Seutas Rasa

8 3 0
                                    

Dua hari berlalu, jawaban itu datang ketika Haidar sedang menghadiri kajian dakwah di masjid kampusnya.

'Assalamualaikum, Gus. Syukron karena sudah diberi waktu untuk saya memberikan jawaban tentang niat Gus Haidar. Setelah dua malam panjang terlewati, setelah berbicara dengan abah dan umi, dengan nama Allah Yang Maha Kuasa, bismillah, saya terima khitbah dari Gus Haidar.'

Begitulah isi pesan dari perempuan itu. Haidar spontan melafazkan hamdalah. Ia bahkan tak segan-segan melakukan sujud syukur yang tentu dihadiahi tatapan penasaran dari peserta lain. Ustadz yang mengisi kajian ini juga tampak tiba-tiba diam, menghentikan ucapannya hingga Haidar bangun dari sujudnya.

Matanya berkaca-kaca, dengan sorot kebahagiaan saat tersenyum. "Afwan, saya tidak bisa menahan diri untuk mengucap syukur sebesar-besarnya kepada Allah. Baru saja saya menerima jawaban positif dari niat terbesar saya, Ustadz, teman-teman."

Ustadz itu terkekeh, mengangguk maklum. "Baik. Kalau begitu saya lanjutkan."

Sesungguhnya Haidar ingin fokus mendengarkan. Apalagi topik kajian kali ini sangat berhubungan dengan tesisnya nanti. Sayangnya detak jantungnya menggila. Senyuman lebar terus terlihat sepanjang kajian yang diakhiri dengan azan asar.

"Wajahmu itu terlihat bahagia dan bersinar sekali, Haidar. Saya jadi penasaran, jawaban positif apa itu?"

Laki-laki itu tersenyum. Dirinya saat ini sedang duduk di emperan masjid, hendak mengenakan sepatu. Haidar berdiri, mencium punggung tangan ustadz yang tadi menjadi narasumber kajian. Haidar cukup dekat dengan ustadz tersebut karena beberapa kali terlibat di acara yang sama. Selain itu, abinya juga berteman baik dengan beliau. "Khitbah saya diterima oleh calon saya, Ustadz. Alhamdulillah," jawabnya.

Ustadz Ariffin, pria yang cukup berumur itu terkaget. "Subhanallah! Alhamdulillah. Sungguh kabar yang bagus. Diam-diam kamu akan menikah ya, Haidar? Ustadz pikir kamu mau menyelesaikan studimu dulu baru menikah," tanya Ustadz Ariffin.

"Belakangan ini niat saya untuk berumah tangga semakin besar. Daripada terjerumus ke dalam kemaksiatan dengan mendambakan makhluk Allah, lebih baik saya tunaikan niat saya. Kebetulan abi juga sudah mewanti-wanti saya mencari calon, bahkan sampai akan menjodohkan saya kalau saya tidak mendapatkan calon dalam satu bulan," jelas Haidar.

"Begitu ya. Ustadz paham perasaan pak kiai. Sebagai ayah dan sebagai pemimpin agama, pak kiai hanya mengharapkan yang terbaik untuk keluarganya." Ustadz Ariffin menepuk-nepuk pundak Haidar. "Lalu, siapa nih calonnya, perempuan yang bisa membuat seorang Haidar yang dingin jatuh hati?"

Haidar tertawa. "Memang saya ini bagaimana sampai Ustadz mengatakan itu?"

"Loh, kamu itu termasuk laki-laki cuek dan jutek, Haidar. Apalagi kalau berhadapan dengan perempuan, mereka sampai penasaran sisimu yang hangat itu bagaimana. Apa jangan-jangan kamu juga tidak sadar ya disukai banyak perempuan?"

Haidar mengelus dada, mengucap istigfar. "Tidak mungkin. Mereka itu hanya kagum, Ustadz. Ketar-ketir rasanya kalau banyak diberi hati oleh kaum Hawa. Satu perempuan saja saya sudah kewalahan menghadapinya."

"Dan perempuan itu beruntung telah memiliki hatimu." Ustadz Ariffin tersenyum kebapakan, sekali lagi menepuk-nepuk pundak Haidar. "Ya sudah, Ustadz duluan ya? Ada kajian di masjid lain."

Haidar langsung mencium punggung tangan sang ustadz. "Nggih, Ustadz."

"Jangan lupa undangan pernikahannya nanti, Ustadz tunggu ya, Nak. Assalamualaikum."

"Baik. Waalaikumussalam." Netra cokelat Haidar mengikuti punggung ustadz yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu sebuah mobil. Setelahnya ia melanjutkan kegiatannya yang hendak memasang sepatu tadi.

Doa di Penghujung Malam [TAMAT] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang