Ingatanku berakhir di sana. Saat aku meninggalkan Daffa yang kerap memanggilku dan aku pergi menjauh, kembali pulang ke rumah yang entah bagaimana caranya itu. Panggilan orang tuaku yang cemas pun tidak aku gubris hingga mereka membiarkanku tenggelam di dalam kegelapan kamar.
Aku mendongak untuk kembali menatap pria di hadapanku, yang menjadi teman berbincangku selama puluhan menit kebelakang. Tidak semua kisahku aku ceritakan tentu saja. Aku masih menyalakan radar awasku agar tidak terjebak dalam permainannya.
"Tentu saja bukan salahmu," katanya menanggapi ceritaku. "Pria seperti itu memang lebih baik dilepaskan. Tapi jika saya jadi kamu, setidaknya saya akan meninggalkan tamparan atau tinjuan di wajahnya dengan keras."
Aku mendengus mendengarnya, tapi tidak urung menyetujui ucapannya yang sangat masuk akal itu. Meskipun, yah, harus aku akui aku pasti tidak akan pernah bisa tega kepada Daffa untuk menyakitinya, setidaknya secara fisik. Wajahnya itu... sangat sayang untuk dihajar.
Baiklah, silahkan tertawakan aku yang masih bisa memuja mantan-pacar-kurang-ajar ku itu.
Tapi, dia memang sebaik dan selembut itu...
Dulu.
"Seharusnya saya memang melakukan itu. Setidaknya saya harus membuat lebam di wajahnya sulit ditutupi di hari pernikahannya sendiri."
Rasa amarah dan kecewa itu datang lagi. Kedua rasa itu baru bisa aku rasakan setelah semalaman menangisi putusnya hubungan kami yang dimana tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Saat ini pun aku kembali tidak tahu mana yang lebih dominan di antara keduanya, yang pasti kini aku mual membayangkan bagaimana rasa sakit hati itu kembali timbul. Terutama karena undangan pernikahannya yang tiba hanya beberapa hari setelah putusnya hubungan kami. Seakan-akan mereka telah lama memiliki hubungan hingga tidak aneh apabila tidak lama lagi mereka akan menikah.
Hell, kami pacaran 7 tahun, tetapi dia malah menikahi perempuan lain, yang bahkan surat undangannya tiba di tanganku tak lama setelah kami putus.
Kini aku mengerti bahwa perasaan yang sedang aku rasakan adalah amarah yang luar biasa.
"Dia akan menikah?" tanya pria di hadapanku dengan cukup kaget. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku akan ditinggal menikah tidak lama setelah hubungan kami berakhir.
Yah, aku pun begitu. Aku malah mengira aku lah yang suatu saat nanti akan menikah dengannya.
"Karena itulah saya berada di sini. Mereka akan segera menikah dan saya... entahlah. Saya sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya saya rasakan dan inginkan."
"Oh, astaga hah – saya tidak tertawa, kok. Sungguh," ujarnya saat aku memelototinya dengan kesal. Aku yakin pria di hadapanku ini akan melanjutkan tawanya seandainya saja aku tidak memperingatinya melalui tatapanku.
"Saya harap kamu sudah tidak mencintainya," ucapnya yang entah kenapa terdengar tulus.
"Saya juga berharap demikian."
Aku menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapanku pada gelas kardus berisi sisa hot chocolate di depanku dan mulai menerawang. "Tapi, setelah sekian lama bersama, saya rasa tidak akan mudah melupakannya begitu saja. Meskipun saya sangat sakit hari dan marah."
Hening kembali melanda. Kulirik jam tanganku. Sekarang sudah pukul 20.35. Lalu aku melirik pria di hadapanku yang ternyata sedang menatap hampa ke udara hingga ia tidak sadar bahwa aku kembali menatapnya. Aku pun menjetikkan jariku di depan wajahnya dan itu berhasil membuatnya tertarik dari lamunannya.
"Saya akui melupakan seseorang yang telah lama bersama dengan kita memang sulit," ujarnya dengan sedikit menaikkan bahu. Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Seseorang yang saya cintai pun tidak memilih saya sebagai pendamping hidupnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Aftertaste [ON HOLD]
General FictionNew Version of Nonversation. Aftertaste; I'll leave you with the memory. Rachela Gayatri, seorang wanita berusia 25 tahun, baru saja putus dengan pacar tujuh tahunnya, Daffa Abinaya. Sakit hati yang dirasakannya membuat ia ingin menyendiri dengan pe...