Chapter 7 - Salam

2.3K 235 107
                                    

 "Dan kura-kura kecil itu kembali ke tempat asalnya, di mana ibu dan ayahnya tinggal. Tamat." Aku mengakhiri cerita dari buku yang baru saja dibelikan Azre tadi sore. Meskipun anak-anak ini tidak sekolah, aku tetap mengajari mereka di rumah secara mandiri.

"Papa, boleh aku beltanya?" tanya Peppey yang sejak tadi bergelayutan di pundakku, asyik menyimak cerita.

"Tentu. Bertanya apa?"

"Kula-kula kecil di buku ini pulang ke ibunya, Pa. Tapi... di mana ibu kami, Pa?" Mata hijaunya bekerjap-kerjap penasaran.

Aku terdiam. Tidak menyangka bahwa bocah sekecil ini dapat menanyakan pertanyaan seperti itu. Sebenarnya, jauh sebelum mereka bisa berbicara, aku sudah mereka-reka jawaban tentang ibu mereka kalau-kalau kelak mereka bertanya. Namun entah apakah aku dapat mengatakannya atau tidak di depan mereka.

"Peppey benal, Pa. Apa ibu sedang pelgi ke pulau sebelang, sepelti yang seling dilakukan oleh Kak Azle? Kenapa ibu tidak pulang-pulang?" Samsul ikut menatapku, membetulkan letak kacamata hitam kebesaran yang ia pakai terbalik – hadiah ulang tahunnya yang kelima.

Aku menarik napas. Baiklah, aku harus mengatakannya.

"Ibu kalian... ibu kalian pergi sebelum Papa pindah ke pulau ini, Nak." Aku membelai rambut mereka, berharap jawabanku cukup untuk menghentikan rasa penasaran mereka.

"Pelgi? Ibu pelgi ke mana, Pa?" Marvel memanjat punggung kakak-kakaknya, membuat rambut ungunya menyembul.

"Jangan panjat-panjat, Malvel!"

"Ndak keliatan bukunya!" Marvel menangkis tangan Peppey yang hendak mendorongnya agar segera turun.

"Ibu pelgi ke mana, Pa?" anak berambut ungu itu mengulangi pertanyaannya.

Aku terdiam lagi. Kupikir anak-anak ini akan cukup dengan jawaban tadi. Ternyata tidak.

"Ibu pergi ke tempat yang indah, Marvel... Tempat itu jauuuuhhh sekali. Sangat jauh. Bahkan Papa belum pernah ke sana."

"Apa Malvel juga bisa ke sana, Pa?"

"Tentu, tapi tidak sekarang, Marvel."

"Apa Papa tidak sedih kalna ibu pelgi jauh?"

"Tentu Papa sempat sedih. Tapi Papa tidak bisa mengurus kalian jika terus-terusan bersedih, kan?" Marvel manggut-manggut sok paham.

"Baiklah, waktunya kalian tidur. Mimpi indah, anak-anak!"

"Malam, Sumsal, Malpel. Semoga kalian ndak mimpi dikejal Laja Ikan dali dongeng Papa."

"Malam, Malpel, Peppet. Semoga mimpi kalian ndak didatengin donat laksasa."

"Slamat tidul, Samsul, Peppey. Semoga kita mimpi ketemu ibu."

"Aku juga mau!"

"Makanya tidul, Sumsal."

Aku masih berdiri sebentar di depan pintu sebelum menutup pintu kamar mereka. Selalu menyenangkan mendengar mereka bercengkrama sebelum tidur – meski sering kali banyak rusuhnya.

Sejak malam itu, kami tidak pernah membahas soal itu lagi. Kecuali satu kali, lima tahun kemudian, saat usia mereka sepuluh tahun dan aku dua puluh tiga. Aku bukan lagi remaja labil seperti sepuluh tahun yang lalu.

Pagi itu, anak-anak bangun dengan semangat, bergantian mandi, berganti baju, kemudian sarapan dengan cepat. Aku sudah menjanjikan sesuatu untuk mereka pagi ini. Itulah mengapa mereka tidak ingin terlalu lama bersiap-siap.

"Cepatlah, Samsul! Papa akan mengajari kita sihir hari ini!" Marvel meneriaki saudaranya yang masih sibuk mencari kacamata hitamnya yang terselip di kamar. Samsul segera menyusul saudara-saudaranya, berlari ke lapangan kecil tempat mereka biasa bermain bersama.

Cerita Papa - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang