Chapter 3 - Samsul

1.4K 175 41
                                    

Empat jam berlalu dengan cepat sejak kami keluar dari Olvia. Azre tidak banyak bicara, begitu juga denganku. Kami tiba di tepi hutan oak ketika matahari hampir tenggelam. Bertepatan saat Marvel dan Peppey menangis bersamaan, merengek minta susu dan diganti popoknya. Aku meletakkan keduanya di atas potongan pohon tumbang, mengganti popoknya (itu tugasku, karena Azre bilang dia tidak mau berurusan dengan kotoran bayi) lantas membiarkan Azre menyuapi keduanya.

Derik jangkrik mengisi lengang di sekitar kami. Aku beranjak mengumpulkan ranting dan menyalakan api, sementara Azre masih menyuapi Marvel dan Peppey. Setelah api berhasil menyala, aku ikut duduk di atas potongan pohon tumbang. Melamun.

"Apa yang kau pikirkan, Gen?" tiba-tiba Azre bertanya, memecah lengang.

Aku menoleh, menggeleng pelan. "Tidak ada."

"Kau tidak pandai berbohong, Gen." Azre kembali mengalihkan pandangannya saat Marvel bersendawa, kekenyangan.

"Kau memikirkan ucapan bapak-bapak tadi?" tebaknya.

"Tidak juga. Beberapa jam di Olvia, aku mulai terbiasa. Lagi pula, dia tidak tahu yang sebenarnya."

"Aku hanya... dua bayi ini... apa aku bisa-" ucapanku terpotong. Telingaku yang tajam kembali menangkap sesuatu. Azre yang menunggu lanjutan kalimatku menatapku heran.

"Gen?"

"Sebentar, Zre. Aku mendengar sesuatu."

Lima detik, aku akhirnya bisa mendengarnya dengan jelas. Suara itu. Suara yang familiar sekali dua puluh empat jam terakhir. Suara tangisan bayi! Bedanya, kali ini suaranya jauh lebih lemah.

"Zre, jaga anak-anak. Itu sepertinya suara tangisan bayi."

"Bayi? Lagi?" Azre berteriak protes, keberatan. Aku tidak sempat menanggapinya, lebih dulu berlari ke arah sumber suara.

Dua menit, aku sampai di tepi sungai. Sungai itu tidak besar, lebarnya paling hanya setengah meter. Namun ada satu hal yang menarik perhatianku di sana. Nampak keranjang tertutup mengapung-apung, ikut hanyut bersama derasnya aliran air sungai. Dari situlah suara tangisan bayi itu berasal. Tanganku cepat meraihnya, memindahkannya ke tempat kering. Perlahan, aku membuka tutup keranjang.

Orang-orang berkata, sekuat apapun seseorang, pasti suatu saat akan ada satu hal yang membuatnya runtuh. Hari ini, malam ini, aku menemukannya. Air mataku mengalir begitu saja. Berjatuhan membasahi keranjang anyaman di depanku.

Lihatlah. Bayi ini kurus sekali. Entah sudah berapa hari ia terombang-ambing di keranjang yang gelap dan lembab. Suara tangisannya lemah. Sangat lemah, nyaris seperti suara bayi kucing menguik. Tidak seperti bayi pada umumnya yang gemar menggerak-gerakkan tangan dan kakinya di udara, bayi ini diam saja. Seperti kehabisan tenaga. Matanya kuyu, nyaris menutup. Aku memeluk keranjang itu, berlari membawanya ke tempat Azre dan dua bayi lainnya. Tidak peduli jika temanku yang senang mengejek itu melihatku menangis.

Azre tidak banyak bicara melihatku berlari memeluk keranjang itu. Sorot matanya terlihat sedih saat menatap isi keranjang itu, namun tangannya tetap sigap bekerja. Bayi itu tidak mau – lebih tepatnya tidak bisa membuka mulut saat Azre menyuapinya susu. Makhluk mungil ini benar-benar sedang berada di titik terakhirnya.

Azre lembut membuka bibir bayi itu, menahannya sedikit agar tidak segera tertutup. Ia menyuruhku memangku bayi itu, mengangkat kepalanya sedikit agar tidak tersedak. Azre super hati-hati mencoba menyuapinya sedikit demi sedikit, dengan aku memangku bayi itu. Dua bayi lain yang diletakkan Azre di atas pohon tumbang juga tidak rewel. Mereka diam, memperhatikan.

(Satu kata : ironi. Ayolah, dua anak yang bahkan tidak mengenal bocah ini sama sekali justru mampu mengurusnya sedemikian rupa. Berjuang memberikan kehidupan untuknya. Di mana orang tuanya yang sudah mengenalnya sejak sembilan bulan di dalam kandungan, tambahkan tiga bulan sejak bocah ini lahir? Di mana?)

Tiga puluh menit, akhirnya bayi itu bersendawa. Wajahnya terlihat sedikit lebih cerah, kemerah-merahan. Tidak lagi pucat dan kuyu. Aku tersenyum menatapnya. Sementara Azre, ia iseng memeriksa isi keranjang.

"Samsul."

"Siapa?"

"Nama bayi ini. Ada kertas bertuliskan namanya di dalam keranjang." Azre menunjukkan kertas kecil bertuliskan "Samsul".

"Itu berarti... orang tuanya sengaja menghanyutkannya..."

"Tentu saja. Mana ada logikanya bayi dihanyutkan di dalam keranjang karena tidak sengaja?"

Benar juga. Aku menatap lagi bayi Samsul yang mulai menguap di pangkuanku. Bersiap-siap hendak tidur.

Aku meletakkannya di atas tumpukan dedaunan lebar yang sempat kusiapkan sebelum membuat api unggun, membaringkannya di sebelah dua bayi lain. Membungkus ketiganya dengan selimut. Jika situasinya berbeda, sebenarnya mereka terlihat menggemaskan. Hanya saja, ketiganya sudah yatim piatu, ditemukan setelah penyegelan Herobrine, dan entah bagaimana aku dapat merawat mereka sekarang.

Azre ikut menatap tiga makhluk kecil yang mulai terlelap itu. "Jadi, apa yang tadi hendak kau katakan, Gen?"

"Ah, tidak... bukan apa-apa. Hanya saja, kini, ada tiga anak yang harus – dan tentu saja akan kuurus... apa.. apa aku dapat melakukannya?" (Terlepas dari gelar Clover yang ia dapatkan di usia sangat muda, juga berbagai pertempuran yang ia lalui, ia tetap anak laki-laki berusia tiga belas tahun. Usia di mana seharusnya ia bermain dan belajar bersama banyak teman, bukan menyelamatkan dunia, dibenci banyak orang, dan mengucilkan diri bersama tiga anak kecil dan seorang teman... he's really a strong boy. Duh, author jadi mellow ;(()

Azre terdiam. Tidak langsung menjawab atau mengolok seperti biasanya. Sebaliknya, ia mengusap kepala bayi-bayi kecil di depannya. "Bayi-bayi ini, Gen... Jujur saja, aku tidak terlalu suka anak kecil, mereka berisik. Dua puluh jam yang lalu, aku bahkan tidak yakin apa kau benar-benar dapat mengurus Marvel. Kemudian, dengan cepat kau menemukan Peppey. Lalu Samsul... Apa tidak sebaiknya kita membuka panti asuhan, Gen?"

Demi kalimat terakhir, kali ini aku benar-benar menimpuknya dengan setumpuk daun kering di sebelahku. Tidak lucu.

"Yaa yaa, Gen, aku tahu... meski aku sama sekali tidak punya ide tentang mengurus tiga bocah ini, setidaknya ada satu hal yang aku tahu pasti sejak pertama kali melihatmu menggendong Marvel di depan jendela rumah Spade..." Azre memutus kalimatnya sejenak, tidak segera melanjutkannya.

"Bayi-bayi ini... mereka mempercayaimu, Gen. Meski aku menertawaimu saat kau bilang akan jadi ayah yang baik untuk mereka, aku tahu mereka akan percaya. Tatapan mereka saat kau menatapnya penuh kasih sayang, aku bisa melihatnya... kau telah mendapatkan kepercayaan mereka, Gen. Itu mahal sekali."

Aku terdiam. Benarkah? Bayi-bayi ini mempercayaiku? Mungkin benar. Mereka tidak pernah rewel atau berontak saat kupegang.

"Maka cukuplah dengan kepercayaan itu, Gen. Tugasmu hanya menjaganya baik-baik. Tidak lebih, tidak kurang. Hanya itu," lanjutnya.

Aku tersenyum menatap bayi-bayi itu. Kata-kata Azre tidak ada salahnya (Bahkan author pun ikut kehabisan kata-kata, hueh D:).

"Benar juga. Makasih Zre," ujarku, "Tumben-tumben kau bisa bijak begini? Kau salah makan ya?"

"Ngawurmu salah makan!" Azre melempariku dengan dedaunan kering, membalas perbuatanku sebelumnya. Aku tertawa, berkelit menghindar dari hujan dedaunan Azre. Jangan sampai ia melempar dedaunan itu dengan kekuatan kinetiknya, bisa-bisa aku terkubur di bawah tumpukan daun.

(Sungguh, itu tawa pertamanya sejak insiden penyegelan. Senang melihatnya berkejaran dengan Azre, saling lempar-melempar dedaunan kering. Bayi-bayi yang sudah tertidur itu ikut tersenyum dalam tidurnya, seolah ikut senang melihat "ayah" mereka tertawa).

Arc Pertemuan Pertama resmi selesai.

Berlanjut ke arc berikutnya : Spadia, Sebuah Pulau, Sebuah Keluarga.

Ditunggu! :D

Cerita Papa - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang