Tingkah Mama semakin aneh saat aku melihat beliau yang tampak sangat antusias mengolah adonan rotinya, dibantu oleh Bunda. Aku tahu beliau tidak bisa memasak. Makanan buatannya selalu hambar, terkadang terasa aneh karena beliau sengaja memasukkan bahan-bahan yang tak seharusnya ada di dalam masakan itu lantas berdalih jika beliau sedang bereksperimen ketika aku dan Iles protes. Beliau memang suka memasak, meski masakannya tak pernah berhasil hingga Papa menyuruhnya untuk berhenti merusuh di dapur tempat Mbak Surti memasak. Sejak itu, tak kulihat lagi Mama yang sibuk sendiri di dapur. Aku jadi merindukan masakan Mbak Surti yang selalu enak. Sayang sekali aku tidak bisa merasakan masakan Mbak Surti karena keadaan kami saat ini. Beberapa hari ini Mama kembali memasak untuk kami, meski aku dan Iles tak pernah menghabiskannya. Mama yang belepotan tepung menyuruhku untuk menunggu roti buatannya matang di luar. Aku sedang tidak menunggu itu sebenarnya, toh aku tidak berharap banyak atas keahlian masak Mama, tapi aku tetap menurutinya keluar dari dapur panti. Kepalaku pening memikirkan kejutan bertubi-tubi di hidupku.
Aku memutuskan untuk duduk di ayunan pohon mangga. Kepalaku masih berisi tentang Mama. Biasanya pukul segini, Mama sedang tea time bersama teman-teman sosiolitanya di café langganan atau di rumah salah satu temannya. Sepertinya Mama kehilangan mereka juga seperti aku yang kehilangan Celine dan Lis. Mama pasti merasa malu menemui teman-temannya dengan keadaan sekarang. Semuanya gara-gara Papa. Papa telah gagal menjaga keluarganya agar tidak merasa kekurangan. Bahkan kini kami telah kehilangan semuanya karena kenaifan Papa dengan penipu itu. Kalau dipikir-pikir hidupku lucu juga. Rasanya baru kemarin aku mendapatkan mobil baru, lalu sekarang bahkan untuk tidur saja aku harus mengundi dahulu untuk mendapatkan kasur yang layak.
Di tengah lamunanku, dia perlahan datang menghampiri, bersimpuh di hadapanku, menatapku lamat-lamat. "Terima kasih, Aster." ujarnya tiba-tiba.
Aku mengernyit bingung. "Untuk?"
"Terima kasih karena telah bersedia datang ke tempat seperti ini, tempat di mana aku dibesarkan. Terima kasih telah menerima uluran tangan bundaku dan tersenyum kepadanya. Bagiku, itu sangat berarti." jawabnya. Aku menatap matanya lekat, mencoba menemukan arti terselubung yang menandakan dia tidak serius tapi nihil, yang kudapati hanyalah tatapan teduh dan senyumnya yang seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Menatapnya seperti itu, tanpa sadar aku menetaskan air mata. Pertahananku selama ini runtuh. Bagaimana bisa ada orang yang seperti dirinya? Begitu lembut sampai membuatku ingin menangis sejadi-jadinya, mengadu padanya bahwa hidup ini terlalu jahat untukku, dan menumpahkan segala kekhawatiranku akan hari esok dalam pelukannya. Ia beranjak, lengannya merengkuh kepalaku, mendekapku ke dadanya.
"Dengan begini tidak ada yang melihatmu menangis." ujarnya yang membuatku tersadar. Aku memikirkan apa tadi? Pelukannya? Bodoh. Mengapa aku jadi terlihat lemah begini? Aku menarik diri dari rangkulannya dan dengan gerakan cepat menghapus air mata.
"Aku tidak menangis!" kilahku. Ia hanya tersenyum memaklumi.
"Baguslah kalau begitu. Yuk, aku akan mengantarmu pulang." ujarnya yang kubalas dengan anggukan. Kami berjalan bersisian. Sungguh canggung memikirkan apa yang diperbuatnya tadi. Aku merasa aneh pada diriku sendiri. Mengapa sekarang aku jadi salah tingkah berjalan di sampingnya?
"Ah! Kakak baik hati!" seru seorang bocah perempuan yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Ia menunjukku seraya nyengir lebar dengan giginya yang ompong. Siapa lagi dia?
"Aku ingat! Kakak pernah memberiku kue yang saaangat enak sedunia. Aku sudah banyak memakan kue, tapi tidak ada kue yang seenak milik Kakak baik hati." celotehnya riang. Aku melirik pria di sampingku untuk mempertanyakan apakah ini ulahnya juga? Tapi ia hanya mengedikkan bahu.
"Saat itu Kakak cantik sekali, seperti Tuan Putri rumah Kakak besar dan bagus seperti istana." ujar bocah itu lagi. Aku mengernyitkan dahi. Memangnya aku pernah mengundang anak kecil ini ke rumahku untuk makan kue?
"Dia anak pemulung yang sebelumnya tinggal di TPA, tapi karena khawatir Ibu memintanya untuk menetap di sini." Ia menjelaskannya sebab melihatku yang kebingungan.
Oh! Seketika aku ingat. Sesaat setelah pesta ulang tahunku berakhir, aku memberikan kue tart sisa kepada anak pemulung yang saat itu ada di depan rumahku. Aku memberikannya sebab bagiku kue tart itu tidak enak. Celine dan Lis juga membandingkan kueku dengan milik mereka dan menyarankan untuk membuangnya saja karena rasanya tidak enak.
"Hey! Siapa namamu?" tanyaku pada gadis kecil itu.
"Lila!" jawabnya lantang.
"Dengar, Lila. Ada kue yang lebih enak dari kue pemberianku saat itu. Kapan-kapan aku akan membelikanmu yang lebiiih enak lagi, oke?" ujarku. Aku tidak bisa membiarkan pikirannya membatasi kue yang jelas-jelas buruk itu sebagai kue yang terenak sedunia. Aku akan memberikannya kue dengan rasa terbaik dari bahan-bahan berkualitas.
"Asiikkk! Terima kasih Kakak baik hati!" serunya girang.
"Abang, ayo! Sekarang waktunya dongeng, jangan kabur lagi, ya!" Sekarang Lila menarik tangan pria di sampingku itu dan berseru memanggil teman-temannya.
Seketika teman-teman sebaya Lila mengerubungi kami. Ia sudah berkali-kali memberikan pengertian pada mereka bahwa ia tidak bisa mendongeng sekarang, tapi anak-anak itu tetap memaksa. Akhirnya aku yang mengalah. Kami duduk melingkar. Salah satu anak panti memberikannya buku dongeng yang berjudul Peter Pan. Anak-anak ini sangat antusias ingin mendengarnya bercerita, dan aku tahu apa alasannya setelah melihatnya memulai kisah. Gaya bahasanya, gestur tubuhnya, dan senyuman di sela-sela cerita mampu menyihirku untuk tidak berpaling darinya. Aku menatapnya begitu lekat, begitu kagum dengan sosoknya yang sempurna. Dia begitu lembut, seperti sinar matahari pagi yang bersiap menaungi cakrawala. Dan dalam satu waktu itu, ia balas menatapku sama lekatnya lalu tersenyum teduh. Aku merasakan ada sesuatu yang berdebar dalam hatiku, membuat wajahku memanas dan akhirnya aku memalingkan wajah darinya dengan perasaan bahagia yang aku sendiri pun tak mengerti.
Aku tidak jadi pulang dan memutuskan untuk menghabiskan hari itu bersama anak-anak panti, Bunda, Mama dan juga dengannya. Rasanya sangat menyenangkan mendengar tawa ceria mereka, perasaan ini mengingatkanku pada perasaan saat aku memberikan uang recehan pada manusia-manusia silver di lampu merah. Perasaan senang, ditambah kehangatan suasana panti. Sorenya, kami memakan roti buatan Mama dan Bunda bersama. Aku cukup terkejut karena ternyata roti buatan Mama tidak terlalu buruk. Bahkan aku sengaja membawa beberapa untuk Iles nanti. Betapa hebatnya Bunda yang telah berhasil mengajari Mama, bahkan Mbak Surti saja kewalahan tapi Bunda tidak. Aku sarankan agar Bunda membuka kursus baking dan Mama membuka toko roti. Hari itu kuhabiskan dengan gelak tawa, mendengar celotehan lucu anak-anak panti.
KAMU SEDANG MEMBACA
[RWM] 16.06 Bersamamu : Lail Arahma
Teen FictionOleh : @laila347 Aku adalah sosok yang begitu buruk. Jika semua pemilik cerita ialah sosok yang begitu didambakan, aku termasuk pengecualian. Jika Tuhan menciptakan manusia dengan kekuatan sebagai kelebihan dan kelemahan sebagai kekurangan, maka aku...