BAB 2 Apa itu Kesempurnaan?

12 5 0
                                    

Mobil sudah mulai memasuki kompleks perumahanku. Rasanya lega jika aku kembali melihat rumah-rumah bertingkat ini. Suasananya sangat damai bahkan sedikit terkesan sepi tapi yah, itu bagus karena mereka tidak akan mencampuri urusan keluargaku. Aku berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini? Berbelanja ke ZARA dengan memakai Sweater Diorku sekaligus memamerkannya pada Celine dan Lis? Saat aku sibuk memikirkan hal itu, tanpa sadar aku melihat segerombolan orang berseragam yang sedang mengangkut perabotan rumahku, beberapa dari mereka bahkan mengangkut lemari-lemari kacaku yang berisi koleksi tas. Melihatnya, aku segera turun dari mobil untuk menghentikan mereka, tapi Papa segera menarik tanganku menjauh.

"Papa! Apa maksudnya semua ini?! Kembalikan semuanya! Hey! Itu milikku!!"

Aku berteriak-teriak pada petugas-petugas itu seperti orang yang tengah kesurupan sedangkan Papa sama sekali tidak terlihat peduli. Berkali-kali aku menarik lengan mereka, berharap mereka melepaskan semua perabotan rumah, termasuk lemari yang berisi koleksi tas dan sneakersku.

"DIAM! Semuanya sudah Papa jual." seru Papa.

"Apa?! Bagaimana bisa Papa menjualnya tanpa persetujuan dariku!" Aku berteriak marah, menatap nyalang pada pria paruh baya di hadapanku meski ia sama sekali tidak melirikku. Papa sibuk menandatangani berkas yang diberikan oleh salah satu petugas itu, lalu tak lama menyerahkan kunci mobil kepadanya. Namun sebelum kunci itu benar-benar jatuh di tangan sang petugas, aku berhasil merebutnya. Aku tahu jelas kunci apa itu. Kunci yang Papa serahkan adalah kunci mobil pribadiku. Mercy putih hadiah ulang tahunku beberapa bulan lalu.

"Tidak! Bagaimana bisa Papa memintanya lagi setelah memberikan ini sebagai hadiah." racauku, menggenggam erat kunci mobil itu.

"Kau belum pantas memakainya, kemarikan kuncinya!"

Jawaban dari Papa membuatku naik pitam. Bisa-bisanya ia meminta kembali hadiah yang baru saja ia berikan saat ulang tahunku. Bahkan aku belum sempat memakainya untuk liburan bersama teman-teman!

"Jadi apa yang Papa lakukan itu pantas dilakukan? Setelah memberikannya, Papa rebut kembali! Setelah membuatku senang, Papa jatuhkan lagi! Apa itu pantas, Pah?!"

PLAAK

Aku tersungkur setelah mendapatkan tamparan keras itu. Telingaku berdengung, remang-ramang aku merasa waktu berjalan lebih lambat. Sesaat aku tidak bisa mendengarkan suara adik dan Mama ketika mereka buru-buru menghampiriku, yang kulihat hanya raut khawatir mereka dan air mata adikku yang bercucuran. Papa mengambil kunci mobil yang tergeletak di dekatku dan saat itu lah waktu berjalan kembali normal.

"Tahu apa kau soal pantas? Papa lebih tahu apa yang Papa lakukan! Anak yang selalu juara kelas sepertimu bahkan tidak bisa mencoba untuk sekadar memahami situasi. Cerdas apanya begini? Hah, aku menyesal membesarkan anak sepertimu. Bikin malu saja." ucapnya setelah para petugas itu pergi membawa sebagian besar perabot elektronik beserta mobil-mobil milik kami.

Begitulah akhirnya aku mengurung diri di kamar yang kubiarkan gelap dan pengap ini. Bahkan AC di kamarku pun ikut dicabut. Aku berharap bahwa ini hanya mimpi di siang bolong. Aku akan terbangun dengan wajah sembab habis menangis di ruang kelas karena Celine membangunkanku untuk pergi ke kantin bersama. Lalu ketika ia melihat wajahku yang jelek itu, dia akan terkejut dan tertawa sambil berkata "Kau memang aneh. Jangan dipikirkan! Itu hanya mimpi." Yah, setidaknya itu harapanku sebelum orang di seberang pintu mengetuk dan memperjelas semuanya bahwa kejadian sore tadi memang nyata.

Ia masuk begitu saja sebelum aku mempersilahkannya. Aku tahu. Dia datang ke sini untuk menghiburku. Buktinya, ia langsung memelukku yang sudah menjadi kepompong di dalam selimut tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Sebenarnya kau sudah tahu kan hal ini akan terjadi?" tanyaku. Dari awal aku sudah mencurigainya sebab ia terlihat tenang sepanjang petugas mengangkut televisi dan vespa miliknya. Hanya aku yang meracau tidak jelas bagai orang gila. Hanya aku satu-satunya yang menolak ini semua. Hanya aku ... yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.

"Tahun lalu Om Ferdy menggelapkan uang perusahaan Papa dan kabur begitu saja. Sebagai gantinya, Papa menggadaikan rumah ini untuk menutupi uang perusahaan yang hilang. Namun sepertinya proyek yang sedang dijalankan tidak mulus juga hingga Papa mulai kehilangan kepercayaan klien-kliennya. Belum lagi menggaji para pegawai. Situasinya menjadi semakin memburuk hingga saat ini. Kalau dipikir-pikir bulan ini seharusnya sudah jatuh tempo untuk pelunasan rumah. Tapi rasanya Papa tidak mungkin bisa, jadi—

"Jadi maksudmu kita akan diusir dan tinggal di jalanan?"

Ia terdiam. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Hanya saja aku masih belum bisa menerima.

"Mama sudah menjual baju, tas dan sepatunya. Setidaknya kita masih punya uang walau tidak banyak. Aku juga akan menjual semua biolaku."

"Bagaimana kau bisa tahu semua hal ini?"

"Aku? Aku melihat dan mendengar semuanya."

"Ah, begitu ... jadi hidupku benar-benar sudah berakhir ya? Tidak ada lagi Aster Huang, putri dari donatur utama Yayasan Adhi Wijaya, tidak ada lagi Aster Huang yang sempurna, kini hanya ada Aster Huang yang jatuh miskin ... gadis malang." ratapku.

"Sebenarnya ... apa itu kesempurnaan, Kak? Apakah karena kita kaya, maka kita akan sempurna? Meski aku merasa hampa? Apakah karena kita pintar, maka kita akan sempurna? Meski itu juga tak membuatku merasa bahagia? Apa mungkin karena kita cantik, maka kita akan menjadi sempurna? Meski banyak yang datang hanya menamba paras kita? Mereka hanya butuhnya saja menjadi orang yang peduli pada kita, bukan? Seperti Om Ferdy. Sewaktu-waktu mereka pasti akan pergi juga setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Jadi, buat apa menjadi sempurna?"

"Aku ... tidak tahu." jawabku atas pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Mengapa aku ingin menjadi sempurna? Karena hal itu adalah cara yang kulakukan selama ini demi mendapatkan sesuatu yang aku mau.

Aku bersyukur terlahir di keluarga kaya hingga kemarin. Bukankah dari awal ini sudah menjadi kesepakatan? Aku akan belajar mati-matian untuk mendapat peringkat teratas, menang olimpiade, datang ke Ipusnas setiap weekend hanya untuk membaca teknologi kebaharuan, mencari ide karya tulis ilmiah. Sebagai ganti itu semua, Papa akan membelikanku apapun yang aku mau. Uang hasil lomba-lomba itu juga bisa kugunakan untuk membeli arloji atau tas. Membangun ... yang seperti itu tanpa sadar membuatku jadi memiliki sahabat yang hidupnya juga sempurna. Celine, sepupu dari pemilik Yayasan Adhi Wijaya dan Lis, seorang selebgram dari keluarga entertainment. Namun jika aku sudah tidak sempurna seperti ini, apa mereka masih mau tersenyum hangat kepadaku seperti tadi pagi? Atau aku akan kehilangannya juga seperti aku yang kehilangan kekayaan ini?

[RWM] 16.06 Bersamamu : Lail ArahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang