Chapter 5 - Papa

1.4K 164 21
                                    

 Hari-hari bergerak cepat membentuk minggu. Minggu-minggu menyulam bulan, membuat waktu berjalan tanpa terasa. Orang-orang berkata, waktu berjalan cepat saat kita bahagia.

Tiga bulan berlalu dengan cepat di Pulau Spadia. Sebulan pertama, aku dan Azre lebih banyak menghabiskan waktu membangun pondok tempat tinggal di tengah pulau. Bulan kedua, aku mencoba bertani, menanam kebun kecil di belakang rumah. Setidaknya agar kami tidak perlu selalu berburu. Azre semakin sering pergi memancing, untuk kemudian hasilnya dijual ke pasar di dekat dermaga Vermillion. Aku pernah bertanya mengapa ia tak menggunakan kekuatan kinetiknya saja untuk mengangkat ikan-ikan. Untuk seseorang yang pernah mengangkat sebuah pulau sendirian, tentu mengangkat ikan-ikan adalah hal yang mudah.

Azre hanya menggeleng, "Itu bisa merusak keseimbangan laut, Gen." Begitu katanya. Aku terdiam. Mungkin memancing membuatnya lebih bijak.

Bulan ketiga, tepat saat usia ketiga bayi kami enam bulan. Mereka mulai cerewet, ribut berceloteh dan berguling-guling sepanjang hari. Aku senang membawa mereka di kereta bayi untuk berjalan-jalan setiap sore. Peppey semakin jahil kepada Samsul – meski sekarang Samsul sudah pandai menghindar, berguling. Bahkan sudah bisa balas menjahili Peppey.

Namun, sore itu, ada satu peristiwa luar biasa. Peristiwa yang tak akan kulupakan seumur hidupku. Peristiwa yang menyiram habis sisa-sisa rasa sedihku atas kejadian penyegelan Herobrine tiga bulan yang lalu. Walau kejadian itu sudah banyak kulupakan karena kesibukan mengurus tiga bocah ini, tentu masih ada waktu di mana perasaan bersalah itu datang menyerang. Perasaan bersalah atas meninggalkan Spade dan Heart sewaktu penyegelan.

Itu sore lainnya di Spadia. Angin sore berembus menyenangkan, meniup dedaunan. Cahaya matahari indah memantul di lautan. Azre tengah menyiapkan makan malam di depan pondok, sedangkan aku baru saja selesai memandikan bocah-bocah ini. Mereka – seperti biasa, ramai berceloteh, sibuk menjahili satu sama lain. Aku tersenyum melihat Peppey dan Samsul yang sudah rapi dalam pakaian tidurnya (Azre membelikan kami baju baru dari hasilnya menjual ikan). Tinggal Marvel, rambut ungunya yang kian melebat masih berantakan.

Sama seperti dua bayi lainnya, tiap kali aku selesai merapikan rambut mereka, aku senang mengangkat mereka tinggi-tinggi, membuat mereka tergelak senang. Begitu juga dengan Marvel. Bocah ungu itu tertawa senang, kemudian tersenyum. Menatapku dengan mata hijaunya yang berkilat di bawah cahaya lampu kamar. Bibir mungilnya bergerak-gerak, seperti berusaha mengucapkan sesuatu.

"Pa... pa.. Papa!"

Aku tertegun. Apa yang baru saja dia bilang?

"Pa, pa... Papa!"

Jantungku seperti berhenti berdetak mendengarnya. Bayi ini... memanggilku? Menyebutku Papa? Aku balas menatap mata hijaunya lamat-lamat. Bayi itu masih tersenyum menatapku. Aku menurunkan sedikit tanganku, membuatku berhadap-hadapan dengannya.

Perasaan ini. Senang. Bangga. Haru. Hatiku seakan buncah oleh berbagai macam perasaan. Sulit didefinisikan. Air mataku mengalir deras. Tak terbendung. Namun kali ini, air mata itu mengalir bersamaan dengan senyum lebar yang mengukir wajahku. Aku tertawa sambil menangis. Aku memeluk bayi itu erat-erat, membiarkan rambutnya yang sudah rapi basah kembali oleh air mata.

Tiga bulan terakhir, aku memutuskan untuk benar-benar mengurus bayi-bayi ini sepenuh hati. Melupakan sejenak pertanyaan Azre soal bagaimana jika mereka bertanya tentang orang tua mereka. Melupakan sejenak segala rasa sedih dan ragu di hati.

Dan sekarang, lihatlah! Bayi kecil di hadapanku baru saja memanggilku Papa. Entah dari mana ia mempelajari kata itu. Selama ini, aku selalu menyebut diriku "aku" di hadapan mereka. Tidak pernah lagi membahas soal "ayah" maupun "papa" di depan mereka. Dan bayi ini mudah saja menganggapku, anak tiga belas tahun, sebagai Papanya.

"Papa! Pa,pa!" bayi itu menyentuh hidungku dengan jari telunjuknya. Seolah hendak menegaskan bahwa "Papa" yang ia maksud adalah aku.

"Iya. Ini Papa. Terima kasih sudah memanggilku begitu, Marvel," aku mendekapnya lebih erat. Mengakui identitas "Papa" yang baru saja anak ini berikan kepadaku.

Namaku Genah. Usiaku tiga belas tahun. Aku tinggal di pulau ini bersama Azre, sahabatku, dan tiga bayi. Dan aku bangga menyebut diriku sebagai Papa dari tiga anak : Marvel, Samsul, dan Peppey.


Yeyey, just a short chapt today! Meski pendek, buutt I hope you enjoy this chapt, hehe

Sooo how's this chapt? :D

Mulai sekarang, aku up tiap hari yaa, soalnya chapt nya udah numpuk, hehe :D

Cerita Papa - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang