BAB 4

31 3 0
                                    

"GUS Maher, bukan?"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara medok dari balik punggung Maher yang tengah merapikan barang-barang bawaan ke dalam lemari kayu di hadapannya. Sontak laki-laki berbaju kurta merah bata itu menoleh untuk mengetahui siapa gerangan yang menyapanya. Jarak Tangerang—Surabaya tidaklah dekat. Bagaimana mungkin ada yang masih bisa mengenali dirinya meskipun setelah menempuh jarak bermil-mil itu?

Seorang laki-laki dengan rambut klimis belah pinggir menatapnya dengan canggung. Sebuah senyum sopan terukir di bibirnya yang merah muda, sangat kontras dengan kulitnya yang cerah. Sepertinya, laki-laki itu termasuk golongan yang tidak pernah merokok, seperti dirinya—sekarang.

"Masnya kenal saya?" Akhirnya Maher angkat bicara.

Laki-laki berkemeja kotak-kotak abu-abu itu mengangguk antusias.

"Saya sering mendengarkan ceramah Almarhum Kiai Imam di channel YouTube," jawab laki-laki itu bersemangat. "Pernah suatu kali, Gus Maher muncul di salah satu video yang saya tonton. Saat itu mungkin masih seusia SMP. Masih remaja, dan belum setinggi Gus Maher yang sekarang ini."

Maher menanggapi ceritanya dengan senyum kikuk. Ia sudah susah-susah menjauh dari pesantren agar tidak ada lagi yang memanggil begitu, malah masih ada saja yang mengenalinya di tempat ini. Bukan apa-apa. Ia hanya merasa kurang pantas dengan panggilan "gus" itu karena ilmunya yang tidak seberapa jika dibandingkan sang kakak atau pun anak-anak kiai lain yang dikenalnya.

"Tadi awalnya saya ragu, takut salah panggil. Tapi, pas lihat papan nama kecil yang terpasang di lemari itu, saya jadi agak yakin kalau njenengan beneran Gus Maher," lanjutnya.

Maher meringis sembari menoleh ke arah papan nama kecil dari kertas laminating yang tertempel di lemarinya. "Eee .... Anu, Mas. Bisa langsung panggil nama saja, enggak?"

"Woh, ya mana saya berani?" responsnya cepat sembari melambai-lambaikan tangannya ke udara.

"Meskipun saya yang minta?"

Laki-laki itu mengangguk mantap. "Sekali Gus, ya, tetap Gus."

Maher mengangguk-angguk sembari menggigit bibirnya.

"Terserah Masnya sajalah," ucapnya pasrah sembari melayangkan senyum untuk tetap menjaga keramahannya kepada seseorang yang baru pertama kali ia temui itu.

"Nama saya Zayyan, Gus, dari Sleman, Jogja. Lemari saya di pojokan dekat pintu keluar itu," tunjuk laki-laki yang sepertinya berusia tidak jauh dari Maher itu ke arah lemari kayu yang masih terbuka.

"Mas Zayyan belum selesai juga beres-beresnya?"

"Iya, Gus. Belum. Tadi sebenarnya kita berdua barengan keluarnya dari tempat daftar ulang di depan. Cuman, sepertinya Gus Maher ndak lihat saya." Seseorang bernama Zayyan itu meringis. "Dan ndak usah panggil saya Mas, Gus. Zayyan saja."

"Kalau begitu, panggil saya Maher saja, ya? Bagaimana? Satu sama, kan?"

"Ouuh ...." Laki-laki itu lagi-lagi mengibaskan-ngibaskan tangan di depan wajahnya sendiri. "Ya, ndak sopan, to?"

"Lagi pula, selain Mas Zayyan, di sini enggak ada lagi yang tahu kalau saya anak kiai. Dan saya memang sebenarnya punya keinginan seperti itu. Saya ingin dianggap orang biasa saja, tanpa embel-embel gus dan semacamnya, selama berada di sini," terang Maher pelan, takut beberapa pemuda yang baru saja melintasi pintu di ujung mendengar percakapan mereka. "Jadi, Mas Zayyan mau, kan, membantu saya?"

Zayyan menatap Maher dengan tatapan bimbang. Setelah menimbang-nimbang sebentar, akhirnya ia mulai mencoba untuk menggerak-gerakkan bibirnya, menyebut nama Maher. Akan tetapi, tidak ada suara yang keluar sehingga ia jadi tampak megap-megap mirip ikan yang tengah berenang di dalam akuarium.

Too Good To Be True (But It's True) - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang