Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan Xavier baru saja selesai menemani Aira sampai gadis kecil tersebut tidur. Xavier merapikan selimut yang Aira pakai dengan hati-hati agar adiknya tersebut tak merasa terganggu. Sebelum benar-benar keluar dari kamar Aira, Xavier mendaratkan sebuah kecupan lembut di puncak kepala Aira. Tak lupa, dia juga mematikan lampu dan menutup pintu dengan rapat.
Saat sampai di ruang keluarga, Xavier melihat Abian dan Savira yang sedang menonton bersama. Kegiatan rutin mereka.
"Aira sudah tidur kah?" Savira bertanya seraya menatap ke arah Xavier.
"Iya. Dia baru saja tidur," jawab Xavier. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku celana.
"Kamu gak menginap malam ini?" Savira bertanya lagi. Xavier memang sering menginap di sana walau dia sudah memiliki rumah sendiri. Abian dan Savira juga tak keberatan dengan hal itu. Mereka malah senang karena setiap Xavier menginap, dia selalu membantu Savira untuk menemani Aira sampai tidur.
"Aku ada janji dengan temanku dan mungkin pulang agak malam. Jadi, malam ini aku akan pulang ke rumahku sendiri," jawab Xavier. Savira manggut-manggut mendengar itu.
"Aku pergi dulu." Xavier berpamitan. Setelah itu, dia pun segera pergi dari sana.
***
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam ketika Xavier datang ke sebuah kelab malam untuk menemui temannya. Dia datang ke sana tidak untuk mabuk-mabukkan atau semacamnya. Hanya untuk menemui temannya, yang katanya butuh teman curhat malam ini.
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya Xavier menemukan temannya yang sedang duduk di dekat meja bar.
"Kau terlambat." Seorang pria yang seumuran dengan Xavier berucap ketika Xavier duduk di sampingnya.
"Aku harus menemani Aira dulu sampai dia tidur," jawab Xavier. Dia kemudian meminta segelas jus pada bartender yang bekerja di sana.
"Sudah seperti kau saja yang punya anak." Pria itu berkomentar. Di tangannya ada segelas kecil minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Dan dia terlihat meneguknya sesekali.
"Latihan. Suatu hari nanti aku juga akan punya anak sendiri," balas Xavier lagi. Pria di sampingnya tersebut adalah teman Xavier yang cukup dekat sekarang. Mereka bertemu beberapa tahun lalu di Amerika, saat sama-sama sedang belajar bisnis. Dan ternyata mereka bisa jadi teman sampai sekarang.
"Jadi, ada apa?" Xavier bertanya seraya menatap temannya tersebut yang bernama Reno.
"Biasa. Tentang Vivian." Reno menjawab. Xavier menghela nafas pelan mendengar itu. Vivian adalah tunangan Reno, perempuan yang berhasil memikat Reno dengan pesonanya. Mereka bisa bertunangan karena dijodohkan, namun sayang Vivian tak pernah menyukai Reno.
"Berusaha lah lebih keras untuk menarik perhatian darinya," ujar Xavier. Entah sudah ke berapa kalinya Reno curhat padanya tentang Vivian.
"Hari ini dia terang-terangan jalan dengan pria lain di depanku. Dia bahkan berlagak tak mengenalku," ujar Reno. Xavier terdiam mendengar itu, bingung harus mengatakan apa. Menyuruh Reno menyerah untuk mengejar Vivian pun percuma jika pribadi dia sendiri belum merasa lelah.
"Jadi gimana selanjutnya?" tanya Xavier.
"Aku belum tahu." Reno menjawab. Xavier hanya geleng-geleng kepala saja mendengar itu.
"Kabar ibumu bagaimana?" Kini Reno yang bertanya. Xavier menerima segelas jus dari bartender dan menyeruputnya perlahan.
"Tak ada kemajuan. Semakin memburuk setiap harinya," jawab Xavier dengan datar. Dia memang enggan membahas perihal ibunya dengan siapapun, termasuk dengan Reno yang sudah cukup dekat dengannya.
"Bisa saja usianya tak lama lagi. Kamu harus bersikap baik sebelum ibumu benar-benar meninggalkanmu," ujar Reno memberikan nasehat.
"Aku mau membiayai pengobatannya pun sudah cukup jadi bukti kalau aku tidak menelantarkannya," jawab Xavier langsung. Ya, begitulah permasalahan mereka masing-masing. Reno dengan tunangannya, Xavier dengan ibu kandungnya sendiri.
Xavier kemudian memutar kursinya, hingga dia bisa melihat ke arah orang-orang yang sedang menari di lantai dansa. Sebagian lagi ada yang sedang berkumpul dengan rekan-rekannya di sofa yang tersedia di dekat lantai dansa.
"Sampai sekarang aku masih tak percaya kau merelakan mantan kekasihmu untuk jadi ibu tirimu sendiri," ucap Reno disertai dengan tawa kecil.
"Aku tak pernah benar-benar mencintainya. Jadi bukan masalah besar untukku," balas Xavier. Kini, mata Xavier terarah pada sekumpulan orang yang berada di sofa pojok. Di bawah cahaya yang remang-remang, Xavier bisa melihat cukup jelas satu persatu dari mereka. Dan setelah beberapa saat, Xavier mengenali salah satu dari mereka.
"Apa kau tak merasa menyesal sedikit pun?" Reno bertanya lagi dengan penasaran. Biasanya kan, penyesalan itu datang belakangan.
"Pernah. Aku pernah merasakannya. Namun tak ada gunanya juga. Tak mungkin aku merusak kebahagiaan mereka, terutama ayahku sendiri," jawab Xavier dengan jujur. Tatapannya masih terarah pada sofa du pojok, yang salah satu penghuninya Xavier kenal.
"Terus sekarang-" Perkataan Reno terhenti saat Xavier berdiri dan menjauh dari Reno. Reno menengok, melihat Xavier yang berjalan mendekat pada sofa di pojok dengan tatapan heran.
"Mau apa dia?" tanya Reno pada dirinya sendiri. Sementara Xavier, mendekat ke arah mereka dan berdiri di depan mereka semua.
"Siapa kau?" Salah satu laki-laki di sana bertanya pada Xavier. Xavier tak langsung menjawab, dan memperhatikan mereka satu persatu. Mereka semua masih remaja.
"Apa yang kalian lakukan pada Naila?" Xavier bertanya. Matanya lalu melihat ke arah seorang gadis remaja bernama Naila yang dia kenal, yang terlihat mabuk berat sekarang.
"Kau siapanya Naila?" Salah satu di antara mereka bertanya lagi. Xavier hitung, ada kurang lebih tujuh laki-laki di sana dan empat perempuan termasuk Naila.
"Om Xavier!"
Sebelum Xavier menjawab, gadis bernama Naila itu menyerukan namanya dengan lantang. Dia tertawa dengan mata yang sayu, lalu berjalan sempoyongan mendekati Xavier.
"Hai, Om. Lama tak bertemu," ucap Naila disertai dengan kekehan. Tanpa diduga, Naila langsung memeluk tubuh Xavier dengan erat.
"Apa yang kamu lakukan di sini sampai mabuk berat seperti ini?" Xavier bertanya seraya menahan tubuh Naila yang hampir jatuh.
"Aku bersenang-senang lah," jawab Naila. Keningnya lalu membentur dada Xavier dengan cukup kuat.
"Ayo pulang. Akan kuantar," ucap Xavier. Dia kemudian merangkul Naila, berniat membawa gadis remaja itu pergi dari sana. Dan tak ada yang berani menahan tindakan Xavier.
"Dah semuanya!" Naila melambaikan tangan pada teman-temannya disertai dengan tawa. Tubuhnya yang kecil tak membuat Xavier kesusahan untuk memapahnya.
"Kau kenal dia?" Reno bertanya seraya mendekati Xavier yang hendak pergi.
"Iya. Aku pulang duluan. Aku tak bisa membiarkan dia terlalu lama di sini dengan teman-temannya itu," jawab Xavier. Setelah mengatakan itu, Xavier membawa Naila keluar dari kelab malam tersebut.
______________________________________
Hai semuanya. Update pertama untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya❤❤
Ada yang bisa tebak Naila ini siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart
RomanceXavier Pratama, seorang pria berusia 32 tahun berstatus lajang yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan ayahnya. Secara tak sengaja, dia masuk ke dalam kehidupan seorang remaja yang baru saja lulus SMA. Berkeinginan untuk menjauh, namun waktu se...