Chapt 6~
*****
"Dok, pasien di Anggrek 1 demamnya belum turun."
"Hah? Kok bisa?"
Perawat yang menghampiri gue langsung cengo, gue baru sadar kalo pertanyaan gue bodoh pake banget. Setelah tercengir canggung kearahnya, gue langsung berjalan tenang menuju bangsal rawat inap yang terdiri dari beberapa ruangan ini. Anggrek 1 ditempati sama empat orang, tiga diantaranya baik-baik aja dan bahkan udah punya jadwal rehab ke Instalasi Rehabilitasi Mental.
Gue meminta perawat untuk mengambil beberapa peralatan guna memeriksanya lebih lanjut lagi. Pasien perempuan itu menggigil, dan gue rasa diakibatkan oleh lukanya yang lumayan besar itu. Saat gue cek, suhu tubuhnya ada di angka 38,5° celcius. Tekanan darahnya normal, lukanya juga gak apa-apa alias gak berdarah lagi ataupun bernanah karena infeksi.
"Kasih Paracetamol lewat infus, kalo dalam tiga jam belum reda, ambil darahnya buat di tes di laboratorium."
Perawat yang bertanggungjawab atas ruang Anggrek mengangguk, "Baik, dok." Lalu dia menghambur keluar untuk mengambil apa yang gue perintahkan.
Saat gue lagi mengatur tetesan infusnya, tiba-tiba aja mata pasien perempuan yang bernama Ella ini terbuka. Dia melihat gue dengan mata sembabnya, dari sini gue yakin bahwa perempuan yang kata Jun merupakan adik kelas di SMA-nya ini habis menangis walau gak tau kapan tepatnya.
"Kenapa dokter nolongin saya? Saya mau mati!"
Gue udah sering banget denger kalimat ini, bahkan yang terakhir gue dapatkan dari seorang remaja yang mengalami depresi berat karena perundungan di sekolahnya.
Pasien yang sekarang gue tangani ini mengalami pelecahan seksual dari ayah tirinya. Sebelumya Ella ini tidak mendapat dukungan dari siapapun. Dia memiliki coping mechanism atau tindakan penanggulangan dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan sesuatu masalah dengan cara bersikap seolah semuanya baik-baik saja atau disebut dengan minimization. Sampai sini gue bisa menyimpulkan, Ella mengalami Rape Trauma Syndrome atau Sindrom Trauma paska perkosaan yang berada di tahap akut. Ella membutuhkan pertolongan, atau kalau tidak dia akan larut dalam traumanya sampai melakukan hal-hal diluar nalar seperti self injury hingga suicide atau percobaan bunuh diri yang udah dia lakukan kemarin.
"Kamu gak akan mati kalo cuma loncat dari lantai dua atau gores tangan pake piso." Gue udah bilang kan meski dikenal sebagai Dokter tukang lawak tapi gue termasuk kedalam jajaran dokter galak kalau soal kerjaan, "Yang ada kamu makin tersiksa. Sakit iya, cacat iya, mati enggak."
"Tapi saya kotor, dok, gak berhak hidup."
"Mau saya panggil Jun kesini supaya dia liat kondisi kamu sekarang?" Kayaknya ini ancaman yang paling ampuh buat Ella. Buktinya sekarang perempuan itu langsung bungkam dengan pandangan yang tertunduk perlahan-lahan.
Oh ya gue lupa bilang, Ella ini ex pasiennya Jun yang dialihkan ke gue karna sudah di tahap serius. Jun dokter kepercayaannya karena sedari awal Jun lah dokter yang ulik tentang penyakitnya.
"Gak ada yang kotor, gak ada satupun manusia yang gak berhak hidup. Kamu akan diperbaiki disini, El. Jangan pesimis karena dunia akan semakin gak ramah sama orang yang merasa seolah-olah dirinya tidak punya harapan."
"Semangat, cuma itu satu-satunya cara supaya kamu bisa lepas dari ini."
Bersamaan dengan itu, perawat yang gue mintai satu ampul paracetamol masuk dengan beberapa barang yang gue minta. Perempuan itu gak lagi mengeluhkan apa-apa, malah sekarang dia meringis kemudian memejamkan matanya ketika cairan yang dimasukkan lewat suntikan ke selang infusnya itu mengalir bersama dengan darahnya. Tadinya gue mau mulai melakukan sesi terapi dan konsultasi, tetapi karena dia baru saja mengalami kecelakaan dan kondisi fisiknya lumayan mengkhawatirkan, sepertinya gue harus menunda sampai dia merasa baikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DE JIVA (END)
HumorJIVA - adalah bahasa sanskerta yang berarti 'Jiwa' dengan makna Benih Kehidupan. Kisah dari sudut pandang karakter utama, seorang Dokter Kejiwaan. Tentang seluk-beluk kehidupannya.