Sesosok Panutan

51 12 16
                                    

Gemuruh petir terdengar saling bersahutan meramaikan langit senja kemerahan. Senja penuh mendung menjadikan para pejalan kaki mempercepat langkahnya. Pun, pengendara motor yang menghiasi jalanan semakin gencar menaikkan laju kendaraan mereka. Satu detik, dua detik, titik-titik kecil perlahan menyentuh bumi setelah sekian lama ditampung oleh awan kelabu.

Hanya hitungan menit, jalanan kota sudah dipenuhi payung dan jas hujan warna-warni. Pedagang kaki lima bergegas merapikan barang-barangnya, sebagian ikut berteduh di pinggir ruko-ruko kosong bersama pejalan kaki lainnya, sebagian lagi bergabung melawan kemacetan setelah mengenakan jas hujan dengan terburu-buru.

Di tengah keramaian itu, ia berlari sembari memegang gagang payung biru tuanya. Langkahnya tegas, tidak memedulikan sepatu pantofelnya yang basah terkena cipratan air hujan. Sebelah tangannya mendekap erat tas ransel yang sengaja ia pakai di depan, tidak mau apa pun yang ada di dalamnya terkena hujan.

Haidar Al Rasyid Muhammad. Laki-laki pemilik bola mata cokelat itu beberapa kali mengintip arlojinya. Napasnya tersengal ketika melewati tikungan demi tikungan di depannya. Wajah bersihnya terlihat panik, lebih panik lagi saat bacaan tarhim berkumandang dari pengeras suara masjid Kota Surabaya.

Surabaya. Kota Para Pahlawan. Kota Sejuta Taman. Apalah namanya itu, tak pernah sepi walau malam menjemput. Beruntungnya Haidar menghafal seluk-beluk jalanan kecil di luar kepalanya. Ia jadi lebih cepat sampai di tujuannya. Hanya tiga menit, kaki jenjangnya itu sudah melewati gerbang besar bertuliskan "Pondok Pesantren Nurul Musthofa". Pemandangan santri-santri yang berbondong-bondong menuju masjid sambil memegangi payung menyambutnya.

Haidar mengembuskan napas keras, kembali melangkah. Bedanya kali ini ia tidak berlari. Berpasang-pasang mata melihatnya. Yang laki-laki segera tersenyum dan menundukkan kepala, sementara yang perempuan menunduk dan berlarian menuju pintu masjid khusus akhwat.

"Eh, Gus? Ternyata baru pulang kuliah ya?" Seorang pria berusia 40-an menghampirinya. "Saya kira Gus sudah di dalam dari tadi."

Haidar tersenyum dan menggeleng. "Saya terlambat karena ada kelas tambahan, Ustadz," jawabnya.

Pria itu manggut-manggut, berkata, "Kalau begitu, monggo siap-siap dulu Gus. Pak kiai pasti cariin dari tadi."

"Nggih, Ustadz Habib. Mari. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Haidar berlalu menuju rumah cukup besar yang terletak di samping asrama putra. Persis seperti perkataan Ustadz Habib, begitu Haidar meletakkan payungnya di teras rumah, suara berat kiai menegurnya.

"Baru pulang jam segini. Kamu ke mana saja, Haidar?"

"Haidar kan kuliah, Abi. Tadi ada kelas tambahan," sahut Haidar, meraih tangan kanan kiai sekaligus abinya itu. "Assalamualaikum. Sebentar, Haidar wudhu' dulu."

Abinya-Kiai Haji Ahmad Ma'ruf-hanya bergumam menjawab salam tanpa bertanya lebih lanjut. Haidar maklum dengan teguran abinya akibat dirinya yang pulang di waktu Magrib. Seorang kiai haruslah menjadi sosok panutan bagi murid-murid dan pengikutnya. Menjadi satu-satunya anak laki-laki di keluarga kiai membuat Haidar mau tidak mau memikul tanggung jawab yang sama seperti abinya.

Di pesantren milik abinya ini, ia dipanggil dengan sebutan Gus. Gus adalah panggilan kehormatan untuk anak laki-laki kiai. Awal-awal dipanggil begitu, rasa bangga Haidar meninggi setinggi langit. Itu masa-masa Haidar masih memiliki pikiran labil, belum tahu beratnya menyandang panggilan tersebut. Ia baru menyadarinya setelah beranjak dewasa, setelah pemikiran-pemikirannya semakin matang. Kedua pundaknya seolah ditimpa batu bernama tanggung jawab yang begitu berat.

"Nak, lain kali usulkan ke pengajarmu supaya kuliahmu itu jangan di waktu-waktu salat," tegur seorang wanita berkerudung hijau yang baru keluar dari kamarnya. "Kamu tau sendiri abimu itu keras kalau menyangkut agama."

Doa di Penghujung Malam [TAMAT] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang