Ariyana's POV
Aku memperhatikan suster yang kembali masuk ke ruanganku. Ia menggigit bibirnya. Aku tersenyum kecil karenanya.
"Tampaknya aku benar, itu adalah dia bukan? Apa kau menyampaikan pesanku?"
"Aku menyampaikan pesanmu dengan baik." ujarnya berusaha tersenyum. Ada rasa penyesalan yang aku dengar di ujung kalimatnya.
"Nampaknya, kau berbohong kepadaku."
"Maafkan aku, Ariyana." Suster itu menundukkan kepalanya, dia merasa bersalah karena berbohong kepadaku.
"Aku hanya ingin kau jujur!" tegasku.
Dia terdiam cukup lama, menghela nafas sembari menungguku berbicara.
"Ceritakanlah atau aku tidak akan berbicara kepadamu juga kepada siapapun lagi."
"Baik, aku akan menceritakannya."
"Tapi, aku harap jangan sampai kau kehilangan kesadaran karena ini." ucapnya sembari memainkan jari tangannya.
"Tidak akan." Sekali lagi aku melihatnya tampak cemas. Ia menutup matanya, menghela nafas, dan menceritakan semuanya secara detail kepadaku kejadian saat ia menemui Rain tadi.
"Kau tahu bukan, akibat dari semua itu?"
"Aku tahu, tapi,-"
"Kau ingin semua yang kau katakan padanya benar-benar terjadi?" Ia hanya menggeleng menjawabku.
Aku mencoba meredam amarah dan air mata yang hampir keluar. Berkali-kali aku menghela nafas dan menutup mata. "Aku,-" "huff, berikanlah alasanmu." ucapku.
"Aku tidak ingin kejadian di taman kembali terulang, Ariyana."
"Aku mengerti, kau cemas dengan kondisiku. Secara tidak langsung, kau juga harus mencemaskan dirimu sendiri bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Siapa yang akan di salahkan jika aku sakit, terluka atau bahkan meninggal?"
"Aku?" tanyanya. Kemudian ia tersadar akan sesuatu.
"Hei, Ariyana!! Kau sudah aku anggap adik. Aku sudah memikirkan mana yang lebih besar manfaat dibanding mudharat. Jika aku jujur kepadanya, maka sesuatu yang buruk akan menimpamu."
"Aku tidak bisa menahannya lagi. Kau berbicara seolah-olah lebih tahu dari Tuhan."
"Kau tahu, kejujuran itu sangat mahal maka konsekuensinya harus menahan rasa sakit. Sementara kebohongan itu sangat murah, konsekuensinya hanya akan membuatmu bahagia sementara."
"Aku benci mengatakan ini kepadamu. Pergilah, aku hanya ingin sendiri." Aku tidak ingin menangis dihadapannya, aku menghapus air mataku.
"Tidak akan, Ariyana."
"Kalau begitu permisi" Ia menghalangi jalanku, tidak bisa membiarkan aku pergi.
Aku menatapnya, "Kak, biarkan aku sendiri."
Dia cukup terkejut mendengarku. "Kau,-" aku menyelanya dengan cepat. "Aku mohon padamu."
"Tapi,-"
"Kak, aku mohon padamu." Ia menghela nafas sebentar kemudian memberi aku jalan.
***
Lorong Rumah Sakit
Rain's POVBerjalan sendirian dilorong ini, aku kira dapat menenangkan pikiranku namun, "Semakin lama aku memikirnya, ini membuatku frustasi. Aku hanya ingin meminta maaf secara langsung kepadanya, apa itu salah?" Aku hanya bisa bergumam.
YOU ARE READING
Leave me Rain
General FictionSeorang gadis kecil dijauhi oleh teman-temannya hanya karena ia memakai hijab dengan tujuan agar ia dapat menjalankan syariat Islam dengan benar. Ia sudah tahu bahwa hijab dapat menjauhkannya dari godaan dunia. Saat itulah ujian demi ujian mulai men...