Chapter 2 - Alvey

1.6K 186 33
                                    

Aku terbangun persis saat cahaya matahari lembut menyiram reruntuhan rumah ini. Matahari pertama setelah gempa besar tempo hari. Aku beranjak duduk, masih bersama dengan ubi- eh, maksudku bayi di pangkuanku. Azre ikut terbangun, mengucek matanya. Rambut cyan-nya yang berantakan nampak semakin berantakan.

"Pagi, Gen."

"Pagi, Zre."

Kami sama-sama menatap bayi kecil yang masih tertidur lelap di pangkuanku. Tidak terganggu sedikitpun dengan silau mentari yang membasuh wajahnya.

Aku beranjak bangkit, mengintip lewat lubang jendela. Nampak keributan penduduk yang selamat mulai memeriksa setiap reruntuhan rumah, hanya untuk menemukan mayat-mayat yang tertimpa reruntuhan di bawahnya. Aku menghela napas. Ini bukan pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat.

Marvel yang masih dalam gendonganku tiba-tiba menangis lagi. Namun kali ini tangisannya berbeda. Dan, uhhh, bau apa ini? Bau busuk menyergap indera penciumanku.

"Uhh, bau apaan nih? Lu berak sembarangan Gen?" Azre juga mencium bau itu, menutup hidungnya dengan tangan.

"Enak saja! Mana ada aku berak!" sergahku. Enak saja dia menuduhku berak sembarangan.

Lagi-lagi pandangan kami tertuju pada Marvel yang terus menangis di gendonganku. Satu detik, kami langsung paham apa yang terjadi. Bayi ini berak. Tentu saja, berak di celananya.

Pelan-pelan aku menurunkannya, membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Lantas memeriksa popoknya. Uhh- baunya! Seumur-umur menjadi anggota ksatria legendaris, aku sudah terbiasa dengan berbagai misi sulit. Namun ini jauh berbeda. Aku sama sekali tidak punya ide kalau suatu hari nanti tugasku adalah mengganti popok bayi.

Aku berpikir cepat, meraih sembarang kain yang tersebar di dekat lemari (kalau itu masih bisa disebut lemari). Lantas menggantinya, sementara Azre berinisiatif memunguti beberapa kain lainnya. Lima menit, kami selesai.

"Ayo, Gen. Kita segera meninggalkan tempat ini." Azre lebih dulu melompati jendela, hati-hati menyelinap ke arah padang rumput tempatnya mencari susu kemarin malam. Aku mengikutinya. Lima menit, kami bisa melihat kawanan sapi yang ramai merumput. Azre mendekati salah satunya, membuka tabung – yang ternyata sempat ia buat tutupnya semalam. Tutup itu terbuat dari kulit kayu. Entah bagaimana Azre dapat membuatnya begitu cepat. Lantas ia hati-hati memeras susu sapi di dekatnya, memasukkannya ke dalam tabung. Aku memperhatikan sekitar. Nampak ubi-ubian tumbuh di pinggir lapangan. Aku mencabut beberapa, menyumpalkannya sembarang ke dalam kantong baju. Lumayan juga untuk menambah perbekalan. Aku tidak tahu seberapa jauh tempat yang dimaksud Azre.

Aku kembali ke tempat Azre persis saat ia selesai dengan susu sapi. Aku menyodorkan ubi yang kucabut tadi. Menawarkan sarapan.

"Terima kasih, Gen." Ia mengambil sebutir, lantas memakannya sambil berjalan menyeberangi padang rumput. Aku mengikutinya.

Setengah jalan menyeberangi padang rumput, Marvel kembali menangis. Langkah Azre di depanku sontak terhenti, begitu juga denganku. Aku bergegas membawanya ke pinggir padang rumput, mencari tempat berteduh – begitu juga dengan Azre.

"Susunya, Zre. Sepertinya dia lapar lagi." Azre mengangguk, bergegas membuka tabung. Lantas pelan-pelan meminumkannya ke bayi kecil di pangkuanku. Siklus yang sama seperti tadi malam. Lima belas menit, makhluk berambut ungu itu bersendawa, lantas Azre menyimpan kembali botolnya. Bedanya, kali ini bayi itu tidak tertidur lagi. Ia tersenyum, lincah menggerak-gerakkan kaki dan tangannya di udara sambil mengeluarkan suara-suara aneh.

"U, ah, oh eh hee." Bunyi-bunyi itu keluar begitu saja dari mulut kecilnya. Aku ikut tersenyum kecil melihatnya. Melupakan sejenak kejadian dua belas jam terakhir.

"Ayo, Zre. Kita lanjutkan perjalanan," aku berdiri, menggendong bayi itu. Kali ini aku membiarkan kepalanya menyembul di sebelah kepalaku, menopangnya agar bisa melihat-lihat sekitar.

Enam jam berikutnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami sempat berhenti dua kali untuk memberi Marvel susu, juga mengganti popok kainnya. Di luar itu, semuanya baik. Kecuali tatapan orang-orang ketika kami mulai memasuki jalanan Olvia.

"Sepertinya berita dan kerusakan penyegelan semalam sudah sampai ke sini, Gen, Azre berbisik pelan. Aku menunduk. Beberapa orang di sekitar kami mulai menatapku dengan tatapan aneh. Sepertinya mereka benar-benar mengira bahwa akulah penyebab kematian dua ksatria legendaris lainnya. Nyatanya, raja tua itulah yang kabur duluan. Menyebalkan. Entah apa yang dipikirkan kakek-kakek itu.

"Kamu sih ngga ganti baju dulu," sahut Azre, "Nih, pake dulu. Biar mukamu ketutupan." Ia meletakkan topi pesulapnya di atas kepalaku. Aku mendongak, melihat topi tinggi itu. Ya benar sih wajahku tertutup, tapi ga gini juga.

Dua puluh menit, kami akhirnya tiba di sisi lain kota Olvia. Sisi yang lebih sepi. Dua menit kami menelusuri jalan itu, langkahku terhenti.

"Bentar, Zre."

"Apaan?"

"Ssshhhtt, diamlah. Aku mendengar sesuatu."

Sepuluh detik, aku bisa mendengarnya lebih jelas. Itu seperti suara rintihan perempuan.

"Tolong.... Tolong...."

"Ada yang minta tolong, Gen!"

Tanpa perlu diberi tempe- eh, tahu, aku sudah meluncur duluan menuju sumber suara. Tidak jauh. Suara itu berasal dari salah satu rumah yang sudah hancur. Azre menggunakan teknik kinetiknya, menyingkirkan bebatuan yang menghalangi jalan. Aku tertegun ketika akhirnya melihat sosok yang meminta tolong sejak tadi.

Aku melihat sesosok ibu yang tertimpa bebatuan runtuhan rumah. Nyaris seluruh tubuhnya terimpit, menyisakan kepalanya yang juga berdarah. Azre berusaha menyingkirkan batu-batu itu, sementara aku menarik ibu itu.

Kabar baiknya, ibu-ibu itu berhasil kami tarik. Kabar buruknya, seluruh tubuhnya sudah terluka parah. Ibu ini bertahan untuk melindungi sesuatu dalam pelukannya. Sesuatu yang ia peluk erat, bahkan saat aku menariknya keluar tadi.

Sesuatu itu adalah seorang bayi. Umurnya kira-kira sama dengan Marvel. Mata mereka juga sama hijaunya, yang membedakan hanya rambut dan selimutnya yang berwarna cokelat.

"Nak..." ibu itu memanggil.

"Tunggu, bu. Saya cari bantuan. Ibu tunggu di sini, ya," aku berusaha menenangkan ibu itu.

Ibu itu perlahan menggeleng, "Jagalah.. bayi ini.."

Eh? Bayi ini? Aku menatap bayi berselimut cokelat di pangkuanku. Dua puluh empat jam terakhir, ini kali kedua aku berurusan dengan bayi.

"Namanya... Alvey... biasa.. dipanggil Peppey..." ibu itu terbatuk. Aku menoleh kea rah Azre. Ayolah, Zre, pasti ada yang bisa kau lakukan. Azre seolah dapat membaca tatapan mataku, menggeleng pelan. Sehebat apapun dia, ia tidak punya sihir penyembuhan. Itu teknik langka yang hanya dimiliki Sebagian kecil orang.

"Didiklah... ia.. agar bisa menjadi anak baik sepertimu..." ibu itu terbatuk sekali lagi. Aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan kata-katanya.

Lima detik, ibu itu menghembuskan napas terakhirnya.

Aku juga menghela napas – bukan napas terakhir, sekedar menghela napas.

Azre keluar duluan dari reruntuhan itu, mengabarkan kepada warga terdekat bahwa ada korban di sini. Ia menuntun warga itu masuk, dan lagi-lagi, bapak-bapak paruh baya yang datang bersama Azre menatapku aneh.

"Kau.. kau teman Clover?" bapak itu mengernyit, bertanya kepada Azre. Yang ditanya hanya mengangguk pelan.

"Huh. Dasar bocah pembawa masalah. Minggir, biar kuurus mayat tetanggaku," bapak itu mendorongku. Aku yang masih berusaha menyeimbangkan dua bayi di gendonganku terhuyung, nyaris jatuh.

Azre yang berjarak sepuluh langkah dariku memberi kode dengan anggukan kepalanya, kita harus pergi. Aku mengangguk. Azre mengambil bayi Peppey dari tanganku, lantas setengah berlari meninggalkan Olvia.

Yo! How's this chapter, hehe

Well, kalo kalian follow ig gwejh (@alyranair) mungkin kalian bisa liat hasil polling di story yg pada minta apdet 2 hari sekali,,, jadi yah, up nya kuusahakan 2 hari sekali ya!

Yah, jangan lupa vote, dan persiapkan diri kalian buat chapt 3! :D

Cerita Papa - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang