Part 1 - Chapter Two

2 0 0
                                    

Rabu, 18 Oktober 2006, Yogyakarta

Aku menuju ke desa dimana tempat kerjaku berada yakni Penakmawon, dekat  dengan jalan tol besar. Aku diantar ke sana menggunakan motor bebek.

"Anak Pak Mukhlis kah?" tanya Pak Sutris, kepala RT desa.
"Nggih pak."
"Ganteng banget, ngalahin bapaknya, tegar pula, cocok jadi perwira ini mah."
Pak Sutris ini seorang bapak bapak paruh baya yang sangat gaul. Gimana nggak, selera musiknya pop dan motor yang ia kendarai berupa Yamaha Y125.

"Panggah mas." Sapa Bli Wayan ke Pak Sutris
"Om swastiastu, bli Wayan."
Pak Wayan, salah seorang petugas administrasi desa Penakmawon, sosok yang terkenal sangat lembut dan ramah terutama terhadap para pemuda di desa.
"Keluhan Ibu Retno soal pompa air kemarin itu sudah tak suruh Pak Wir yang cek."
"Nuwun , Bli. Eh, perkenalkan, ada penerus Jay Chou nih, bli, anak nya Pak Mukhlis, baru dateng dari Tangerang."
"Om swastiastu, Pak Wayan."
"Tampan sekali, pas bapak semuda kamu pengen seganteng kamu, kalah di perawatan aja." Ujar Pak Wayan.

"Haduh, istri ngomel lagi soal pisang ama sawi, pertamax udah tujuh rebu ae, spul kendor lagi!" Ujar Mang Boris, yang terkenal agak ketus dan dianggap menyeramkan oleh anak muda di desa.
"Mang Boris, perkenalkan, pangeran asal Tangerang, Calon kepala desa selanjutnya, Mas Adam!"
Mang Boris menatapku tanpa berkata selama satu menit dan tampak sangat takut lalu menyapaku dengan sedikit canggung.

"Pasti kebanyakan hirup nitrogen itu Mang Boris."
Pak Sutris mengantarkanku ke tempat tinggalku dimana aku akan tinggal dengan keluarga Mbah Iin.
"Nggih bu, ini anak sulungnya Pak Mukhlis, Komandan TNI AD itu sing jaga desa sepuluh tahun lalu."
"Monggo, monggo"
Mbah Iin berusia 78 tahun, memiliki tiga anak, yakni dua orang putri, Kak Ava, Kak Intan dan seorang putra, Mas Adam.

"Adam satu, adam dua." Gurau kak Intan.
Kak Intan ini terlihat sangat menggugah semangat pria muda, Ia sangat rupawan bak peragawati majalah mode dengan rambut hitam legam berponi tipis, bentuk tubuh yang ramping dan kulit yang bersih.
Beliau sedang bekerja di sebuah toko pakaian di tengah kota.

"Salken, bro, Adam juga ya?" Sapa mas Adam. Perawakannya kekar, tubuhnya fit , janggut tertata rapih ia mirip sekali dengan pemain film. Saat ini ia memiliki dan mengurus bengkel di dekat daerah alun-alun, dan memiliki motor berjenis cruiser yang gagah.

"Intan, TV-nya ini gimana ini?" Tanya kak Ava, anak tertua nya mbah Iin. Satu satunya dari mereka bertiga yang sedang menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki yakni Wahyu dan Acep.

"Wes banyak duitnya ini orang." Tukau Wahyu sambil menggambil dompetku dari kantung belakangku.

"Anak bandel! Kembaliin itu dompetnya mas Adam!"
"Hehe lumayan ini buat mainan ama permen!" Ucap Acep.

"Rapopo bu, duitku sisa sedikit ntar ibu bapak ngirim uang lagi."
"Yaudah tidur dulu gih, jangan ampe ngantuk besok pas mau kerja."
"Iya, kak."
Siapa yang bisa tidur nyenyak kalau serumah ama kak Intan dan Kak Ava.

"Mang boris kenapa sih?"
"Ndak, anu, itu pak, si Mas Adam itu, matanya mengerikan. Tatapannya kosong."
"Kebanyakan nonton Kera Sakti ama Exorcist ente."
"Pak Mukhlis ndak ada sejarah pernah melakukan KDRT atau sejenisnya?"
"Ndak ada lah pak, hahaha."

Kisah Pilu Di Desa PenakmawonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang