BAB 3: Anak Itu

6 2 0
                                    

Sungguh aneh rasanya melihat meja makan yang penuh tanpa adanya obrolan sepatah katapun. Biasanya makan malam selalu dihiasi dengan berbagai cerita Iles tentang kesehariannya, lalu aku menanggapinya atau sekadar protes mengapa cerita Iles selalu saja diulang-ulang sedangkan Mama mendengarkan kami sembari tertawa atau melerai saat aku dan Iles mulai bertengkar. Papa jarang sekali ikut makan malam bersama. Beliau pulang saat lampu ruang tamu sudah dipadamkan. Namun melihat kursi yang biasanya kosong kini telah diduduki pemiliknya, aku jadi menyadari bahwa setelah ini semuanya tak lagi sama. Hidupku akan berbeda mulai dari sekarang—tidak, bahkan hidupku sudah mulai berubah sejak ulang tahunku yang ke-15—sejak Papa menggadaikan rumah ini. Entah aku harus menyalahkan siapa lagi atas musibah yang aku alami. Haruskah aku menyalahkan Tuhan atas takdir ini?

"Mulai besok kamu tidak perlu lagi datang ke tempat les biola, Iles. Papa—

"Baik. Iles mengerti, Pa."

Aku sedikit terkejut saat Iles berani menyela perkataan Papa. Meski itu bagus sebab Papa tidak perlu menyuarakan alasan yang dibuat-buat lagi seperti saat Papa terpaksa menjual Mercyku, akan tetapi melihat Papa yang terus saja mengelak untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi membuatku kesal. Sejak tadi Papa makan dengan santai, seakan kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Sedari tadi aku menunggu Papa untuk berterus terang tentang keadaan kami. Sampai kapan kami dapat tinggal di rumah ini sebelum akhirnya diusir dan tinggal di jalanan? Sampai kapan kami berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja? Sampai kapan rasa tidak tenang ini melambai-lambai dalam diriku? Walaupun aku sudah tahu keadaannya dari Iles kemarin, tapi aku juga ingin mendengarnya langsung dari Papa. Namun tinggah Papa yang seperti ini membuatku semakin bingung.

Tadi pagi Papa tiba-tiba saja memintaku untuk mengambil beasiswa yang sempat kutolak. Jika tidak, aku akan dipindahkan ke sekolah negeri pinggiran. Aku tahu alasan sebenarnya Papa menyuruhku untuk mengambil lagi beasiswa itu: Papa sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Namun yang Papa katakana padaku adalah, "Gunakan otakmu untuk berpikir lebih jauh. Buat apa pintar tapi tidak dimanfaatkan? Beasiswa itu keuntungan bagimu, dengan prestasi begitu banyak, kamu bisa bebas masuk ke universitas manapun. Jangan membuat Papa malu." Mungkin yang dimaksud Papa keuntungan adalah Papa tidak perlu membiayaiku lagi. Sebelumnya pun tanpa beasiswa aku bisa memasuki kampus mana saja sebab aku tahu Papa mampu. Namun berbeda keadaannya untuk sekarang ini. Betapa malunya aku ketika meminta kembali beasiswa itu setelah kutolak mentah-mentah. Aku juga harus beberapa kali berbohong pada Celine dan Lis tentang mobil Mercy-ku yang sudah jarang terlihat. Mau sampai kapan aku berbohong tentang keadaan ini pada mereka?

"Mengapa Papa diam saja?" tanyaku pada akhirnya. Semuanya terdiam. Bahkan tidak ada lagi suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu.

"Sampai kapan Papa diam seperti ini? Kapan ... Papa berterus terang tentang keadaan yang terjadi saat ini? Sampai kapan Papa diam seolah tidak terjadi apa-apa?"

Papa meletakkan sendok dan mengelap mulutnya.

"Papa diam sebab kalian sudah pasti mengerti situasinya. Papa tidak bisa mempertahankan lagi rumah ini. Besok...." Papa menghela napas sebentar lalu menatapku dalam "Besok persiapkan barang-barang kalian. Kita akan pindah."

"Apa?!" Aku berseru tidak terima. Aku tidak salah dengar, kan?

"Kamu yang meminta Papa untuk berbicara, kan? Itu akhir dari pembicaraan kita malam ini. Keadaan kita sudah tidak lagi sama seperti biasanya. Jadi biasakan lah untuk hidup hemat mulai dari sekarang sebab Papa tidak bisa memenuhi keinginanmu seperti sebelumnya." Papa beranjak dari duduknya.

"Kemana? Lalu bagaimana dengan sekolahku?" Aku memang meminta Papa untuk berbicara, tapi bukan pembicaraan ini yang aku inginkan. Besok? Meski aku telah mewanti-wantinya, bukankah ini terlalu cepat?

"Tenang saja. Papa mendapatkan rumah yang tidak jauh dari sekolahmu. Kamu hanya perlu naik angkot beberapa menit. Itu lebih hemat dan efisien. Terlebih, teman sekelasmu juga ada yang tinggal di sana. Kamu tidak benar-benar sendirian."

Informasi yang dikatakan oleh Papa benar-benar membuatku bingung, setelah kemarin aku harus naik ojol, besok-besok aku harus naik angkot juga? Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak pernah naik angkot sebelumnya. Namun mendengar teman sekelasku yang juga tinggal di sana, membuatku sedikit lega. Apakah itu Celine? Kudengar rumahnya juga tidak jauh dari sekolah. Jika begitu, alih-alih naik angkot, aku bisa saja berangkat bersamanya. Setidaknya itu yang aku pikirkan sebelum kami melakukan perjalanan menuju rumah baruku.

Setelah keesokan harinya aku mengemas semua barang-barangku, Papa protes sebab barang yang kubawa terlalu banyak. "Siapa yang akan membawa 3 koper itu?! Bawa barang yang perlu saja!" dan aku protes juga. "Lalu sisanya bagaimana? Padahal 3 koper ini baru baju-bajuku saja. Bukankah biasanya juga dibawakan oleh—

"Tidak ada yang mau membawakannya secara gratis. Ingat! Kita sudah harus berhemat. Bawa satu koper saja sisanya berikan ke panti asuhan."

Setelah itu aku semakin protes tapi tidak dihiraukan oleh Papa. Keputusan Papa sudah bulat. Jadi sebelum ke rumah baru, kami mampir ke panti asuhan terlebih dahulu untuk menyerahkan barang-barang yang menurut Papa berlebih. Aku tidak ikut masuk ke dalam dan hanya menunggu di gocar sebab masih merasa kesal atas keputusan Papa yang selalu seenaknya sendiri. Hingga pada akhirnya aku mengerti mengapa Papa menyuruh kami untuk membawa barang seperlunya karena rumah baru kami berada jauh di dalam gang sempit. Aku yang hanya membawa satu koper saja sudah kesulitan, apalagi tiga? Sepanjang jalan aku terus berpikir apakah ada rumah bagus di dalam gang seperti ini? Namun pikiranku pupus ketika kami berhenti di salah satu rumah kecil berlatar semen dan sangat sempit.

"Kita sudah sampai." ujar Papa sembari menyeka keringatnya.

Saking kagetnya dengan situasi ini, aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk protes atau marah pada Papa. Di samping masih merasa kesal karena baju-bajuku disumbangkan ke panti asuhan, di sini kedatangan kami di sambut oleh orang-orang yang tidak kukenali. Mereka sungguh bau. Rata-rata pria dan wanita paruh baya. Namun ada juga anak-anak di sekelilingnya. Anak-anak yang hanya mengenakan kaos singlet lusuh dan celana pendek. Papa membuka pintu rumah sedangkan orang-orang itu langsung mengangkut barang-barang kami dan meletakkannya di dalam rumah tanpa permisi. Aku menggenggam erat pegangan koperku ketika ada seorang laki-laki yang ingin mengangkut koperku juga. Aku menatapnya dengan perasaan jijik. Apa ia sudah cuci tangan? Berani sekali ingin mengambil koperku tanpa permisi. Melihat kakinya yang belepotan tanah saja sudah membuatku bergidik.

"Siapa kau?" tegurku.

Ia terdiam sebentar lalu tertawa lepas.

"Kau sungguh tak mengenaliku? Padahal kita sekelas." ujarnya yang membuatku terbelalak kaget. Sekelas? Siapa? Apa ini anak yang dibicarakan oleh Papa semalam? Ia tersenyum padaku lalu berkata, "Sini, biar aku bawakan ke dalam. Pasti berat membawanya sendiri." dan aku hanya mematung membiarkan dia membawa koperku masuk ke dalam rumah.

[RWM] 16.06 Bersamamu : Lail ArahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang