dua

3 0 0
                                    

Saat ini perempuan yang genap berusia 17 tahun itu telah sampai dikediaman neneknya di Bogor. Ia segera keluar dari mobil Setiaji setelah berhasil memasuki halaman rumah putih bertingkat dua.

Fanessa berlari kearah pintu dengan tidak sabarnya, dirinya sudah sangat merindukan neneknya.

"Assalamualaikum, tuan putri datang. Mana nih sambutannya. Ayok ayok gelar karpet merahnya," teriak Fanessa cekikikan.

Mata Fanessa melihat dipenjuru arah, berharap sang nenek menyambutnya. "Nenek! yuhuuu, Fafa datang nih," teriak Fanessa kembali sambil mendudukkan dirinya di sofa coklat.

Terlihat dari arah dapur seorang wanita tua berjalan dengan membawa centong sayurnya.

"Kamu ya, datang kerumah nenek bukannya salam malah teriak teriak. Ini rumah Fa, bukan hutan," ucap Nenek Halimah sambil menjewer telinga cucunya.

"Aw aw, udah nek. Ampun, sakit," ucap Fanessa merintih kesakitan.

Setelah mendengar rintihan cucunya, segera Halimah menjauhkan tangannya dari telinga Fanessa.

Dengan reflek, Fanessa mengusap usap telinganya yang begitu sakit, "Nenek tuh yang enggak dengar. Orang Fafa udah salam. Terus kalau cucunya datang itu disambut kek dengan pelukan, lah ini malah cucunya dijewer," gerutunya masih mengusap usap telinga.

Fanessa pastikan, telinga sexy ini pasti merah. Jeweran nenek Halimah dari dulu memang tidak pernah berubah. Selalu sakit. Bukannya semakin tua semakin tidak bertenaga, tetapi nenek Halimah berkebalikannya.

Nenek Halimah terkekeh, "utututu, cucu nenek sayang. Maafin nenek deh. Fafa kesini sama siapa?" tanyanya sambil mengusap usap telinga Fanessa.

Tak lama dari arah pintu terdengar suara salam. Mereka berdua langsung memusatkan matanya kearah sana. Fanessa tersenyum.

"Itu, sama papah mama. Ilona juga ikut," tunjuk Fanessa kepada kedua orangtua dan adeknya.

Setiaji, Wulan serta Ilona menghampiri, "Assalamualaikum ibuk, gimana kabarnya? sehat sehat kan?" tanya Wulan sambil menyalami tangan Halimah. Diikuti oleh suaminya serta anak yang paling kecil.

Nenek Halimah tersenyum, "Alhamdulilah, ibuk baik disini. kalian gimana kabar? setelah pernikahan Diki kalian tidak pernah kesini lagi," tanya nenek Halimah berakhir tersenyum kecut.

Diki adalah nama paman Fanessa, yang berarti adik Setiaji. Fanessa dengan Diki memang hanya terpaut umur delapan tahun. Diki menikah dihari ulang tahunnya yang genap 25 tahun.

"Maaf buk, aku sibuk akhir akhir ini. Kantor lagi ada banyak masalah," jawab Setiaji setelah duduk disamping Fanessa.

CUP

"Yaudah, nenek buatin minum dulu. Kalian pasti pada haus kan, sebentar ya sayang," ucap nenek Halimah setelah mencium kening si bungsu.

"Ih nenek nggak adil, mentang mentang Ilona lucu, sambutannya dicium. Lah Fafa masa dijewer," ujar Fanessa tak terima karena sang nenek tak berlaku adil.

Nenek Halimah menatap sinis cucu keduanya, "Jangan salahin nenek, kamu yang datang langsung teriak teriak. Kamu kira ini hutan apa," mata nenek sambil berlalu pergi.

Fanessa menggerutu, "Jingin silihin ninik, kimi ying diting lingsing tiriik tiri-"

Ucapan Fanessa terpotong setelah tangan Wulan mendarat dibibir nya.

"Durhaka kamu sama nenek sendiri, malah ngejek. Diazab baru tau rasa kamu Fa,"

Fanessa yang mendengar itu langsung memeluk sang papah. Ia merengek, "Tuh pah, mamah dosa banget sama Fafa, masa doain anaknya diazab,"

Bukannya dapat pembelaan, Fanessa malah tambah disudutkan, "Benar kata mama kamu, dosa sama nenek sendiri. Udah anteng, diem. Ngoceh aja kamu kaya burung," kata Setiaji enteng.

Mendengar itu Wulan merasa senang, Ia tertawa, "Sukurin kamu,"

Fanessa mencebik, ia menjauh dari kedua orangtuanya. Merajuk.

Beberapa saat kemudian.

"Nih minumannya, jangan lupa diminum," ucap Halimah membawa baki menuju meja didepan anak dan cucunya.

"Satria nggak kalian ajak?" lanjutnya setelah berhasil menata sirup melon dan berbagai jenis kue di meja.

"Abang masih di Jogja nenek, kata mamah Abang kuliah. Benar kan mah?" tanya sibungsu melihat kearah Wulan mencari kebenaran. Ia menjawab setelah beberapa saat terdiam karena bermain game di handphone Wulan.

Wulan tersenyum, "Benar sayang," jawabnya sambil mengusap puncak kepala Ilona.

Fanessa mengangguk, "Benar nek, bentar lagi pulang kok. Abang udah mulai skripsi an, bentar lagi sidang," katanya sambil mencomot kue berbentuk bulan sabit.

Fanessa memang mempunyai seorang kakak laki-laki. Ia bernama lengkap Farelino Satria Abimanyu. Yang biasa disebut Satria. Kini, ia sedang mencari ilmu di salah satu kampus kota Yogyakarta.

"Owalah begitu, yaudah kalian istirahat aja dulu. Tuh papah kamu udah molor," tunjuk nenek Halimah dengan kekehannya.

"Nenek baru masak, nanti kalau udah matang nenek panggil. Fanessa, nanti kamu ajak adekmu ke desa sebelah. Belum lama ini ada embung yang bagus katanya. Kamu sama Ilona bisa main kesana,"

Fanessa yang diajak mengobrol pun  mengangguk dengan semangat. Ia akan menghabiskan waktu seharian ini untuk jalan jalan didesa.

***

Sore ini, Fanessa sedang berjalan kearah embung yang neneknya ceritakan tadi. Ia juga menggandeng tangan Ilona ditangan sebelah kiri.

Cuaca Bogor saat ini sedang mendukung. langit Bogor yang cerah membuat para manusia betah berlama lama diluar seperti Fanessa saat ini.

Setelah beberapa saat berjalan, kini mereka telah sampai di embung yang neneknya bicarakan tadi. Disana sudah banyak sekali orang. Disekeliling embung dipenuhi dengan penjual kaki lima. Disana juga terdapat taman yang banyak sekali pohonnya.

Disekeliling embung dibuat jalan untuk para pengunjung agar bisa memutari kawasan embung. Juga tak sedikit manusia menyempatkan berolahraga.

"Keren banget ya dek, kamu suka enggak?" tanya Fanessa menatap Ilona.

Mata Ilona balik menatap sang kakak, dirinya mengangguk, "Iya bagus, Ona suka. Kakak ayo beli cilok disana,"

Ajak adeknya sambil menarik tangan kanan Fanessa.

"Iya Ona sabar, enggak bakal kehabisan juga. Jangan lari lari, nanti jatuh," peringat Fanessa melihat Ilona yang berusaha menarik dirinya sambil berlari.

"Cepat keburu habis,"

Sesampai nya di tukang cilok tersebut, Fanessa melepas cekalannya dan segera memesan cilok untuknya dan sang adik.

"Mang, ciloknya dua ya dibungkus. Yang satu pedes, satunya enggak,"

Mamang cilok yang mendengar mengangguk dan segera membuat pesanan Fanessa.

Fanessa yang mengetahui pesanannya sudah dibuatkan pun duduk di kursi yang disediakan. Ia mengeluarkan ponsel untuk membalas pesan dari sahabatnya.

Fanessa memang memiliki dua sahabat sejak kecil. Sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri itu bernama Vanya dan Raisya. Mereka bertiga kini bersekolah di SMA yang sama. Mereka duduk di bangku kelas 12, di SMA BIAKSARA. Sekolah milik ayah Vanya, sahabat Setiaji juga.

"Mangga neng ciloknya," ucap mamang cilok setelah beberapa saat.

Fanessa mendongak, "Ohh iya mang, berapa?"

"Sepuluh ribu aja,"

Fanessa Segera memberi uang bewarna ungu dan berucap terimakasih.

"Ini dek cil-"

"Loh, na kamu dimana?" panik Fanessa setelah mengetahui jika adeknya tidak berada disampingnya.

***

TBC

FALASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang