4th Aroma

3 1 0
                                    

Di dunia ini terdapat berbagai macam sifat dan karakter manusia. Ada yang supel, sombong, humoris, perfeksionis, pendendam, pemalu, periang, pendiam, dan masih banyak lagi. Katakanlah aku ini orang yang supel atau mudah bergaul. Aku dapat dengan mudahnya bergaul dengan berbagai macam orang, walaupun tidak jarang juga aku menemukan orang yang rasanya ingin aku musnahkan dari muka bumi. Tapi, se supel-supel nya aku, aku tidak pernah menceritakan rahasia besarku kepada siapapun, ataupun menerima tawaran apapun dari orang asing.

Terus, aku kenapa? aku kenapa?!

Itu adalah pertanyaan dengan nada frustasi yang selalu terputar di kepalaku saat aku berada di dalam mobil SUV berbadan besar milik si pria asing itu. Pria itu sedang menyetir dengan santai dan lihai di tengah keramaian jalan, tanpa memedulikan aku yang kini tengah berkutat dengan pikiranku sendiri.

Aku tidak habis pikir kenapa tadi bisa-bisanya aku menceritakan kepadanya rahasia besarku. Padahal jika dipikir-pikir lagi, siapa yang tahu sebenarnya si pria ini jahat atau tidak? Bisa saja, kan, dia hanya mengarang cerita tentang mantannya dan bermulut manis untuk menarik simpati lawan bicaranya?

"Setelah ini ke arah mana?" tanyanya saat mobil berhenti perlahan karena lampu lalu lintas berwarna merah.

Aku tidak langsung menjawab. Aku menatapnya dengan tatapan waspada saat ia menoleh ke arahku. Ia awalnya bingung dengan ekspresi wajahku—yang mana aku tidak tahu wajahku jadi sejelek apa—lalu terkekeh kecil. "Kenapa jadi bersikap defensif lagi?"

"Karena," Aku berdeham singkat. "Tidak seharusnya saya langsung percaya sama kamu."

"Apa yang salah dari itu?"

Dia bodoh atau gimana? Apa ia tidak diajarkan oleh orang tuanya sewaktu kecil bahwa kita tidak boleh sembarangan nerima ajakan orang asing meskipun diberi permen paling enak dan mahal sedunia?

Yah, meskipun diajarkan juga bukan berarti akan selalu menaatinya, sih. Contohnya saja aku saat ini.

"Banyak!" Tanpa sadar nada bicaraku mulai ngegas. Aku menyipitkan mata saat bertanya, "Kamu penipu?"

Ia tersenyum miring. Sepertinya ia menikmati kekonyolanku. Tangannya diarahkan ke dagunya, menampilkan ekspresi sedang berpikir. "Well, kalau iya kenapa? Toh, kamu sudah berada di dalam mobil saya," jawabnya enteng sambil mengunci mobilnya yang ternyata tadi lupa ia kunci, tanpa peduli aku yang sudah separno apa.

Aku semakin melotot mendengar kuncian mobil. Aku sudah tidak peduli dengan eskpresi wajahku. Mungkin saat ini wajahku sudah merah menahan amarah. Dan takut juga, sih.

Saat aku bersiap untuk membuka kaca jendela mobil dan teriak senyaring-nyaringnya, tiba-tiba saja ia tertawa. Lalu ia kembali menghadap ke depan. Tangan kirinya pun sudah bersiap untuk mengganti persneling saat angka di atas lampu lalu lintas sudah menghitung mundur dari angka sepuluh.

"Jadi, arah mana?"

Ia bertanya sekali lagi dengan sisa-sisa tawa di akhir kalimatnya. Aku kembali terdiam dan berpikir cepat, lalu kuputuskan untuk menjawab jujur sebelum ia sungguh membawaku ngalor-ngidul dan tidak memulangkanku. "Lurus saja."

"Sudah tidak takut?" Ia bertanya sesaat setelah menjalankan mobilnya perlahan. Aku mendengus mendengar pertanyaannya dan tidak menjawab lagi.

"Lagipula kamu cukup konyol. Kamu sudah dewasa, punya latar belakang yang sepertinya cukup bagus, dan bisa mengkalkulasikan baik-buruknya suatu pilihan. Tapi, masih takut diculik?"

Aftertaste [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang