"Sudah makan malam, Kak?"
Ibu langsung bertanya sesaat setelah aku merebahkan diriku di atas sofa panjang di ruang keluarga. Aku menutup mataku, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum, Bu."
"Kok belum makan, sih? Tadi enggak mampir buat makan malam dulu? Ini sudah malam banget loh, Kak."
Ibu mulai bertanya dengan beruntun dalam 1 tarikan nafas.
"Enggak, Bu. Hehehe."
"Terus tadi kemana dulu, kok, baru pulang sekarang?"
"Ke café, Bu. Biasalah, nongkrong ala anak muda."
"Oh, sama cowok tadi, ya."
Aku langsung membuka mataku lebar-lebar dan mendapati Ibu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ibu masih berdiri di samping sofa dengan tatapannya yang terarah padaku. Wajahnya menampilkan senyuman lebar. "Siapa namanya, Kak?"
Nah, itu dia.
Aku terdiam dan baru menyadari bahwa kami tidak ada saling memberi tahukan nama masing-masing. Dan seperti melihat wajahku yang mungkin sudah berubah menjadi wajah terjelek sepanjang masa, dengan sangat bingung ibu kembali bertanya, "Siapa namanya?"
"Emang kenapa, sih, Bu? Kepo aja," jawabku untuk menghindari pertanyaan Ibu.
"Gak papa, dong, kalau Ibu tahu? Masa Ibu gak boleh tahu nama teman anaknya Ibu sendiri?"
"Dia bukan temanku."
"Oh, sudah pacaran ya ternyata?"
"Ibu!"
"Kok nadamu tinggi??"
Aku menghela nafas panjang. Sebuah kesalahan bahwa aku tidak langsung masuk ke kamarku saja tadi. Kalau sudah begini, Ibu tidak akan melepaskanku dengan mudah.
"Nanti aja, ya, Bu, aku cerita. Sekarang aku ngantuk, mau tidur," ucapku seraya segera bangkit dari sofa dan bersiap kabur.
"Dasar. Inget ya, Kak. Ibu gak suka kalau kamu pacaran backstreet!"
"Ibu aja dulu pernah backstreet, masa aku gak boleh?"
Sebelum Ibu berhasil menangkapku, aku segera pergi dengan tawa menggema di ruangan. Aku yakin di luar sana Ibu pasti sedang memikirkan segala kemungkinan untuk menebak-nebak apa hubunganku dengan pria yang aku tidak tahu namanya itu.
Saat aku pikir Ibu akan membiarkanku beristirahat dengan tenang di kamar, dugaanku salah. Ternyata Ibu sungguh tidak melepaskanku begitu saja. Melihatku yang sedang membersihkan wajah dengan micellar water di meja rias, Ibu memilih untuk duduk di tepi tempat tidur seraya memandangku lurus. Tak tahan dengan tatapan itu, aku pun berbalik, dengan masih mengusap kapas ke wajah, dan bertanya, "Apa, sih, Ibu?"
Ibu tersenyum mendengar rengekanku yang sarat akan permohonan agar Ibu tidak kembali bertanya macam-macam. "Sini, duduk di sebelah Ibu," panggilnya seraya menepuk-nepuk tempat tidur. Aku pun hanya bisa menghela nafas, meletakkan kapas, lalu menghampiri Ibu untuk kemudian duduk selonjoroan di sebelahnya.
"Capek?"
"Kayaknya malah aneh kalo aku gak capek, deh, Bu," jawabku nyengir.
Ibu mengangguk mengerti. Ibu menggeser kakiku agar merapat ke sisinya, lalu dengan jemarinya yang terlihat mulai keriput, Ibu memijat pelan kakiku. Senyuman masih mengembang di wajahnya. Tatapan matanya pun lembut, walau Ibu memang lebih sering marah-marah. Beliau memang jutek dan senang sekali ngomel. Tapi, aku tidak bisa melihat kelemahan Ibu, karena bagiku Ibu itu sempurna. Aku bahkan tidak akan pernah bisa mengejarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aftertaste [ON HOLD]
General FictionNew Version of Nonversation. Aftertaste; I'll leave you with the memory. Rachela Gayatri, seorang wanita berusia 25 tahun, baru saja putus dengan pacar tujuh tahunnya, Daffa Abinaya. Sakit hati yang dirasakannya membuat ia ingin menyendiri dengan pe...