Bab 1 Terlilit Hutang Milyaran

96 37 72
                                    

Suasana ruangan kerja berasa sangat panas. Semua karyawan menampakkan muka ketegangan seakan ada suatu masalah serius yang menimpa mereka. Faiz yang baru datang merasa heran dengan keadaan di pagi itu. Jaket kulit tebalnya diletakkan dikursi tempat duduknya. Ia kemudian mulai menyalakan komputer dan siap untuk bekerja.

"Faiz, kamu dipanggil Bos diminta untuk ke ruangannya sekarang," kata salah satu rekan kerja Faiz yang baru saja menghadap atasannya.

Faiz yang baru saja datang bahkan belum sempat menghabiskan napasnya harus sudah menghadap atasannya. Badan Faiz mulai bergetar dan berat untuk melangkah. Seakan ada suatu hal buruk yang akan menimpanya.

Sekuat tenaga Faiz berjalan dengan pelan untuk menuju ruangan yang dianggap angker bagi karyawan lainnya. Bukan angker karena banyak hantunya, tapi seseorang yang dipanggil di sana rata-rata adalah orang yang mendapatkan masalah dengan pekerjaannya.

Faiz membuka pintu ruangan bosnya dengan pelan, "Selamat pagi, Pak! Bapak memanggil Saya?" tanya Faiz dengan nada yang lirih nyaris tidak terdengar suara dari mulutnya.

"Betul, silakan kamu duduk!" Bos mempersilakan Faiz untuk duduk di kursi panas tepat dihadapan orang yang paling disegani di kantornya.

"Iya, Pak!" Faiz duduk sambil menunduk, tidak berani menatap tatapan bosnya yang tajam penuh dengan amarah.

"Apa ini?" Nada suara Bos berubah menjadi keras menggelegar seperti petir yang siap menyambar siapa pun yang berada di sekitarnya. Selembaran kertas di lemparnya dengan sangat kencang ke meja tepat di depan Faiz duduk. Sampai-sampai mendatangkan angin yang menghujam rambut Faiz.

Faiz meraih kertas tersebut dengan tangan gemetaran. Ia tidak bisa berkata apa-apa hanya bisa menatap dengan heran.

"Kenapa diam! Sadarkah dengan kesalahan yang sudah kamu lakukan ini, Faiz!" Bos menimpali kemarahannya ke Faiz yang hanya berdiam tanpa sepatah kata pun.

"Aku bisa jelaskan ini semua!" ujar Faiz mencoba memberikan penjelasan untuk meredam sedikit kemarahan bosnya itu.

"Coba kamu jelaskan! Saya mau dengar pembelaan dari kamu!" sungut Bos dengan wajah mengesalkannya.

"Soal laporan keuangan ini, bukan Saya yang menggunakannya, Bos!" jelas Faiz dengan tegas dan lantang. Upaya mengumpulkan tenaga untuk berkata yang sejujurnya berhasil ia lakukan.

"Kamu sudah ketangkap basah masih mau mencari kambing hitam ya! Saya masih belum percaya dengan apa yang kamu katakan."

"Saya berani bersumpah, bukan Saya yang menggunakan uang ini!" ungkap Faiz.

"Lalu, siapa? Sudah jelas yang memegang keuangan kamu."

"Arkan. Dia yang sudah memakai uang ini."

Suasana semakin panas dan menegangkan. Faiz mulai mengungkapkan kebenaran. Ia tidak ada pilihan lain kecuali jujur. Arkan adalah sahabat Faiz, ingin rasanya melindunginya. Namun, jika sudah ketahuan begini, tidak ada lagi pilihan.

"Oke! Untuk membuktikan apakah yang kamu katakan ini benar atau salah, Saya akan panggil Arkan untuk datang ke sini!"

****

"Bos, ada apa memanggil Saya?" tanya Arkan yang berpura-pura tidak tahu sedang terjadi apa di ruangan bosnya itu. Arkan terlihat sangat santai meski di sebelahnya ada Faiz yang memandangnya dengan penuh keheranan dengan sikap polos Arkan.

"Saya akan menanyakan sesuatu denganmu. Saya harap kamu jawab dengan sejujur-jujurnya dan tidak perlu takut ada tekanan dari siapa pun. Paham!" terang si Bos.

"Paham, Bos! Apa yang akan Anda tanyakan ke Saya?" tanya Arkan yang masih saja sok polos. Sikap Arkan ini sampai membuat Faiz emosi terlihat dari tangan Faiz yang meremas celananya dengan kuat.

"Apa benar kamu yang sudah memakai uang perusahaan?" Bos menanyakan secara langsung ke Arkan tanpa penghalang.

"Enggak, Bos. Mana berani Saya melakukan itu!" jawab Arkan.

"Jangan bohong. Saya sudah mengatakan semuanya ke Bos. Bukannya kamu meminta ke Saya untuk meminjam sebentar dan ternyata sampai detik ini tidak juga kamu kembalikan. Bodohnya Saya selalu menutupi ini semua untukmu." Faiz berdiri dari kursi panasnya yang sudah mulai nyaman ia duduki. Ia melontarkan rasa yang mendongkol di dalam dadanya saat mendengar Arkan mengelak dari apa yang sudah ia lakukan.

"He Faiz, kamu kalau sudah salah ya akui saja. Jangan Fitnah Saya dong!" ujar Arkan yang balik menuduh Faiz yang telah menfitnahnya.

"Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar di ruangan Saya. Sekarang sudah jelas siapa pelakunya. Saya tidak akan percaya perkataan dari kalian. Berdasarkan data kamulah yang bersalah, Faiz. Saya sebenarnya tidak percaya karena kamu termasuk karyawan terbaik di perusahaan ini. Namun, apa yang kamu tuduhkan ke Arkan ternyata hanya upaya kamu saja untuk mencari kambing hitam!" geram Bos yang menyrocos tanpa jeda.

"Bos, Saya berani bersumpah. Saya tidak mungkin melakukan perbuatan serendah ini. Lebih baik Saya hidup dalam kemiskinan dan makan hanya dengan sebutir nasi dari pada harus mengambil uang perusahaan." Faiz masih berusaha melakukan pembelaan, meski semua bukti sudah mengarah ke dirinya.

Faiz di sini memang hanya sebagai korban. Ia sangat percaya ke pada sahabatnya Arkan yang saat itu ingin meminjam uang perusahaan yang dikelola oleh Faiz. Namun, kepercayaan Faiz telah dikhianatinya. Arkan tidak mau mengakui kesalahannya yang membuat Faiz harus menanggung semua beban ini sendiri.

"Tega kamu! Selama ini Saya sudah menganggap kamu sebagai sahabat baikku. Apapun Saya lakukan demi kamu, termasuk menuruti kemauanmu untuk meminjamkan uang perusahaan tanpa sepengetahuan Bos. Sekarang, kamu malah bersikap seperti ini kepada Saya!" Faiz meluapkan kemarahannya ke Arkan.

"Keluar kalian semua! Selesaian masalah kalian di luar, dan untuk kamu Faiz, seminggu ini kamu tidak diizinkan masuk kerja. Keputusan kelanjutan pekerjaan kamu akan kami rundingkan kepada divisi lain."

Faiz keluar dengan kesal. Ia membuka dan menutup pintu dengan segenap tenaganya sampai keluar otot dari lengannya. Jaket kulit yang disampirkan di kursi kerjanya dikenakannya dan ia langsung meninggalkan kantor tanpa berpamitan dengan rekan yang lainnya.

Sorotan tatapan mata penuh keheranan tertuju pada Faiz. Rekan sekantornya tidak ada yang percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh Faiz. Ia dikenal sebagai pribadi yang baik dan pekerja keras. Sangat mustahil seorang Faiz bisa melakukan hal yang merugikan perusahaan.

Faiz yang sudah terlanjur dikecewakan oleh sahabatnya itu lebih memilih untuk menerima keputusan ini bahwa dirinya harus menanggung hutang 1 Milyar. Uang yang sama sekali tidak ia gunakan dan hanya alat untuk melakukan transaksi atas namanya.

Arkan dari balik jendela kantor melihat Faiz yang sedang berada di parkiran dengan senyuman penuh ejekan. Faiz menyadari Arkan sedang memperhatikannya. Jika tangan ini bisa digerakkan dengan bebas, akan ia ambil batu besar dihadapannya dan kemudian dilemparkan tepat dimuka Arkan. Namun, hati lembut Faiz tidak bisa menuruti amarahnya. Ia memilih untuk pergi dan menenangkan diri.

[RWM] Langit Tak Selalu Cerah : Awi AhnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang