Naila masuk ke lobi perusahaan Xavier dengan sebuah map di tangannya. Dia berjalan mendekati meja resepsionis dan mengatakan kalau dia harus mengantarkan sebuah dokumen pada Xavier. Resepsionis pun mempersilahkan Naila untuk langsung ke ruangan Xavier saja. Karena ternyata, Xavier sudah memberitahu mereka.
Ini bukan pertama kalinya Naila datang ke sana. Dia sudah beberapa kali datang ke sana untuk menemui ayahnya. Atau mengantarkan berkas kepada ayahnya, seperti yang sekarang dia lakukan. Jadi, Naila sudah tak terlalu asing dengan keadaan perusahaan tersebut. Perbedaannya sekarang adalah dia akan menemui Xavier, bukan menemui ayahnya.
Setelah naik lift, akhirnya Naila sampai di lantai tempat ruangan Xavier berada. Naila tersenyum ketika dia melihat Xavier berdiri di dekat meja sekretarisnya. Dari kejauhan, Naila bisa melihat Xavier yang sedang bicara dengan sekretarisnya. Dan setelah cukup dekat, Xavier pun menyadari kehadiran Naila.
"Ah, Naila. Kamu mengantarkan berkas ke sini?" Xavier bertanya seraya menatap Naila. Naila pun mengangguk dan langsung menyerahkan map yang dia bawa.
"Papa menghubungiku tadi," ujar Naila. Xavier pun mengambil map tersebut dari Naila dan mengeceknya. Kepalanya kemudian bergerak mengangguk pelan, menandakan kalau berkas yang Naila bawa benar.
"Masuklah. Aku mau bicara denganmu." Xavier berucap pada Naila yang hendak langsung pergi. Naila sempat bingung, namun tetap mengikuti pria itu masuk ke dalam ruangannya.
"Ada apa, Om?" Naila bertanya dengan bingung. Dia kemudian duduk di kursi yang tersedia di sana, berhadapan dengan Xavier.
"Kamu akan melakukan pendaftaran kuliah besok?" Xavier bertanya. Naila pun menganggukkan kepalanya.
"Ayahmu tadi memintaku membantumu semisal kamu butuh bantuan," ujar Xavier. Dia menyimpan map yang Naila bawa tadi di atas meja. Kemudian tatapan matanya terarah pada Naila yang duduk di depannya.
"Sepertinya sih, aku gak akan butuh bantuan apa-apa dari Om. Tapi kalau semisal aku butuh bantuan, aku akan hubungi Om," balas Naila dengan yakin. Xavier pun manggut-manggut mendengar itu.
"Teman-temanmu yang kemarin malam bagaimana?" Xavier bertanya menyangkut kejadian tadi malam lagi. Jujur saja, Xavier marah saat melihat Naila digerayangi oleh para pemuda itu. Melihat Naila, membuat Xavier teringat pada adiknya sendiri. Ditambah, Xavier juga sudah mengenal Naila sejak lama.
"Aku akan menjauh dari mereka dan menghindari komunikasi. Teman baikku memberikan saran agar aku melaporkan mereka ke polisi saja dengan alasan penjebakan dan pelecehan katanya. Tapi kalau aku melakukan itu Papa pasti akan tahu masalahnya bagaimana," ujar Naila.
"Saran dari teman baikmu itu ada benarnya, Naila."
"Aku tidak mau Papa tahu tentang kejadian semalam, Om. Yang penting adalah aku baik-baik saja sekarang. Aku janji tak akan menerima ajakan dari mereka lagi," jawab Naila cepat. Rasa takut terlihat jelas dalam sorot matanya. Tentu dia takut Xavier memberitahu ayahnya tentang kejadian semalam.
"Terserah kamu kalau begitu. Asalkan kamu bisa jaga diri dengan baik-baik, terutama saat orang tuamu tidak ada." Xavier membalas. Ya, dia juga tak bisa memaksakan kehendak pada Naila jika Naila tetap pada pendiriannya tersebut.
"Terima kasih, Om. Aku janji akan membalas kebaikan Om Xavier suatu hari nanti." Naila berkata dengan penuh tekad. Xavier berdecak pelan mendengar itu.
"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untukku?" tanya Xavier dengan nada mengejek. Naila mengerucutkan bibirnya sebal mendengar itu.
"Ya apa saja lah," balas Naila dengan kesal. Xavier pun tersenyum kecil melihat ekspresi kesal Naila.
"Baiklah. Terserah kamu saja. Terima kasih sudah mau mengantarkan berkas ini ke sini," ujar Xavier dengan serius. Naila menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Karena urusannya di sana sudah selesai, Naila pun pamit untuk pulang pada Xavier.
***
Saat jam makan siang tiba, Xavier pulang ke rumah ayahnya untuk makan siang. Maklumlah dia masih seorang lajang, dan belum memiliki seseorang yang akan memasak makanan untuknya. Jadi, Xavier sering datang ke rumah ayahnya untuk makan.
Xavier tiba dengan tepat di rumah ayahnya. Makanan untuk makan siang sudah terhidang di meja makan. Aromanya yang menggoda membuat Xavier tak sabar untuk segera mencicipi masakan ibu tirinya tersebut.
"Hai, Aira. Kamu sudah pulang rupanya." Xavier langsung menyapa sang adik ketika sampai di ruang makan. Tangan besarnya bergerak menyentuh kepala Aira dan mengusapnya dengan lembut.
"Biasanya juga sudah pulang kalau jam segini," timpal Aira, merasa heran dengan perkataan kakaknya barusan. Xavier pun hanya tertawa mendengar balasan Aira.
"Bagaimana sekolah kamu hari ini?" Xavier bertanya seraya menuangkan air ke gelas untuk dia minum.
"Semuanya baik-baik saja, Kak. Seperti hari biasanya," jawab Aira. Xavier pun manggut-manggut mendengar itu.
"Bu Bella titip salam lagi untuk Kakak."
Xavier yang sedang minum langsung tersedak ketika mendengar perkataan Aira barusan. Xavier kemudian berdehem seraya menepuk-nepuk dadanya sendiri.
"Guru Aira yang satu itu cukup gigih juga ya." Savira yang baru muncul dari dapur ikut berkomentar. Dia membawa salah satu lauk untuk makan siang ini, yaitu ayam bakar. Dan Savira menaruhnya di atas meja makan.
"Sangat mengganggu. Pindahkan saja Aira ke sekolah lain," protes Xavier. Sungguh dia sebal dengan kelakuan guru Aira yang bernama Bella itu. Padahal setiap bertemu Xavier tak pernah memperlihatkan rasa tertarik. Namun ternyata wanita itu tetap tak paham. Haruskah dia menolak secara langsung dengan tegas?
"Mana bisa. Aira sudah cocok bersekolah di sana," timpal Savira. Setelah mengatakan itu, dia berlalu dari sana untuk memanggil suaminya.
"Teman-teman kamu di sekolah bagaimana?" Xavier bertanya lagi pada Aira yang sedang memegang buku cerita.
"Mereka baik-baik semua kok. Hanya saja, sikap Bu Bella yang terlalu baik padaku jadi perhatian teman-temanku yang lain, Kak. Mereka bilang aku ini murid kesayangan Bu Bella." Aira menjawab dengan jujur, sesuai yang dikatakan teman-temannya. Xavier menghembuskan nafas pelan mendengar itu.
"Besok Kakak yang antar ya. Kakak mau bicara dengan Bu Bella," ucap Xavier, membuat sebuah keputusan. Aira tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Xavier tersenyum, walau dalam hati menggerutu kesal. Sepertinya dia memang harus bicara tegas pada guru Aira agar jangan macam-macam lagi dan berhenti menitipkan salam pada Aira. Itu sangat mengganggunya.
_____________________________________
Hai semuanya. Maaf ya jam segini baru update🙏🙏
Untuk kalian yang merasa kurang cocok dengan cerita ini, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya ya. Aku sudah menentukan sendiri tokoh maupun alurnya. Jadi maaf jika tidak bisa memenuhi ekspektasi kalian dan membuat kalian kecewa🙏
Btw, jangan lupa tinggalkan jejak❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart
RomanceXavier Pratama, seorang pria berusia 32 tahun berstatus lajang yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan ayahnya. Secara tak sengaja, dia masuk ke dalam kehidupan seorang remaja yang baru saja lulus SMA. Berkeinginan untuk menjauh, namun waktu se...