BAB 1 Manusia Silver

29 9 5
                                    

"Kamu yakin ingin menolak beasiswa ini?"

"Memangnya kenapa, Bu? Papa saya masih mampu untuk membayar biaya sekolah saya, kok. Berikan saja pada yang lebih membutuhkan."

Wali kelasku tampak tercengang mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Apa salahnya? Memang benar, bukan? Beasiswa atau pemotongan biaya sekolah atau apapun itu sebenarnya untuk orang-orang yang tidak mampu tapi memaksakan diri untuk bisa bersekolah di tempat yang bergengsi. Aku yang jelas-jelas dari keluarga berada tidak mungkin menerima hal itu. Apa wali kelasku tidak bisa melihat arloji yang melingkar di pergelangan tanganku? Padahal aku sudah berusaha menunjukkannya. Lihatlah kilauan berlian dari Chopard yang menawan ini! Harganya bahkan tidak bisa dibandingkan dengan biaya SPP sekolah per bulannya. Wali kelasku tampak tidak peduli pada arlojiku meski beliau sempat meliriknya tidak minat sekilas. Jangan-jangan beliau sama sekali tidak mengerti tentang brand? Hm ... aku menyangsikannya. Siapa yang tidak tahu tentang brand-brand di sekolah internasional ibukota ini? Teman-temanku sekali melihat saja langsung berdecak kagum, beberapa hingga mengerumuniku sibuk bertanya: bukankah ini keluaran terbaru? Limited edition? Berapa harganya? Dan masih banyak pertanyaan serupa yang membosankan.

"Jadi seperti itu pandanganmu terhadap beasiswa, ya? Beasiswa memang diperuntukkan untuk orang-orang yang kurang mampu. Namun tidak hanya sebatas itu. Beasiswa juga sebagai bentuk apresiasi dari yayasan terhadap siswa-siswanya yang berprestasi dan memang layak untuk dibanggakan." Penjelasannya ditutup dengan helaan napas panjang. Aku tetap bergeming di tempatku. Aku kan, sudah bilang aku tidak mau menerimanya, mengapa terus memaksa?

"Ya sudah, Ibu beri waktu seminggu untukmu memikirkannya baik-baik."

"Baik. Terima kasih, Bu." ujarku sebelum pamit melenggang keluar dari ruang guru.

Kemenanganku dalam OSN dan beberapa LKTI sepertinya sudah menarik perhatian ketua yayasan hingga beliau rela memberikanku beasiswa. Aku sangat berterima kasih atas niat baiknya itu tapi apa beliau tidak mengenal papaku? Papaku donatur utama yayasan ini! Mana mungkin aku menerimanya. Membiayaiku saja tidak cukup bagi Papa untuk menghamburkan uangnya apalagi jika aku menerima beasiswa itu. Mau dikemanakan lagi uang-uang itu?

Oh! Sejenak aku berpikir untuk menerima beasiswa itu saja agar biaya sekolahku dipakai untuk membelikanku Mini Cooper Cabrio. Namun belum sempat aku memikirkannya lebih lama, Celine dan Lis, kedua sahabatku, menyeretku untuk segera pergi ke kantin. Aku dan mereka menyerobot antrian untuk mendapatkan jatah makan siang lebih cepat tapi aku segera mendengus ketika melihat menu makan siang hari ini adalah Bacon alot yang penuh lemak.

"Setidaknya masaklah bacon ini dengan benar." dengusku kepada penjaga kantin sesaat setelah ia meletakkan beberapa bacon di nampanku.

"Apa yayasan mengorupsi uang donasi Papa? Apa uang donasinya kurang banyak? Mengapa menu kantin begini-begini saja?" Aku terus menggerutu sepanjang jalan menuju meja kantin.

"Astaga! Apakah ini edisi terbatas?"

Aku tersenyum ketika Celine bertanya akan hal itu. Ia pasti melihat arlojiku saat aku menyendokkan makanan ke mulut.

"Ini—

"Ah, bukan! Produk ini belum rilis tapi karena ibuku brand ambassador dari perusahaannya, kami mendapat sample produk satu set."

Baru saja aku hendak menjawab pertanyaan itu, Lis menjawabnya lebih dulu. Ketika aku benar-benar melihat mereka, ternyata apa yang mereka bicarakan adalah Bracelet yang dipakai oleh Lis. Lis memang mudah mendapatkan perhiasan, baju atau bahkan tas branded sebab ayahnya seorang pengusaha di bidang fashion, apalagi ibu dan kakaknya adalah brand ambassador CK. Pengikut Instagramnya juga sudah ratusan ribu walaupun aku yakin pasti para pengikut itu didapatkan dari teman-teman influencer dan relasi kedua orang tuanya. Ia tidak pandai modeling tuh, isi dari Instagramnya kebanyakan swafoto dan plang tempat-tempat mewah atau monumen-monumen iconic di berbagai negara yang ia kunjungi setiap liburan. Meski begitu aku akui dia sangat beruntung terlahir di keluarga entertainment dan memiliki banyak kenalan selebritis. Bisa dibilang hidupnya cukup sempurna.

"Irinya ... kau selalu memakai produk keluaran terbaru bahkan sebelum produk itu resmi dijual di pasaran. Andai aku sekaya dirimu."

"Tidak, ini biasa saja, kok." Lis berusaha rendah diri menanggapinya tapi aku tahu ia bangga dengan pujian—jika itu bisa dikatakan sebagai pujian—Celine lewat kedutan di sudut bibirnya saat ia menahan senyum.

Mereka membicarakan hal itu hingga waktu istirahat berakhir dan jam pelajaran dimulai. Lagi-lagi aku tidak bisa mengikuti pembicaraan mereka sebab aku harus mengajarkan rumus trigonometri selama pelajaran berlangsung. Mrs. Lauw, guru matematika kami cuti selama masa kehamilannya dan pihak sekolah sedang mencari pengganti Mrs. Lauw, karena itu untuk sementara waktu aku dan teman-teman yang beberapa waktu lalu mengikuti perlombaan OSN bergantian mengajarkan teman-teman sekelas yang lain sebab kami lebih dulu belajar materi ini saat masa pelatihan lomba. Kuharap mereka memahami apa yang aku ajarkan tanpa banyak bertanya. Untungnya semua berjalan dengan lancar hingga pelajaran terakhir.

"Kalian membicarakan apa, sih?! Seru sekali kelihatannya." sindirku pada kedua sahabatku yang masih saja cekikikan sambil saling merangkul di belakangku.

"Oh! Kami berencana untuk berbelanja ke ZARA setelah ini, Lis membawa black card kau mau ikut?" tanyanya.

Aku memutar bola mataku malas. "Tidak. Duluan saja. Have fun!" Sudah kuduga mereka merencanakannya tanpaku lagi. Jika saja aku tidak bertanya, mereka pasti tidak akan memberitahuku. Sementara keduanya telah pergi, aku memesan Gocar untuk pulang.

"Mbak Aster, ya?" Supir Gocar itu menyapa ramah. Aku masuk ke dalam mobil setelah mengangguk dan tersenyum kepadanya. Sudah seminggu ini aku tidak diantar-jemput oleh Pak Septo, supir pribadi keluarga. Papa juga akhir-akhir ini menyetir mobilnya sendiri. Entah sampai kapan Pak Septo pulang kampung. Aku merindukan setirannya yang handal mengendarai mobil BMW Papa. Yah, tapi naik Gocar juga tidak begitu buruk, sih.

Hal yang paling aku suka saat di perjalanan menuju rumah adalah memandangi pemandangan luar jendela mobil, melihat berbagai macam pepohonan di tepi jalan atau sekadar memerhatikan pengendara jalan. Terkadang aku bisa menatap takjub pada mobil Sport atau Porsche berwarna nyentrik yang nyasar di tengah macetnya ibukota, atau menahan tawa ketika melihat anak-anak SMA yang mengendarai motor sepulang sekolah dengan sepatu Jordan KW-nya. Namun dari semua itu yang paling menjadi favoritku adalah melihat anak-anak berlumuran cat silver yang selalu mengetuk setiap kaca mobil pengendara di lampu merah. Aku selalu menyelipkan uang sakuku yang masih tersisa dari sela-sela jendela mobil yang kubuka sedikit dan mereka selalu menerimanya dengan wajah sumringah kadang tertawa lebar dan berulang kali mengucapkan terima kasih lalu menyingkir saat lampu berubah hijau. Sambil melambaikan tangan ke arah mobilku, mereka berteriak kalimat-kalimat yang diawali dengan kata 'semoga'

"Semoga kebaikanmu dibalas oleh Tuhan."

"Semoga keberkahan selalu menyertaimu." Dan semoga-semoga lainnya.

Setiap melihat tingkah mereka yang seperti itu, aku seringkali jadi tertawa lepas. Entahlah, bagiku itu amat lucu. Mereka sudah sesenang itu mendapatkan selembar uang sepuluh ribu atau dua puluh ribu hingga berteriak-teriak di jalanan. Padahal dengan uang itu mereka bisa mendapatkan apa? Untuk minum saja tidak cukup. Betapa bodohnya mereka. Momen ini lah yang selalu aku tunggu-tunggu saat mobilku mulai melipir di lampu merah. Terkadang tingkah mereka yang membuatku terpingkal itu mampu melepaskan penat di tubuhku atau kekesalanku akan hari-hari yang telah kulalui.

[RWM] 16.06 Bersamamu : Lail ArahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang