CHAPTER II - Kidult

1K 188 458
                                    

Chapt 2 ~

****

Gue membuka snelli yang udah gue pakai kurang lebih empat hari kagak ganti sehingga aromanya rada acem. Setelah itu menyeruput kopi yang sepuluh menit lalu di antar bu Dewi, Leader Cleaning Service di Rumah Sakit ini. Gue merebahkan diri di sofa sejenak, istirahat bentar karna habis pisahin pasien berantem di ruangan musik. Agak kalap soalnya badan bapak-bapak yang kelahi itu mirip sumo gedenya.

Kalau bukan gue keluarin jurus omongan sebagai senjata ke mereka, tuh pasien akan sulit dilerai jalur fisik. Gue gak bohong, satu ancaman dari mulut gue terdengar sangat menusuk bagi para pasien gaduh gelisah yang gue tangani itu. Dalam beberapa case penanganan pasien gue dikenal sebagai dokter galak.

Sampe sini paham kan, penangan pasien jiwa itu berbeda-beda.

Gue menghela nafas panjang pertanda lelah, shift malam gue sebenarnya uda kelar. Pagi ini gue bisa aja langsung pulang tapi berhubung mata gue rada mengantuk gue milih istirahat bentar sambil konsumsi kopi. Gak berapa lama pintu ruangan gue terbuka tanpa ketukan, gue lihat kepala nongol dengan senyuman khas diwajahnya.

"Hos..." orang tersebut masuk tanpa ijin, "Kemarin gue denger dari Lia, tangan lo luka karena pasien?"

Gue memutar tangan gue dengan wajah datar tanpa menatap lawan bicara gue sekarang, Wonu.

"Gapapa. Lama di panti begini doang enteng." ucap gue males, lebih ke orang kesel sih sebenarnya.

Kelemahan gue itu, kalo ada apa-apa gue paling susah buat sembunyiin sebel gue ke orang tersebut. Seandainya Wonu adalah Dokter jiwa kayak gue, mungkin dia bisa dengan mudah ngerti apakah gue lagi kesal karena luka atau justru karena hal lain. Masalahnya Wonu adalah dokter bedah saraf yang punya jam kerja super.

"Belajar debus lo?" Wonu gak bergerak di depan pintu, dia justru bersandar pada kusen pintu dengan tangan yang dilipat di dada.

"Dagang kacang." Jawab gue, "Ngapain lo disini?"

"Abis nganter hasil CT Scan pasien, sekalian pengen ketemu lo."

"Najis banget lo pengen ketemu gue." Bentar, kenapa omongan gue rada sensi begini yak? Gue uda berusaha biasa aja, tapi...

"Lo kenapa sih?" wajah Wonu mendadak lempeng,

"Kagak ada. Lo balik kerja sono. Gue mau pulang."

Gue mendorong tubuhnya keluar lantas menutup pintu dengan rapat dan menguncinya. Tadi sempat ngelirik ekpresi bingungnya. Setelah itu gue gak denger ada suara ketukan pintu atau seruan darinya lagi, kayaknya dia langsung pergi karna kesel dengan sikap gue.

Wonuca Pradiptawan,

Panggilannya Wonu. Pria berkaca mata yang dikenal pendiam dan gak punya banyak teman ini salah satu sohib gue. Dia adalah Dokter Spesialis Saraf di Instalasi Rawat Jalan RSJ. Prakteknya cuma tiga sampai empat jam sehari, dia keseringan mangkal di rumah sakit besar lainnya yang lebih butuh tenaganya dibanding RSJ yang cuma kadang-kadang. Artinya, nih dokter punya dua tempat kerja.

Dibanding kita berempat, dia anak yang paling berbakti pada orangtuanya. Meski bisa tinggal terpisah dengan penghasilan yang terbilang lebih dari cukup, tapi dia memilih tetap tinggal bersama orangtuanya. Katanya supaya tetep bisa nemeni nyokapnya, soalnya bokapnya seorang angkatan militer.

Kok Dokter Spesialis Saraf kerja di Rumah Sakit Jiwa? Dih kocak lu,

Terus pasien yang punya gangguan jiwa itu yang bermasalah apannya? Alat kelaminnya? Kan sarafnya yang kenak bray... Makanya Rumah Sakit Jiwa tetap harus punya Dokter Spesialis Saraf. Beberapa penyakit kejiwaan berhubungan langsung dengan susunan sistem saraf yang ada pada otak. Pasien Wonu di RSJ kebanyakan para lansia atau anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah dengan sumsum tulang belakang atau otaknya.

DE JIVA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang