Bab 2 Kehilangan Pekerjaan

26 26 27
                                    

Seminggu lamanya hukuman yang harus diterima oleh Faiz untuk tidak berangkat ke kantor. Ini adalah hukuman sementara sambil menunggu keputusan dari perusahaan. Hari-hari Faiz, dilaluinya hanya dengan keluar masuk kamar tanpa aktivitas apapun.

Hati Faiz sudah hancur berkeping-keping bagai kaca yang pecah dan terlindas oleh mobil truck dengan muatan penuh. Maka, akan sangat sulit untuk dirangkai kembali meski dengan perekat kaca yang super ampuh sekalipun.

Keseharian Faiz yang selalu disibukkan dengan bekerja dan bekerja tidak lagi bisa ia lakukan lagi. Sejam serasa sehari dan seminggu serasa setahun. Semasa mendapatkan hukuman ini, tidak ada rekan kerjanya yang datang menjenguknya hanya untuk basa basi mengatakan 'Apa kabar!' pun tidak seorang pun muncul.

Terutama Arkan yang sudah membuatnya menerima hukuman seperti ini. Mengingatnya hanya membuat hati Faiz tambah sakit dan akan sulit baginya untuk melupakan pengkhianatan ini.

Masa hukuman sudah selesai. Belum ada panggilan dari kantor untuk mengizinkan Faiz masuk kembali. Ia pun bersiap untuk berangkat ke kantor meski harus sambil menahan diri dari rasa malu dengan kesalahan yang tidak pernah ia lakukannya itu.

Selangkah berjalan di depan pintu Faiz menemukan secarik kertas yang terbungkus amplop cokelat dan ditujukan kepadanya. Jantung Faiz berdegup kencang, ia berusaha tarik keluar dan masuk lagi isi surat dalam amplop itu.

Dengan membaca basmalah, ia membukanya dan isi surat itu membuat kaki Faiz mendadak kaku. Tangannya mulai gemetar, mulutnya terkunci dan badannya mulai lemas.

Isi suratnya ternyata adalah pemutusan kerja secara resmi dari perusahaannya. Di depan rumahnya ada sosok yang tidak asing baginya. Sosok itu memunggungi Faiz jadi tidak begitu jelas. Ia mendekatinya dan ternyata itu Mesha yang sedang membawa paying di tengah gemericiknya hujan. Mesha adalah salah satu rekan kerjanya yang jarang ada komunikasi di antara mereka kecuali sebatas masalah kerja.

"Hai, Faiz. Bagaimana keadaanmu?" tanya Mesha sambil membetulkan kerudungnya ke bahu kiri sebelah atas.

"Ya ... seperti yang kamu lihat saat ini. Beginilah keadaanku, pria tidak berguna yang takut melawan kebenaran dan lebih memilih untuk mengalah," jawab Faiz dengan lesu dengan badan yang mulai membungkuk.

"Kamu harus tetap semangat!" Mesha mencoba memberikan dukungan ke Faiz.

"Buat apa? Masa depanku sudah tidak terlihat dengan jelas. Nama baikku yang ku jaga sejak kecil kini berterbangan, dihempas angin. Aku tidak kuasa lagi menjalani hidup ini."

Mesha mencoba mencerna perkataan Faiz. Ia mencoba berfikir dan merangkai kalimat terbaik supaya Faiz bisa kembali ceria dan semangat seperti yang ia kenal selama ini. Jadi, Mesha ini meski pendiam, dia sebenarnya mengawasi setiap rekan kerjanya satu per satu termasuk Faiz.

"Ini adalah ujian dari Allah. Kamu sebaiknya terima dengan lapang apa yang sudah digariskan Tuhan untukmu. Siapa tahu di balik ujian ini ada hikmah yang tersirat di dalamnya. Faiz, dengarkan aku! Aku sangat percaya sama kamu. Bukan kamu pelakunya!" Mesha dengan gigih dan wajah sumringah penuh semangat menggebu-gebu menyemangati Faiz.

"Terima kasih, Mesha. Kamu sudah percaya sama aku. Bahkan untuk kembali mengumpulkan semangatku yang dulu aku belum tahu caranya. Aku tahu perusahaan pasti tidak akan tinggal diam. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan dari Bos saat ia memintaku untuk mengembalikan uangnya?" tanya Faiz dalam keputus asaannya.

"Pasti ada jalan. Asal kamu mau berusaha semua akan dimudahkan. Aku tidak bisa menjelaskan secara detailnya, bagaimana kalau kamu aku kenalkan dengan temanku?" Mesha masih tidak berhenti untuk membantu Faiz dengan mengenalkan ke temannya.

"Temanmu? Dia siapa? Apa dia mau meminjamkan uang sebesar 1 M kepadaku agar aku bisa langsung mengembalikan uang ke perusahaan?" Faiz bertanya ke Mesha tanpa putus.

"Nanyanya satu-satu, pusing aku jawabnya!"

"Oh, iya. Maaf!"

"Jadi dia itu dosen muda yang mengampu mata pelajaran pendidikan agama islam. Apa yang selalu disampaikan begitu menyejukkan. Tidak jarang juga ia sering memberikan solusi-solusi dari setiap masalah yang dihadapi mahasiswa dan mahasiswinya," jelas Mesha.

"Dosen mudamu? Oh, jadi kamu ini juga seorang mahasiswi, baru tahu aku."

"Statusku tidak penting. Bagaimana? Mau tidak aku kenalkan dengan dosenku itu?" Mesha dengan antusias ingin mengenalkan dosen muda itu ke Faiz.

"Oke! Boleh deh! Mau kapan nih?"

"Sore ini ya. Setelah aku pulang kerja!"

"Aku tidak keberatan sih. Serius nih tidak mengganggu waktu kamu?"

"Enggak! Tenang saja. Ya sudah ya, berhubung ini sudah cukup siang aku ke kantor dulu. Nanti kalau sudah pulang aku langsung ke sini."

"Oh iya, salam ya buat rekan kantor. Sampaikan permohonan maafku jika selama bekerja bersama pernah melakukan kesalahan."

"Emm ... sampaikan tidak ya ...."

"Ya terserah! Tidak juga tidak apa-apa!"

"Yeee ... ngambek nih ceritanya. Aku cuman bercanda kali."

"Aku tidak ngambek kok!"

"Baguslah. Aku pergi dulu. See you later!"

"See you too!"

Mesha pamit undur diri dari rumah Faiz. Wanita pendiam yang justru paling baik. Di antara rekan kantor hanya dia yang datang. Bahkan, ingin membantunya untuk memecahkan masalahnya. Lalu, Faiz masuk ke rumah.

Di tempat duduknya, Faiz jadi merasa penasaran dengan temannya Mesha yang ingin dikenalkannya itu. Faiz sekarang hanya bisa bersyukur, karena masih ada orang baik yang mau membantunya.

Dalam lamunannya terdengar suara pecahan kaca dari Jendela. Faiz bergegas untuk menuju sumber suara. Ternyata, ada orang yang sengaja melempar batu ke rumahnya dan kebetulan mengenai kaca jendela yang dekat dengan kamarnya.

Kepala Faiz melihat keluar jendela, terlihat dua orang yang sedang ngebut dengan motor Ninjanya, Faiz tidak mengenali wajah kedua orang pengendara motor itu karena cuacanya yang mendung dan gerimis rintik-rintik.

Teror ini begitu merusak nalar si Faiz. Nampaknya, memang ada yang sengaja ingin menjatuhkan karirnya. Terlihat, dari masalah yang sedang ia hadapi dan sekarang ada yang coba menerornya.

Lutut Faiz, lemas. Terjatuh dalam lantai. Faiz menundukkan kepalanya, lalu menengadah ke atas dan teriak sekencang-kencangnya tanpa peduli ada orang yang mendengarnya.

Wajah penuh depresi terlihat dari wajah tampan Faiz. Ia tidak menyangka masalah sebesar ini bisa menimpa dirinya. Dalam ketidakberdayaannya, Faiz mencoba bangkit dan langsung berjalan dengan pelan menuju kamarnya.

Faiz membuka ponselnya, ada pesan WA yang dikirimkan oleh Mesha, "Seperti bintang yang bersinar di langit malam, kamu memiliki cahaya dalam dirimu yang tetap bersinar bahkan dalam kegelapan."

Senyum manis tampak dari bibir Faiz. Ia tidak sempat membalas pesan dari Mesha dan langsung membaringkan tubuhnya di Kasur.

[RWM] Langit Tak Selalu Cerah : Awi AhnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang