Prolog

39 9 17
                                    

"Sial, gue pasti dimarahin lagi," keluh perempuan yang sedari tadi berlari. Ia sangat malang karena tiba-tiba saja diadakan Rapat OSIS dengan guru. Sialnya tidak ada angkutan umum yang lewat saat ia sudah pulang, tidak ada pilihan lain. Ia pun berlari dari sekolah menuju rumahnya yang terhitung lumayan jauh hingga berakhir ia pulang sangat sore.

Akhirnya gadis itu sampai di rumahnya dan segera masuk.

Plak!

Baru saja gadis itu membuka pintu, ia tertoleh ke samping karena tamparan yang keras tepat mengenai pipi kanannya.

"Baru inget rumah kamu!"
bentak Andre, seorang pria paruh baya yang merupakan Ayah kandung gadis itu.

"M-maaf Ayah, aku ada rapat OSIS."

"Berhenti berbohong! Kamu kira saya bodoh? Mana ada rapat OSIS se sore ini dan berani-beraninya kamu menipu saya!"

"Apa yang Ayah bicarakan? Aku ini anggota OSIS. Aku pulang terlambat gara-gara gak ada angkot yang lewat." Andre menggeram, ia langsung mencengkram dagu gadis itu dengan keras.

"Gurumu saja tau kalau kamu bukan anggota OSIS. Dia mangadu bahwa ternyata kamu malah sering bolos dan bergaul dengan lelaki. Apa itu pantas di sebut perempuan? Tidak! Yang ada kamu sudah mempermalukan keluarga ini, sialan!"

"Apa maksudnya? Bergaul dengan laki-laki? Bahkan aku gak kenal laki-laki lain selain Ayah dan Adek. Satu lagi, aku ini anggota OSIS bahkan aku menjabat sebagai ketua OSIS. Kenapa Ayah tidak percaya?"

"Ada apa ini?" Tiba-tiba saja sang Adik datang dengan raut bingung yang di buat-buat.

"Lihatlah kakakmu ini, dia sangat memalukan. Ayah tidak habis pikir, contoh adek kamu, Ariya! Jangan seperti perempuan murahan." Gadis yang bernama Ariya itu mematung mendengar ucapan ayahnya.

"Perempuan murahan? Aku nggak nyangka Ayah ngomong kayak gitu. Apa seorang Ayah pantas berbicara seperti itu kepada anak kandungnya sendiri?" Dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang berdenyut sakit, Ariya langsung berlari ke dalam kamar tanpa memedulikan teriakan ayahnya.

"Kalo bisa milih, aku nggak mau ada di dunia ini! Tidak ada satupun kebahagiaan yang aku dapat. Kenapa? Apa aku tidak pantas bahagia?"

Sesak, sangat sesak hatinya. Apa mereka tidak memikirkan perasaannya? Cairan bening yang keluar dari matanya meluruh membasahi kedua pipi Ariya.

"Argh sialan! Kenapa hidup gue sesakit ini?" lirih Ariya.

"Ariya!" Dengan kasar, Andre menarik lengan Ariya sampai meninggalkan jejak ungu di lengannya. Ariya yang tiba-tiba ditarik terhuyung ke belakang dan terjatuh tepat di hadapan ayahnya.

"Apa kamu tidak punya sopan santun?! Saya sudah memanggil sedari tadi tapi dengan kurang ajarnya kamu tidak mendengar ucapan saya dan apa-apaan ucapan tadi?! Dasar anak tidak tau untung! Sudah capek-capek di besarkan dan ini balasan kamu?" murka Andre, membuat Ariya menatap nyalang ayahnya.

Plak!

"Berani sekali kamu menatap saya seperti itu," tekan Andre. Sudut bibir Ariya kini mengeluarkan darah.

"Stop Ayah! Aku punya salah apa? Kenapa ayah membenciku?"

"Karena kamu anak sialan yang telah membunuh istriku! Saya tidak sudi menganggap seorang pembunuh di keluarga ini," ujarnya marah. Ariya terkejut dan menatap ayahnya tidak percaya.

"Aku bukan pembunuh, Yah! Mana ada anak yang tega membunuh ibunya sendiri, nggak ada, Yah. Justru wanita itu yang buat Mama meninggal!"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat lagi di pipinya. Hancur sudah pertahanannya. Ayah yang ia anggap pelindung malah menyakitinya. Hati yang sudah di tata sekuat-kuatnya, hancur.

Ariya menatap Andre tidak percaya, disaat seperti ini Ariya hanya menangis sambil mengingat sosok ibunya  'Ma, kenapa hidup aku ngga seindah yang Mama bilang?'

Ariya dengan sisa tenaganya berdiri dan menatap ayahnya dingin.

"Aku Benci Ayah!"

"Anak kurang Ajar!"

Bugh!

Brak!

Setelah itu, semuanya gelap. Bahkan Ariya tak menyangka ia mendapat sebuah pukulan setelah tamparan. Padahal badannya sudah lelah. Tetapi, mengapa ayahnya tidak peduli?

"Ariya? Bangun sialan gak usah banyak drama!" Sayup-sayup suara ayahnya terdengar. Tetapi, ia tidak bisa membuka matanya lagi, akhirnya ia memilih menyerah dengan kehidupannya.

Kenapa sangat sulit untuknya bahagia? Seharusnya ia juga berhak mendapatkan itu semua. Ia iri dengan teman-temannya yang mendapat kasih sayang dari keluarganya, sedangkan dia? Bahkan tidak ada yang menganggapnya keluarga.

"Tuhan, kenapa dadaku sangat sakit? Apa aku akan menyerah sampai di sini? Haha, bahkan disaat seperti ini aku tidak bisa mengingat kenangan indah saking tidak pernahnya bahagia. Apakah aku semenyedihkan itu? Izinkan aku bertanya kembali. Apakah aku pantas bahagia? Apakah aku berhak mendapatkan kasih sayang walaupun sedikit? Di mana kebahagiaan hidup itu muncul? Di mana aku harus menemukannya, Tuhan?"

***

"Bang ... Dengerin penjelasan Adek dulu,"

"Berhenti ngikutin gue sialan! Jangan panggil gue Abang. Gue gak sudi dipanggil Abang sama orang kayak lo!"

"Abang ... Abang berubah, Abang bukan orang yang aku kenal! Kenapa Abang tega ... Aku capek Bang. Aku cuman mau kasih sayang Abang yang dulu, tapi gara-gara cewek murahan it-"

Plak!

"Jaga ucapan lo! Haira bukan cewek murahan. Justru lo yang murahan!" Gadis itu mematung mendengar ucapan laki laki itu, ia menatap abangnya tak percaya.

"Bang?" Laki-laki itu tersadar dan menatap tangannya, sungguh ia tak sadar jika menampar perempuan di depannya.

"Oke Fine, aku nyerah. Sekarang aku nggak akan ganggu abang lagi dan perempuan kesayangan abang lagi." Dengan senyuman yang miris, ia pun pergi dengan tangisan yang pecah.

Ia terus berlari dan tanpa sadar, ia sudah berada di pinggir jalan nyaris tertabrak.

"Gue cape tapi gue nggak mau bunuh diri." Ia terkejut saat tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung kedepan dan truk yang melaju kencang kearahnya.

Brak!

Brak!

Dugh!

Kecelakaan itu tidak bisa ia hindari. Ia bahkan terpental sangat jauh. Perlahan semuanya menggelap, dengan sekuat tenaga ia berusaha melihat siapa yang mendorongnya. Tetapi, semua itu terlambat, ia sudah tidak sadarkan diri.

"Miris banget hidup lo Da ... Semoga lo mati dan hidup di neraka, hahaha!"

"Takdir gue se menyedihkan ini ya? Kenapa, kenapa gue harus mati sia-sia kayak gini? Gue masih belum nemu rasa bahagia yang tulus. Gue gak bisa ninggalin dunia ini, tapi kenapa takdir gak restuin gue bahagia walau sesaat. Tuhan gak adil, gue belum ngerasain kasih sayang Abang yang gue impiin dari kecil dan bahkan gue belum ngerasain gimana dikhawatirin kedua orang tua tanpa mereka mikirin pekerjaan."

***

"Mohon maaf Pak, pasien tidak bisa diselamatkan. Ia sudah meninggal beberapa menit lalu."

"Apa?!"

***

Hah? Kira kira siapa yaa yang meninggal? Wkwk pasti udah ketebak haha...


jangan lupa vote yaa!!! Biar semangat update nya hehe


Linda's new life storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang